Siapa berani berkata bahwa Soeharto tidak pernah bersalah?
Siapa berani berkata bahwa Susilo Bambang Yudoyono tidak pernah bersalah?
Siapa berani berkata bahwa Gus Dur, Megawati dan Habibie tidak pernah bersalah?
Siapa berani berkata bahwa Mbah Samin tidak pernah bersalah?
Semuanya pernah bersalah!
Oleh karena hanya sekedar manusia biasa.

***

Fulan berdiri memberi applause. Bertepuk tangan dengan hati terkagum-kagum. Surprise. Diam-diam ternyata Mbah Samin juga seorang deklamator jempolan.

“Itu tadi puisi Mbah Samin, ya?”

“Iya. Memangnya kenapa? Kamu nggak percaya kalau saya bisa nulis puisi?”

Fulan tertawa melihat roman muka Mbah Samin yang sedikit tersinggung dengan pertanyaannya. Agaknya Mbah merasa diremehkan.

“Percaya. Saya percaya kalau itu puisi Mbah. Apa sih yang Mbah Samin nggak bisa?”

“Preet!” balas Mbah Samin lalu ngeloyor pergi.

“Lho, Mbah Min mau kemana?”

“Mau menghitung kesalahan!”

Mbah Samin pun lenyap di keheningan malam.

***

Menghitung kesalahan? pikir Fulan. Kesalahan koq dihitung-hitung. Aya aya wae si Mbah ini. Pasti dia lagi datang kumatnya.

Beberapa hari kemudian, Mbah Samin datang menemui Fulan dengan membawa setumpuk buku yang mana setiap buku rata-rata cukup tebal.

Bantuin saya, dong,” katanya sambil meletakkan tumpukan buku di hadapan Fulan.

“Bantu apa?”

“Memeriksa dan menghitung kesalahan-kesalahan saya.”

Fulan mengambil satu buku. Membuka dan membacanya lembar demi lembar.

“Lho, koq?”

“Kenapa, ada yang aneh?”

“Iya. Bagaimana mungkin kesalahan Mbah Min koq bisa sama persis dengan kesalahan saya. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Mbah Min untuk menegur saya.”

Mbah Samin tak menanggapi ucapan Fulan. Dia ngeloyor pergi entah ke mana. Beberapa saat kemudian sudah kembali lagi dengan membawa tumpukan buku yang lebih banyak lagi.

“Segitu banyaknya itu semua buku berisi catatan kesalahan Mbah?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

Nggak apa-apa. Sekedar bertanya saja memangnya nggak boleh?”

“Daripada bertanya tanpa guna, mendingan juga bantu saya.”

“Menghitung kesalahan-kesalahan Mbah Min? Nggak mau, ah. Buang-buang waktu saja.”

Mbah Samin melotot mau marah. Fulan pura-pura tak merasa.

“Dari pada waktu habis terbuang untuk sekedar menghitung kesalahan, saya lebih memilih untuk memperbaiki kesalahan. Dan selebihnya adalah minta ampun kepada Tuhan Yang Maha Pengampun. Bukankah ampunan-Nya jauh lebih besar ketimbang buku-buku catatan kesalahan yang Mbah buat?”

Mbah Samin sudah tak melotot lagi. Dengan wajah bersungut-sungut dia mengikat seluruh buku-buku catatan kesalahannya.

“Mau dibawa kemana bukunya, Mbah?”

Nggak usah tanya. Pinjam korek apinya, cepet.”

“Buat apa korek api?”

Nggak usah tanya.”

Setelah Fulan memberikan korek api, Mbah Samin segera pergi sambil menenteng seikat buku-buku catatan kesalahannya. Fulan memandang kepergiannya dengan tersenyum. Kesalahan koq hanya dicatat. Ya diperbaiki, dong !

***

Dapoer Sastra Tjisaoek, Oktober 2021.

Ocehan sebelumnya (5) : https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-5/

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *