LATAR BELAKANG

Dewasa ini kesadaran masyarakat global semakin meningkat terhadap keamanan, kenyamanan dan keselamatan umat manusia, serta bumi sebagai tempat tinggal. Kesadaran global ini meliputi peningkatan pemahaman adanya dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh penggunaan energi dari bahan bakar fosil seperti: batu bara, minyak, dan atau gas.

Perubahan iklim pada dasarnya adalah perubahan temperatur alam sekitar dan pola cuaca dalam jangka panjang. Namun demikian sejak seputaran tahun 1800-an sampai saat ini manusia mempunyai andil besar untuk mempercepat perubahan iklim melalui penggunaan bahan bakar fosil. Penggunaan ini untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai bahan bakar bagi kebutuhan energi pada: kendaraan bermotor, rumah tangga, pariwisata, energi listrik, industri, maupun pesawat udara.
Pembakaran bahan bakar fosil akan mengeluarkan gas buang hasil pembakaran yang berupa: Hidrokarbon (HC), Karbon monoksida (CO), Nitrogen oksida (NOx), dan Sulfur oksida (SOx). Gas buang ini menyebabkan gangguan kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan setempat sampai global. Kondisi kesehatan global tidak terlepas dari lingkungan setempat, sebab semuanya saling mempengaruhi satu sama lain di dalam satu kesatuan bumi.

Untuk lingkungan global, dampak gas buang tersebut berupa perubahan iklim. Satu diantara contoh perubahan iklim bahwa sekarang ini temperatur bumi tercatat terasa lebih panas sekitar 1,1°C daripada di akhir tahun 1800-an, dan diketahui bahwa dekade tahun 2011-2020 merupakan dekade terakhir yang mencapai rekor terpanas di alam sekitar.

Pada tahun 2018 Perserikatan Bangsa Bangsa /PBB telah sepakat bahwa kenaikan temperatur global tidak boleh melebihi 1,5°C. Hal ini agar tetap sesuai dengan temperatur ideal bumi sebagai tempat hunian manusia. Padahal untuk saat ini, jalur emisi karbon dioksida dapat meningkatkan temperatur global sampai 4,4°C pada akhir abad ini [1].

Jika kenaikan temperatur bumi mencapai 1,5°C sampai 2°C akan menyebabkan: beberapa species tanaman atau pun binatang akan musnah, curah hujan tinggi, banjir bandang ada dimana mana, dan bencana alam akan banyak melanda di seluruh dunia. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk mencegah kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5°C.

Satu diantara upaya pencegahan temperatur bumi agar tidak melebihi 1,5°C adalah dengan cara mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, misalnya untuk operasional pesawat udara. Peranan operasional pesawat udara sebenarnya belum terlalu besar sebagai penghasil gas buang berbahaya jika dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh sektor kendaraan bermotor di darat dan di laut, industri, maupun kebutuhan rumah tangga sehari hari. Walaupun demikian segala kesempatan untuk mengurangi, bahkan menggantikan bahan bakar fosil perlu dilakukan, sebab gas buang ini menjadi kontributor utama penyebab kenaikan temperatur bumi mencapai 1,5°C. Bahan bakar berkelanjutan dari bahan non-fosil bisa menjadi alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil, atau minimal bisa mengurangi volume penggunaan bahan bakar fosil. Bahan bakar non-fosil bisa berasal hewan maupun tumbuhan. Bahan bakar jenis ini lebih dikenal sebagai bahan bakar berkelanjutan yang dengan nama lain yaitu Sustainable Aviation Fuels (SAF).

SAF merupakan bahan bakar alternatif yang relatif ramah lingkungan untuk digunakan pada pesawat udara. Sumber energi SAF bisa berasal dari: buah tanaman pangan, tanaman non-pangan, bagian tanaman selain buah, minyak goreng bekas pakai/minyak jelantah, sampah organik, minyak hewan, atau pun dari sumber lain.

Penggunaan SAF akan menjadi tujuan antara, sampai dengan tercapainya pemenuhan persyaratan perubahan ke bahan bakar Hidrogen, atau pun ke tenaga Baterei/Listrik sebagai sumber energy operasional pesawat udara. Sumber energi SAF diolah melalui proses fisika, dan atau kimia, selanjutnya diproduksi menjadi bahan bakar Pesawat udara. Tujuan utama dari penggunaan SAF adalah untuk mengurangi emisi karbon sebagai gas hasil pembakaran bahan bakar pesawat udara.

KEBIJAKAN ICAO TENTANG SAF

Penggunaan SAF untuk pesawat udara sejalan dengan kebijakan internasional tentang bahan bakar pesawat yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO). Organisasi ini merupakan organisasi di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang bergiat khusus di bidang: keselamatan, keamanan, dan kelancaran operasional penerbangan di seluruh dunia [2].

ICAO telah lama memperhatikan penggunaan bahan bakar konvensional pesawat udara yakni Avtur (Aviation Turbine Fuel) atau biasa dikenal sebagai bahan bakar Jet A-1 khususnya bagi kualitas udara lokal yang dilalui oleh pesawat udara (Local Air Quality /LAQ). Bahan bakar ini berbasis Hidrokarbon yang berasal dari fosil. Adapun perhatian ICAO tersebut terlacak di beberapa tahun program kerjanya, misal sebagai berikut:

Tahun 1999
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang bekerja sama dengan Panel Penilaian Ilmiah Protokol Montreal, atas permintaan ICAO mengeluarkan laporan tentang Zat yang merusak lapisan Ozon menyatakan bahwa:
Pesawat udara mengeluarkan gas dan partikel yang mengubah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, memicu pembentukan jalur kondensasi dan dapat meningkatkan kekeruhan awan cirrus, yang semuanya berkontribusi terhadap perubahan iklim;
Pesawat udara diperkirakan menyumbang sekitar 3,5% dari total gaya radiasi (ukuran perubahan iklim) oleh seluruh aktivitas manusia, dan persentase ini tidak termasuk dampak kemungkinan perubahan pada awan cirrus. Presentase ini diproyeksikan akan terus meningkat.

Tahun 2007
Temuan baru terkait emisi penerbangan dari IPCC AR4 antara lain menyatakan bahwa: Total emisi CO2 penerbangan adalah sekitar 2% dari Emisi Rumah Kaca Global, Jumlah emisi CO2 dari penerbangan diperkirakan akan meningkat sekitar 3-4 persen per tahun, dan mitigasi jangka menengah terhadap emisi CO2 dari sektor penerbangan berpotensi berasal dari peningkatan efisiensi bahan bakar.

Tahun 2010
Tren perhatian kelestarian lingkungan yang dilalui oleh lintasan Pesawat udara lokal maupun global semakin kuat.

Tahun 2016
Telah diterbitkan Buku Putih tentang peningkatan pemahaman dan keyakinan terhadap pengaruh iklim karena penerbangan melalui penilaian ilmiah internasional terkini.

Tahun 2022
Sidang ICAO ke-41 tahun 2022, menyatakan bahwa tren perhatian terkini terhadap operasional pesawat udara adalah tentang dampak lalu lintas pesawat udara terhadap kualitas udara lokal (LAQ), emisi gas buang yang mempengaruhi iklim global, termasuk kebisingan yang ditimbulkan oleh operasional pesawat udara. Hal ini telah disampaikan dalam dokumen ICAO A41-WP/93 rev.

PERKEMBANGAN SAF DI INDONESIA

Pertamina telah berhasil memproduksi bahan bakar SAF, yaitu Pertamina SAF yang terbuat dari komponen minyak sawit sebagai kandungan SAF. Bahan bakar ini telah diuji coba untuk operasional penerbangan pesawat udara komersial milik maskapai Garuda pada tanggal 4 Oktober 2023. Pesawat yang digunakan uji terbang SAF selama 60 menit adalah pesawat Boeing 737-800 NG dengan nomor registrasi PK-GFX. Pesawat ini melintasi area udara Pelabuhan Ratu. Uji terbang bahan bakar SAF mendapatkan hasil yang baik [3].

Disamping itu, beberapa instansi dalam negeri yang sudah dan sedang melakukan riset dan inovasi tentang SAF khususnya jenis Bioavtur adalah: PRTP-BRIN, ITB, UGM, dan Pertamina.

DAFTAR PUSTAKA

1. —, Climate Change, United Nations Indonesia
https://indonesia.un.org/id/172909-apa-itu-perubahan-iklim

2. —, 2022, Civil Aviation And The Environment, Working Paper International Civil
Aviation Organization, A41-WP/93, EX/45, 03/08/22, Revision No.1, 31/08/22

3. —, 2023, Sejarah Baru! Bioavtur Pertamina Saf Untuk Pesawat Komersil, CNBC
Indonesia, Jakarta
https://www.cnbcindonesia.com/news/20231028142221-4-484480/sejarah-baru-bioavtur-pertamina-saf-untuk-pesawat-komersil

Penulis : Atik Bintoro
Periset di Pusat Riset Teknologi Penerbangan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bogor, Jawa Barat

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *