Hari ini dia tampil di kota sebelah. Emles, penyanyi populer pada masa itu. Karyanya telah tersebar hampir seluruh kota di negeri ini. Dari kalangan remaja sampai lansia selalu menanti kedatangannya di kota mereka. Emles, pemuda dengan bakat nyanyi luar biasa, tidak diragukan lagi suaranya yang mampu menyihir penggemarnya. Sejak kecil dia merawat dirinya dengan kegelisahan luar biasa bersama gitar yang menyembunyikan kesedihan di tiap petikan, gonta-ganti menjajakan mental di bus-bus kota, menjadikan halte dan terminal menjadi rumah tabah. Bukan lantas Emles tidak mempunyai rumah pulang, 24 jam melipat hidup bermacam-macam, hanya tersisa sepenggal malam untuk mengusap air mata ayah ibu, mencuci kesunyian adiknya, merajut sujud di hening malam, bergurau dengan mimpi yang begitu enggan untuk iya tinggali, namun saban pagi ia harus kembali melipat puisi dalam setiap lagunya. Dan ia puas dan percaya kepuasan itu ada karena cinta.

***

Tanah kita dada, dibuat gembur oleh cinta
Menjadi alir sungai yang dipahat mata ibu
Melawan terik api kebencian
Pada angin kehidupan yang tak tentu….

Kutipan lagu yang dibuat sendiri oleh Emles, diracik dari kehidupan sederhananya, diresapi merdu bersama enam senar gitar yang iya yakini sebagai bentuk kuasa Tuhan. Bagaimana tidak, meskipun ia seorang penyanyi keliling, dirinya suka bertanya pada diri sendiri: betapa ketidakmampuanku menciptakan bunyi senar ini yang ketika dipetik dengan jemari yang menyatu dengan hati, menciptakan merdu tak berujung. Terasa dalam lagunya: inilah cinta, ciptaan yang mampu menggetarkan manusia. Emles memulai suaranya di terminal, di tengah-tengah orang yang saling bergegas dengan waktu. Ia melihat perempuan dengan kerudung tak tertata, baju yang tanpa style, bergegas mencari bus dengan cairan bening yang keluar perlahan dari mata perempuan itu. Apakah dia kelilipan abu? Pekik hati Emles. Namun, dia tidak memperpanjang pertanyaan itu dalam dirinya. Melihat bus yang dinaiki perempuan itu menghidupkan mesin, Emles bergegas, seperti biasa menghibur penumpang dengan lagu karangannya sendiri. Di dalam bus, sopir begitu ramah pada penumpang. Sedang kernet sahabat karibnya menyamperi tiap kursi dan menanyakan tujuan, bahkan semua kernet adalah sahabatnya. Emles juga menyapa kernet itu dengan ramah, lalu melanjutkannya dengan lagu.

***

Ketenangan jiwa mengintari kota
Roda-roda saling menyapa
Maka, sekalah selalu air mata
Jadikan hari sebagai Hari cinta…

Satu dua lagu membawa suasana bus menjadi tenang: ya, inilah cinta! Melihat ibu-ibu melengkungkan bibir, melihat buah hati yang pulas di pangkuannya. Bagi ibu, anak adalah harta dunia melebihi segalanya. Ketabahan serupa udara yang terus mengelus kehidupan kota meski gedung dan polusi selalu membawa fitnah padanya. Emles memindahkan pandangannya menuju perempuan tadi yang masih terekam jejak air matanya. Emles mendekati dan membawakan lagu baginya. Perempuan itu meratap Emles pilu, kenapa perempuan ini gemetar dan terlihat dingin matanya, ada apa? Padahal dunia ini penuh cinta! Batin Emles.

Pertanyaan demi pertanyaan menyerupai pembangunan yang pesat menjulang di kepala Emles. Sedang, perempuan itu hendak bersiap untuk turun, terlihat dari tas yang ingin disandangnya. Ingin rasanya Emles mengikuti, mengetahui apa yang sedang terjadi. Lagu terakhir berhenti bersamaan dengan denyit rem bus dan langkah perempuan itu menuju pintu belakang bus.

“nona, tunggu!” cegat Emles pada perempuan rahasia itu. Pas di halte bus, perempuan itu berhenti

“apa gerangan tuan memanggilku?” sambil memalingkan air matanya yang mengalir, perempuan itu menyahut terbata, “lagu tuan, sangat bagus, saya suka” lanjutnya.

Emles tersenyum menyikapinya, secara lembut kembali bertanya

“siapa nama nona? Biar aku nyanyikan satu lagu khusus untukmu, agar tak lagi deras derita yang dipikul” bujuk Emles. Perempuan itu makin tersedak dengan isaknya

“Cukup tuan, lagumu makin membawaku terhanyut. Memang indah lagu itu, sekaligus hantaman bagi dadaku. Namaku kasih!” ucap perempuan itu

“Kenapa begitu nona, bukankah dunia ini ada karena cinta? Apa hal kau begitu” rasa penasaran Emles makin memburu.

“Ya, dunia ini penuh cinta tuan. Atas nama kasih, ingin kukatakan bahwa cinta berjalan menjadi kisah, kebahagiaan di atas rata-rata berbuah cemburu pada manusia lain, membuatnya saling memukul, memaki, hingga membunuh, tuan” gemetar bibir perempuan itu mengungkapnya.

Emles tersentuh mendengarnya, cinta macam apa yang membuatnya begini? Tak habis pikir. Julur waktu keduanya saling tatap, perempuan itu mengambil sesuatu dalam tasnya

“kuhadiahkan untukmu, syal ini peninggalan tunanganku. Beberapa hari lalu dia bunuh diri, sebab tak mampu menanggung cinta yang begitu besar pada gadis lain, juga teror dari keluarganya dan beberapa lelaki yang mencintaiku. Ya, begitulah tuansemua kembali pada cinta” ucap perempuan itu sembari memberinya pada Emles, dan membalikkan badan meninggalkannya.

***

Hari berlangsung setelah ditinggal perempuan itu, tinggal syal yang iya kalungkan pada lehernya mencegah gigil malam masuk ke dalam tubuhnya. Malam itu, Emles memilih menapaki trotoar, berhenti di setiap warung untuk memainkan gitarnya.

Yang hidup dalam pukau
Merasa cinta itu silau
Menelan bahagia walau
Hati selalu risau.
 
Cinta seperti itu
Mungkin terlalu candu
Sampai menjadi sekutu
Terhadap yang maha satu
 
Sebagai insan pengabdi
Baiknya rendah hati
Sesama antar manusia
Biar terasa nikmat cinta…

Satu dua warung Emles lewati dengan nada gitar dan suara lembutnya. Selepas kepergian perempuan itu, Emles yakin, cinta ada tapi bukan dari sepasang kekasih yang sama hati. Bagi Emles hal yang tumbuh dari sepasang kekasih itu memang berawal dari cinta, namun bersifat individual, egosentris. Hingga mereka tidak sadar, ada orang yang sakit hati karena hati mereka bersatu. Dari batin Emles, cinta adalah kasih sayang yang tumbuh dari setiap manusia, untuk mengasihi juga menyayangi manusia.

Suasana malam membawa kakinya yang letih untuk memilih tempat istirahat sejenak, setelah warung terakhir. Betapa matanya takjub melihat seisi kota yang memukau! Mulai dari kelip lampu sampai kelap bintang yang meratapi gedung-gedung tinggi. Inilah cinta, saya bisa merasakan keindahan ini! Batin Emles.

Detik demi detik ia rasakan keindahan itu: langit, gedung, bulan, lampu-lampu jalan. Tak pernah lepas dari pandangannya. Namun, 90 derajat dari gedung, Emles menemukan bapak paruh baya yang duduk beralas koran bekas. Dilahapnya sebungkus nasi dengan penuh kenikmatan, sedang Emles tersentuh dadanya. Betapa malang dia, hati Emles berbisik. Tak perlu niatan bulat, dia menghampiri bapak itu.

“Selamat malam bapak, apa saya boleh duduk” sapa Emles“silahkan nak, mari makan!” ucap bapak itu rendah hati. Emles tersenyum sambil mempersilahkan bapak itu makan. Siapa yang tak tersentuh, apa lagi jika berpikir: bagaimana kalau di depanku adalah ayahku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan muncul di benak Emles. Bapak itu pun selesai makan, dan meminum beberapa teguk air yang telah ia sediakan.

“Bapak gak pulang ke rumah” tanya Emles. Bapak itu malah berkaca-kaca matanya, membuat pikiran Emles menyalahkan diri sendiri.

“Nak, 4 hari lalu bapak masih punya rumah” jawabnya singkat. Lantas Emles bingung, kenapa bapak ini tinggal di sini, dalam benaknya.

“namun, rumah bapak di gusur pemerintah, katanya mengganggu dalam pembangunan tol di belakang gedung itu” ungkap si bapak sambil menunjuk gedung yang di agungkan Emles.

“Bapak sekarang tinggal di mana?” tanya Emles. Lama bapak itu terdiam, meratap langit, dan tersenyum

“Saya tinggal di mana saja nak, semua tempat adalah rumah, dengan usia saya yang sudah mungkin sebentar lagi menggapai cinta” lanjut bapak itu. Cinta? Bukankah datang dari manusia kepada manusia? Lantas apa maksud bapak ini, batin Emles. Karena rasa penasaran yang tidak bisa ia bendung, akhirnya dia menanyakan hal itu.

“tak ada apa yang dapat saya beri nak, ini ambillah” bapak itu menjulurkan sebuah cincin batu peninggalan istrinya. Sedang, Emles meneteskan air mata tanpa henti

“semoga kamu sukses, saya lanjut kerja” ucap kepada Emles sambih memulai langkah kakinya.

Selepas kejadian itu, bapak tersebut tak pernah terlihat lagi, entah kemana?

***

Setahun kemudian, nama Emles geger di penjuru kota. Dia menjadi penyanyi terkenal karena lagu-lagu yang dibawakan selalu menggetarkan hati penonton. Bukan hanya di kota tempat ia menemukan imajinasi lagunya. Namun, luar kota di negeri ini pun menunggunya. Dari kalangan remaja sampai lansia, menunggu kedatangan Emles. SekarangSekarang, Emles mendapat undangan tampil di kota sebelah. Dirinya dan band bersiap-siap menaiki panggung. Sorak dan tepukan penonton tak sabar ingin melihat Emles bernyanyi. Emles menaiki tangga. Satu tangga ia naiki, terasa berat tubuh Emles. Dua tangga ia naiki, tak ada pandangan. Dan tiga tangga… Brukk! Hilang. SemuaSemua orang mengerumuni, ada yang menangis, terutama personel band tersebut.

“innalillah, Emles berpulang” ucap salah satu personel yang merangkul Emles. Serentak semuanya pecah, kehilangan sosok Emles yang ramah dan penuh kasih pada orang lain. Salah satu personel menemukan selembar kertas yang terlipat di balik baju Emles. Semua personel membacanya, air mata mereka tak kuasa membaca isi kertas tersebut. Membuat hati mereka bergetar:

Aku sendiri tak punya keberanian, untuk mengungkapkan cinta
Seperti perempuan yang kutemui, yang mati gantung diri
Padahal sebelumnya aku dan dirinya bertatapan
Menitipkan syal, sebagai bukti cinta.
 
Aku sendiri tak punya kuasa, untuk mengungkapkan cinta
Seperti bapak tua, yang lepas hilang nyawa.
Meski waktu itu, ada sebuah cincin batu
Tetap saja menangis, dalam dada terasa pilu.
 
Aku sendiri tak punya apa-apa, untuk membangun cinta
Seperti pesan mereka berdua
Cinta adalah menunggu panggilanNya.

Begitulah isi dari kertas itu. Kemudian, satu personel sepakat untuk mengabadikannya sebagai lagu. Sebagai Emles dalam hati mereka.

Sumenep, 14 juli 2021

Gusti Fahriansyah. Berasal dari Desa Torbang Batuan Sumenep menggeluti sastra mulai dari Majelis Sastra Mata Pena, Sanggar Gemilang, komunitas puisi bekasi, LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep. Juara1 LCPN SIDERIS INDONESIA, Juara II LCPN Aklamasi UNDIKHSA. Karyanya terbit dibeberapa media cetak/online dan antologi bersama.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *