Dzulkarnain merupakan nama pena dari Noer Moch Yoga Zulkarnain. Mahasiswa Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Pemuda kelahiran Sumenep Madura. Demikian penyair memperkenalkan diri sebagai penggurit Puisi di laman Puisi-Puisi MH. Dzulkarnain – Mbludus.com. Di laman ini ada empat judul puisinya berhasil tayang, yaitu : PADA SETIAP SEKON , SEPOTONG MIMPI YANG TERTINGGAL, KUPADAKU, dan RUANG.

Pada kesempatan kali ini, Puisi yang berjudul KUPADAKU, Penulis akan menikmati dari sisi memindai pesan pesan tersembunyi di dalamnya. Adapun puisi yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

KUPADAKU

1/
Pulanglah aku…
pulanglah,
di sana ada ruang
untuk aku raungkan
setelah beberapa lama
sunyi mengunjungi
waktu-waktu yang terparkir rapi

2/
Mandilah aku…
mandilah,
sebab banyak kata
yang memperkosa
tubuhmu yang tabah
maka bilaslah dengan mantra

3/
Sujudlah aku…
sujudlah,
ada yang Wujud sifatnya
tiada ia selain Ia
karena-Nya
setiap yang lahir akan ke hilir
kepada-Nya
segala yang datang akan pulang

4/
Makanlah aku…
makanlah,
jangan biarkan
waktu hidup kelaparan
banyak menu di meja makan
yang perlu disayang

5/
Minumlah aku…
minumlah,
ada dahaga
di setiap celah-celah tubuhnya
ia meraba ke sekujur rasa;
ah, segar telah tiba

6/
Bersyukurlah aku…
bersyukurlah,
ada yang Maha Kasih
yang harus setia aku puji
tiap hari tiap kali
di mana aroma sorga mendatangi

7/
Berdoalah aku…
berdoalah,
demi masa dan segalanya
yang terkurung di kamar distopia
tak tau jalan untuk keluar
hanya kembang-kembang cerita
yang hampir pudar

8/
Aminlah aku…
aminlah,
segala yang semoga tumpah
di atas sajadah
dengan seruan dan pujaan
yang sukar meredah
tanpa titik atau koma

9/
Bacalah aku…
bacalah,
bait-bait ini bermunculan
dari kesunyian yang tersunyi
di mana cuma ada tembakau
dan kepulan asap yang penuh galau
menari-nari di kepala; ah, risau

10/
Berpuisilah aku…
berpuisilah,
sebelum Israfil dan Izrail
membuat aku menggigil
di tiap-tiap ibadah yang terlupa,
maka sebelum itu pula, akuilah aku sebagai puisi yang baqa setelah-Nya

Bandung, 2023

Mari kita nikmati bait ke satu:

/1/
/Pulanglah aku…
pulanglah,
di sana ada ruang
untuk aku raungkan
setelah beberapa lama
sunyi mengunjungi
waktu-waktu yang terparkir rapi/

Di bait ke satu di atas berpotensi bisa kita nikmati kata perkata, rasa per-rasa, dan logika yang ikut serta. Ada semacam kegamangan Penyair untuk : terus bertahan di kawasan perantauan, atau bagaimana?.

Di ungkapan bait ini tak begitu jelas perantauan seperti apa, apakah dalam arti sesungguhnya di tanah rantau atau kah perantauan dalam pengertian pengembaraan pikir, rasa, atau pun karya, yang penting ada seruan untuk pulang bagi tokoh aku lirik. Pulang ke mana, juga tidak ada tanda tanda penjelas yang bisa dipindai untuk menelurusi misteri seruan pulang. Namun demikian Sang Penyair memberikan semacam kata kunci untuk apa, seruan pulang disampaikan, tidak lain karena /di sana ada ruang/,  /untuk aku raungkan/.

Sepertinya Penyair berusaha memainkan kata ruang dan raung untuk mendapatkan efek ledakan makna yang sulit diterka meskipun bukan berarti tak bisa diprediksi apa yang terkandung makna, dan rasa di dalamnya. Bentuk ruang beraturan dan atau pun ruang tidak beraturan, pada umumnya terlahir karena adanya dimensi yang dibatasi oleh luas alas dan tinggi, hanya ada sedikit beda, yaitu cara menghitung isi ruang, misalnya ruang berbentuk : kotak,  kubus, bola, kerucut, limas, tabung, atau pun prisma.  Dalam hal ini, Penyair tidak memilih ungkapan ruang seperti apa yang bisa /untuk aku raungkan/. 

Apanya yang akan diraungkan: ruang-nya kah?, atau apanya ?, atau ruang hanya dimanfaatkan sebagai lokasi meraungkan pikir, rasa atau yang lain, belum ditemukan secara pasti. Keliahatannya yang penting bisa timbul suara meraung, sebab /setelah beberapa lama/, /sunyi mengunjungi/, /waktu-waktu yang terparkir rapi/.

Di tiga baris terakhir dari bait pertama ini, Penyair memainkan ungkapan metafora yang berpotensi bisa dimaknai serupa rasa kangen yang mendalam untuk pulang, waktu pun dipandang bisa berparkir rapi. Padahal sejatinya waktu tak pernah berhenti, walau hanya satu detik saja. Waktu terus bergulir menjelajahi dunia bersama umat manusia, beserta isi alam di dalamnya, termasuk sang Penyair. Begitulah kira kira, satu diantara suasana kejiwaan rasa, makna maupun logika di bait pertama.

Mari kita lanjutkan di bait ke dua.

/2/
/Mandilah aku…
mandilah,
sebab banyak kata
yang memperkosa
tubuhmu yang tabah
maka bilaslah dengan mantra/

Pola ungkap di bait ke /2/ ini tidak terlalu berbeda dengan pola di bait pertama, yakni cenderung patah patah, dan diawali dengan seruan untuk melakukan suatu kegiatan.

Jika di bait /1/, seruan itu adalah :

/Pulanglah aku…
pulanglah,/

Di bait /2/ berupa:

 /Mandilah aku…
mandilah,/

Seperti di bait /1/, di bait /2/ pun juga memberikan jawaban atas seruan /mandilah aku…/, /mandilah/. Jawabannya ada di baris ke tiga, empat, lima, dan enam di bait /2/.

Pola tuang ungkapan Sang Penyair di Puisi yang berjudul /KUPADAKU / di atas, dari bait /1/ sampai dengan /10/ mempunyai kemiripan yang cenderung rutin, nyaris tanpa alur naik turun dari bait ke bait.

Hanya di bait /1/ saja yang berpotensi timbul kesan ledakan makna dan rasa, yakni antara seruan dan tujuan. Setelah pola tuang ini juga diterapkan pada bait bait berikutnya, maka berpotensi menjadi semacam arus harmoni yang bisa langsung diprediksi tentang gelombang misteri rasa, makna, dan logika pada setiap bait berikutnya, meskipun tentu kandungan tersembunyi masih sangat beragam yang bisa dipindai lanjut, bahkan mungkin Sang Penyair pun terheran heran: “kok bisa lahir puisi semacam ini ya…”

Selamat berkarya, teruslah berpuisi.

Penulis : Kek Atek

Penggemar Puisi, tinggal di Rumpin, Kab. Bogor, Jawa Barat,  Indonesia

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *