
Si Fulan berjalan sempoyongan menyusuri pematang sawah sembari sekali-sekali mengelus pipinya yang kena tamparan Mbah Samin. Dalam hati dia mengakui kebenaran kata-kata Mbah Samin, tapi caranya memberi jawaban itu yang tidak hanya membuat sakit pipinya. Hatinya juga sakit, sehingga diam-diam ia menyimpan dendam pada Mbah Samin.
Sejenak si Fulan berhenti untuk istirahat. Sembari memandang sawah yang luas membentang, dia menarik nafas panjang lalu dihembuskan untuk menghilangkan rasa suntuk di hatinya, setelah itu ia duduk di pematang sawah, menikmati hamparan padi yang mulai menguning. Semilir angin sore di tepi persawahan pinggir kampung membelai mesra pelupuk matanya. Sekawanan burung Pipit terbang mengitari hamparan sawah.
“Huraaa… Hurrraaa…” Prak… prak… prak…! “hurraaa… hurraaa…!” Para penunggu padi itu sesekali berteriak mengusir burung-burung Pipit yang nakal sembari mengeprak-ngeprak bilah-bilah bambu.
Lamat-lamat terdengar suara kerbau melenguh dan anak-anak kambing mengembik mencari induknya. Selanjutnya, Fulan tertidur di pematang sawah.
***
“Assalamu’alaikum… !”
“Eh, Mbah Samin. Udah lama?” Fulan terbangun dan geragapan.
”Kira-kira sebatang rokok, lah. Seperti orang waras saja kamu, tidur koq di pematang sawah. He… he… he…”
“Nganu, Mbah Ketika saya sedang menikmati indahnya hamparan padi yang mulai menguning, eh, semilir angin membelai-belai, saya jadi klepek-klepek. Sampai akhirnya Tuhan memberi saya nikmat yang benar-benar nikmat. Nikmat Tidur.”
“Siapa bilang tidur itu nikmat?” tanya Mbah Samin sembari duduk di samping si Fulan.
“Saya yang bilang. Memangnya kenapa?”
“Nggak. Saya kira hanya kerbau yang bilang kalau tidur adalah nikmat. He he he…”
Ngaco nih Mbah Samin! Tadi nampar gue, eh sekarang tiba-tiba nongol ngajak bercanda. Pasti ada maunya dia. Jangan-jangan mau ngerjain gue lagi, pikir si Fulan.
“Tidur telah membuat saya sadar bahwa saya ini benar-benar manusia. Mahluk ciptaan Tuhan.”
“Eleuh.. eleuh…Bagaimana bisa begitu, Fulan?”
“Karena kalau saya tidak bisa tidur berarti saya adalah: DIA yang tak pernah tidur. Iya, kan?”
“Ngaco!”
Hiya ha ha ha… satu nol Mbah, teriak Fulan dalam hati.
“Tidur itu justru mengurangi nikmat hidup, tau!”
“Koq? bagaimana bisa begitu, Mbah?”
“Ya bisa lah. Orang yang bisa menikmati hidup itu kan hanya orang yang dalam keadaan sadar. Betul apa betul?”
“Betul.”
“Orang tidur itu dalam keadaan sadar atau tidak sadar?”
“Tidak sadar.”
“Nah, itu dia. Bagaimana mungkin dalam keadaan tidak sadar kamu bisa merasa masih hidup, kecuali saya yang melihat kamu tertidur. He he he…”
Iya juga ya, pikir si Fulan sambil menggaruk-garuk kepala. Satu sama mBah.
“Makanya, Fulan. Jangan kebanyakan tidur. Meskipun umur kita cukup panjang tapi kalau tidur terlalu banyak dan berlebih-lebihan, itu sama saja kita memperpendek hidup kita. Alias mengurangi jatah nikmat hidup kita sendiri. Salah apa salah?”
“Salah! Apa pun alasannya, buat saya tidur adalah nikmat. Titik!”
“He he he… kalau memang benar tidur adalah nikmat, di mana adanya nikmat itu?”
“Di awal sebelum tidur,” jawab Fulan sekenanya.
“Nah lo, berarti kamu pembohong kalau begitu.”
“Koq bisa?”
“Bagaimana bisa mengatakan nikmat padahal tidur saja belum? Apa namanya kalau bukan bohong?”
“Siwalan ini aki-aki!” maki Fulan dalam hati. Dia benar-benar mati kutu, mukanya langsung ditekuk. Mbah Samin mengulum senyum sambil memandang si Fulan. Asap rokok ngebul dari sela-sela bibirnya.
“Kalau tidak di awal tidur berarti nikmat itu ada ketika kita sedang tidur ya, Mbah?”
“Ngaco! Bagaimana bisa merasakan nikmatnya tidur sedangkan kita dalam keadaan tidak sadarkan diri?”
Halah, kena tembak lagi Si Fulan. “Awas kamu Mbah. Kapan-kapan gua bales lo,” ancam Fulan dalam hati. Dia tak berani memberi jawaban lagi. Pasti akan salah lagi. Seandainya nikmat tidur itu adanya setelah bangun tidur, bagaimana mungkin bisa? Tidurnya sudah lewat koq nikmatnya baru terasa belakangan?
Tunggu pembalasanku Mbah, geram Fulan dalam hati.
***
Ocehan sebelumnya:https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh/
Ocehan berikutnya: https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-3/