BAB 3

MENERKA LANGIT

Kek Atek

Subhanallah…

Tak seperti biasanya langit terasa mau runtuh, bumi bergoyang, dan perbukitan bergemuruh, pikiran Si Ben tergoncang ketika mendengar bahwa Kawasan Pesantren akan digusur karena dinilai melanggar peruntukan lahan, dan masih masuk inventaris kepemilikan perusahaan yang akan mendirikan kawasan tujuan wisata dan perumahan. Area Pesantren dan Perkampungan di sekitarnya menjadi target sebagai kawasan taman wisata.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi, padahal Pesantren dan Perkampungan di sekitarnya sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Pajak tanah pun setiap tahun rutin dibayar, Surat tanah girik juga sudah terbit dari Desa Bambu Bolong, Akta jual beli tanah juga ada dari Notaris Kecamatan. Mengapa bisa menjadi target program pendirian taman wisata. Mengapa ada Perusahaan yang mengaku sebagai Pemilik kawasan yang sah?

Yang benar saja. Si Ben ingin memberontak, tetapi kepada siapa? Hafalan Qur an pun baru sampai beberapa Juz, masih jauh dari persyaratan, yaitu: 10 Juz!

“Ya Alloh, tunjukkan KuasaMu, mereka telah menunjukkan kuasanya”. Si Ben ingin berdoa seperti itu, sangat ingin mengadukan pada Alloh SWT atas peristiwa yang akan terjadi.

“Sebenarnya mereka yang sering datang ke sekitar Pesantren itu siapa, sok berkuasa, dan sok mau memiliki kawasan Pesantren? Si Ben sedikit bimbang diantara pikirannya yang goncang, kalut, dan berpikir sehat.

Benarkah berita ini?

Sementara itu Romo Kiyai tidak pernah bercerita tentang berita rencana penggusuran ini, memberi perumpamaan pun tidak. Para Ustad juga diam sebanyak bahasa, tidak pernah membahas tentang hal ini. Tetapi kenapa beritanya ramai di luar sana, dan beberapa orang telah mengabarkan hal ini ketika Si Ben belanja di warung di luar Pesantren.

“Apakah masyarakat di luar Pesantren lebih dulu mendapatkan informasi dari pada Romo Kiyai dan para Ustad. Teman teman di Pesantren pun juga tidak ada yang bercerita. Apakah ketika belanja di Warung sebelah, mereka tidak pernah mendengar kabar dari orang orang yang sama sama singgah di warung. Atau hanya saya saja yang menerima berita itu. Aneh memang. Kenapa ya ?” Pikiran Si Ben makin penasaran, konsentrasi menghapal Al Qur an mulai sedikit terganggu.

Di dalam pikirnya tetap ingin menghapal sampai 10 Juz, disisi lain ada keinginan membantu mempertahankan keberadaan pesantren.

“Tidak boleh ada yang menggusur pesantren. Tidak boleh… harus dilawan! Tapi siapa yang akan dilawan. Ini kan baru berita yang tidak jelas juga sumbernya.”

Si Ben jadi teringat pada petuah Romo Kiyai ketika bercerita tentang proses mengajinya para pemula, ketika mulai mengenal huruf Hijaiyah Alif, Ba, Ta, Tsa, Jim, Ha, Kho dan seterusnya. Romo Kiyai berkata:

“Mengenal huruf Hijaiyah ini sejatinya memberi bekal sejak dini pada para Santri, untuk belajar mengidentifikasi huruf, dari huruf Alif sampai dengan huruf Ya.

Cericit burung pipit tiba tiba datang dari arah pohon Sawo di samping dan depan Musola Pesantren, sesekali menimpali penjelasan Romo Kiyai, seolah ikut menyimak sambil paruhnya mematuk matuk kulit pohon mencari makanan.

“Untuk mengeluarkan suara A, terlebih dahulu perlu belajar mengerti karakter huruf Alif-nya. Huruf berbentuk garis berdiri tegak, kemudian dieja dengan bersuara: Jabar maksudnya menyebut nama Jabar sebagai tanda coret di atas huruf Alif. Kemudian bersuara Alif Jabar A. Jadi untuk menghasilkan bunyi A, santri harus mengeja tiga tahap, yaitu bersuara: Alif, Jabar, A. Di sinilah rahasianya!”

Suara burung Pipit semakin ramai, hari berangkat siang, burung burung berteduh di antara rimbun pohon. Mereka pun melompat dari satu ranting ke cabang, atau ke ranting yang lain, lalu terbang lagi. Romo Kiyai pun meneruskan:

“Sejak dini para santri sudah belajar mengeja huruf, berjuang menyuarakan dari satu huruf ke huruf berikutnya. Ada yang tiga tahap seperti yang tadi, ada juga yang empat tahap, semisal bersuara: Alif, Tanwin, Jabar An. Untuk sekadar bersuara An perlu melakukan tiga langkah sebelumnya yaitu: menyebutkan nama hurufnya, tanda tanwin, kemudian tanda Jabar yaitu coret dobel di atas huruf Alif sebagai penanda tanwin.”

Beberapa santri sesekali mengubah posisi duduk, kadang beringsut turun, bersandar tiang bambu, atau tegap, dan tetap hikmat menyimak. Hari berangkat senja, burung-burung Pipit kembali pulang ke sarang. Lelawa sesekali terlihat terbang, persiapan mencari makan malam. Entah buah apa yang akan didapat, dan di kebun siapa akan hinggap, sampai bergelantungan di pohon pohon menikmati santap malam buah buahan.

Sambil menunggu waktu magrib, pikiran Si Ben masih terngiang nasihat Romo Kiyai. Diambillah buku catatan mengaji yang sudah diletakkan di rak di dalam kamar asrama santri. Dibuka beberapa catatan hasil mengaji subuh tadi pagi, dan terbaca beberapa cacatan dari nasihat Romo Kiyai.

Seolah terdengar kembali suara parau Romo Kiyai:

“Mengenal huruf Hijaiyah ini sejatinya memberi bekal sejak dini pada para Santri, untuk belajar mengidentifikasi huruf. Dari huruf Alif sampai dengan ke huruf Ya.”

Ben pun bertanya pada diri sendiri di dalam pikir:

“Huruf apa yang sudah aku identifikasi? Apakah huruf huruf untuk menelaah siapakah Orangnya yang telah menebar berita adanya rencana Penggusuran Pesantren? Ataukah huruf AlQur an yang aku hapalkan? Atau kerling Gadis belia kapan hari yang lalu itu. Atau hanya Huruf Hijaiyah saja?”

Si Ben menghela napas, sesekali pandangannya menembus cakrawala yang sudah mulai menuju semburat jingga. Lanjutan dari nasihat Romo Kiyai  diingatnya kembali:

“Sejak dini para santri sudah belajar mengeja huruf, berjuang menyuarakan bunyinya, dari satu huruf ke huruf berikutnya.”

“Iya ya,” Pikir Si Ben berlanjut.

“Huruf apa yang sudah aku eja, huruf huruf Hijaiyah saja kah, atau ada huruf huruf kehidupan, seperti yang pernah disampaikan oleh Ustad Hafidz Kataman, di awal memasuki kelas belajar menghafal Ayat ayat AlQur an beberapa bulan yang lalu itu.

Ustad Hafidz Kataman atau biasa dipanggil Ustad Hafidz pernah berkata:

“Mengeja huruf Hijaiyah itu sejatinya belajar mengeja diri sendiri, mulai dari membaca huruf Alif sampai huruf Ya. Huruf Alif itu bisa menjadi simbol awal kehidupan, hurufnya polos tanpa titik, tanpa koma, dan lurus tak berbelok. Seperti bayi baru lahir. Polos tiada basa basi. Langsung bersuara vokal keras. Menangis sejadi jadinya. Mungkin indranya sudah paham bahwa dunia yang akan ditempati berpotensi penuh perjuangan, dan barangkali penuh derita juga.”

Ustad Hafidz diam sejenak sambil menerawang laba laba yang sedang lewat di dinding bilik musola. Kemudian lanjutnya:

“Seandainya indra alami Si bayi bisa menerka bahwa dunianya penuh kesenangan, dan lucu. Sudah selayaknya bayi yang baru lahir, bukan langsung menangis, tetapi terus tertawa bergembira. Nyatanya tidak. Ech Ben, atau jangan jangan waktu kamu lahir, langsung tertawa, ya Ben?”

Si Ben pun menjawab:

“Iya nggak lah Pak Ustad. Tapi tidak tahu ding, tidak ada yang Cerita”.

Santri-santri yang ikut mengaji pun serentak tertawa, sambil membayangkan bagaimana bila ada bayi yang baru lahir langsung tertawa.

Ustad Hafidz pun melanjutkan:

“Yang tertawa justru orang orang terkasih di sekitar sang bayi. Semua dapat manfaat, semua bergembira. Seperti itulah huruf Alif. Huruf ini juga selalu ingin bermanfaat bagi huruf huruf lain. Dan bisa menjadi penyebab perubahan cara membaca jika menempel ke huruf Hijaiyah yang lain. Yang tadinya dibaca pendek menjadi dibaca panjang, dan artinya pun berubah, semisal dalam bahasa Arab kata Kataba yang dibaca dengan suara pendek Kataba, jika ditambah huruf Alif di akhir kata, akan dibaca dengan suara panjang menjadi bersuara Katabaa. Artinya pun berubah dari dia satu orang telah menulis, menjadi mereka dua orang telah menulis.”

Sedang enak enaknya Si Ben mengingat ingat materi nasihat dari Ustad Hafidz, tiba tiba terdengar suara ustad Hafidz itu sendiri:

“Ben, sudah Magrib. Tabuh Kentongan, terus azan, ya.”

Ben pun bangkit dari tafakurnya, dan langsung menabuh kentongan, tanda waktu magrib telah tiba. Kemudian mengumandangkan azan, bersamaan dengan datangnya beberapa santri memasuki musola. Kian Kasep Bundaran, Hatta, dan beberapa teman Si Ben tampak mengantri di gentong pancuran air wudu. Sesekali suara derit roda kerekan untuk menimba air dari sumur gali, terdengar menemani santri yang sedang mengambil air dari sumur gali. Mereka bergantian menimba dan mengisi gentong.

Azan magrib sudah disuarakan, solat jama’ah pun segera dilakukan, kemudian para Santri, Kiyai, dan Ustad melakukan zikir wirid bersama sampai waktu mendekati solat isya tiba. Setelah itu mereka pun istirahat sejenak, dan sebagian kembali ke kamar masing masing. Ketika waktu isya tiba, santri santri pun kembali ke musola. Selepas solat Isya, musola masih dipadati santri. Di pojok belakang terlihat Kian Kasep, Banjar Kahanan, beserta Hatta duduk bersila saling bersebelahan. Cahaya temaram bulan menembus di sela lubang bilik bambu musola. Malam ini para santri bersiap membaca doa Tahlilan, malam ke empat puluh meninggalnya  Almarhum Paman Ustad Hafidz Kataman. Nanti rencananya ketika selamatan malam ke seratus hari diadakan di rumah duka, di rumah bibinya, Ustad Hafidz akan mengajak santri mengikuti Selamatan Tahlilan di rumah duka.

Tahlilan atau tahlil artinya sama saja, keduanya berasal dari kata bahasa Arab yakni hallala-yuhallilu-tahlilan, yang berarti membaca kalimat Tauhid Laa ilaha illalloh. Tiada Tuhan Selain Alloh. Doa Tahlilan ini sudah sangat mengakar membudaya bahkan telah menjadi tradisi di masyarakat Desa Bambu Bolong, baik dibaca ketika terkena musibah, maupun tatkala syukuran mendapatkan kabar gembira penuh suka ria.

Pada selamatan malam hari pertama sampai ke tujuh, Ustad Hafidz dan santrinya selalu hadir mengikuti selamatan Tahlilan di rumah duka. Doa  Tahlilan biasanya minimal terdiri dari membaca Dua kalimat syahadah, membaca AlQur an Surat (QS) Al-fatihah, QS Al-Ikhlas, QS Al-Falaq, QS An-Nas, QS Al-Baqoroh ayat 1 s/d 5 dan Ayat ke 284, 285 dan 286,  Ayat Kursyi, ditambah wiridan Istigfar, Sholawat, Tasbih, dan membaca Tahlil.

Untuk selamatan malam hari ke empat puluh setelah  Almarhum Pamannya meninggal, Ustad Hafidz sudah minta ijin ke bibinya bahwa Ustad tidak bisa hadir ke rumah duka. Cukup melakukan selamatan bersama santri di Musola Pesantren. Sebab pada hari ini, dari mulai tadi pagi sampai malam nanti ada persiapan haul peringatan wafatnya Mbah Yai Taufan Gunakarsa, Pendiri Pesantren sekaligus Tokoh Perintis berdirinya Kampung Halimun, di Desa Bambu Bolong.

Kampung Halimun sudah berdiri jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno, mendahului pendirian desa Bambu Bolong. Setelah Kampung Halimun mulai ramai, terutama karena kedatangan Kiyai, Ustad, Santri, dan Wali Santri, ditambah masyarakat umum yang ingin ketemu dengan Mbah Yai Taufan Gunakarsa, untuk berbagai macam keperluan. Barulah kemudian perkampungan di bawah Kampung Halimun, terutama yang di pinggiran sungai ikut menjadi ramai. Satu persatu rumah berdiri, kemudian membentuk komunitas tersendiri, akhirnya menjadi Desa Bambu Bolong, dan menjadi lebih ramai dari pada Kampung Halimun.

Konon ceritanya Desa Bambu Bolong berasal dari kawasan yang penuh dengan kebun bambu. Dari di antara rimbunan pohon bambu itu dipercaya sering muncul bayangan terbang, kadang juga berlari sambil melayang, terutama jika waktu bulan purnama tiba.

Ada yang bilang bayangan bayangan itu adalah jelmaan dari arwah Si Cartinah, Gadis manis yang dulu mati diperkosa oleh Kaum Penjajah bersama Cecunguk jagoan bayaran. Ketika purnama tiba kadang terdengar rintihan tangis pilu dan lengking siul bersautan dari arah kebun bambu menuju pemukiman warga yang masih jarang jarang.

Ada juga cerita warga bahwa arwah Si Cartinah kadang juga ingin menuntut balas dengan menganggap semua orang adalah jahat, seperti para Penjajah dan Cecunguk bayaran. Arwah Si Cartinah pun mengubah diri menjadi Hantu Bolong yang tidak lagi perawan, karena telah diperkosa. Hantu ini penasaran dan sering mengganggu orang orang yang sedang lewat di kebun kebun bambu.

Ada juga cerita bahwa Hantu Bolong sebenarnya tidak menganggu siapa siapa, dia hanya ingin menunjukkan bahwa Cartinah masih ada, jasadnya saja yang mati. Jiwanya masih ada bersama warga di kebun bambu.

Sejak cerita cerita seperti itu muncul, lahir pula penamaan kawasan itu, dan diberi nama kawasan Bambu Bolong. Kawasan kebun bambu yang ada Hantu Bolongnya. Wallohu a’lam.

Ada juga versi lain yang menyatakan bahwa di kawasan itu ada Orang pintar yang sedang mencari Ajian Bambu Buntet, alias Batang Bambu yang berupa batang pejal, silinder bambunya tidak berlubang sama sekali, semua terisi padat oleh serat bambu. Setelah sekian lama tirakat dan menjalankan lelaku batin cukup berat, akhirnya Orang pintar itu mendapatkan pusaka bambu buntet dari Bambu warna Kuning di kawasan kebun bambu, dan menjadi semacam ajian Bambu buntet. Kesaktian ajian Bambu buntet ini menjadi terkenal ke tempat lain, sehingga mengundang kedatangan orang orang yang ingin mendapatkan ajian Bambu Buntet. Siapa sich yang tidak tertarik dengan ajian Bambu buntet. Sebab bagi yang memiliki ajian ini bisa menjadi tabib yang mampu menyembuhkan orang sakit dari berbagai macam penyakit, dan bisa kaya raya, serta bisa juga menjadi disegani oleh banyak orang di sekitarnya. Ketika banyak orang yang datang, tertarik untuk berburu pusaka Bambu Buntet, ternyata Bambu Kuning yang dimaksud tak kunjung ditemukan. Rumpun Bambu Kuning serasa lenyap tak berbekas, orang orang yang datangpun banyak kecewa, dan sering berkata:

“Tidak ada Bambu Buntet di sini, tidak ada. Semuanya bolong. Si Bambu Bolong”.

Sejak saat itulah kawasan itu diberi nama dusun Bambu Bolong yang akhirnya berkembang menjadi Desa Bambu Bolong. Wallohu a’lam. Yang pada gilirannya cerita cerita tentang Desa Bambu Bolong sampai juga mampir ke telinga santri di Pesantren Bale Rombeng.

Tatkala Tahlilan rampung, beberapa santri masih duduk bersila di dalam Musola. Malam ini mereka langsung mengambil AlQur an dan mulai membaca AlQur an sampai tamat. Masing masing santri mendapat bagian membaca satu Juz, ada juga yang dua Juz. Semua harus selesai dibaca sejumlah lengkap 30 Juz oleh seluruh santri.

Tentang jumlah 30 Juz ini, pernah suatu saat, ketika musim Pemilihan Umum (Pemilu), banyak orang blusukan ke Pesantren, menjadi tamunya Mbah Yai Taufan Gunakarsa. Dialog pun dimulai:

“Bapak-bapak, dan ibu terimakasih sudah rawuh di padepokan pesantren kami. Ohya di sisi kanan kiri saya ini, beberapa Ustad yang berhikmat menjadi penuntun untuk diri sendiri khususnya, dan para santri pada umumnya,” kata Mbah Yai Taufan Gunakarsa, yang kadang masyarakat memanggil dengan sebutan Mbah Yai. Satu diantara tamu, yang paling gagah pun menyahut sopan:

“Iya Mbah Yai, siap! Kami bermaksud mohon doa restu Mbah Yai, Saya akan mencalonkan diri sebagai Anggota Dewan, Nyalon lagi, agar dipilih kembali oleh Masyarakat banyak, terutama dari Lingkungan di sekitar sini. Mereka semua termasuk Daerah Pemilihan (Dapil) kami, Mbah Yai.

Mbah Yai langsung menengadahkan tangan tanda berdoa sambil khusuk bersuara pelan hampir tak terdengar, doa doa pun dilafazkan. Angin sepoi menerpa bilik bambu rumah Mbah Yai, sementara itu, kupu kupu lalu lalang seolah sambil mengeja Dapil, apa itu Dapil. Yaitu: Daerah pemilihan sesuai batas wilayah atau jumlah penduduk di wilayah Indonesia atau pun di Kedutaan Besar Negara Republik Indonesia yang berada di Luar Negeri. Dapil ini menjadi dasar penentuan jumlah kursi yang diperebutkan di dalam Pemilu. Oleh karena itu Dapil menjadi dasar penentuan jumlah suara bagi calon anggota dewan yang terpilih.

Kupu-kupu kuning hinggap di antara tanaman Melati yang tumbuh merambat di pagar samping rumah Mbah Yai. Pagarnya terbuat dari pohon teh tehan daun kuning yang ditimpa tanaman melati menjalar di atasnya, dengan bunga putih beraroma wangi menyebar ke segala arah. Ditambah pohon Kemuning, dan pohon Anting putri, semakin membawa suasana wangi alami di seputaran rumah Mbah Yai. Kadang aroma wanginya juga terendus sampai di dalam rumah, ketika terbawa angin malam. Bahkan menembus ke kamar kamar santri, Musola dan di jalanan makadam yang menuju ke arah Pesantren. Dialog pun masih berlanjut. Orang yang tampak gagah pun berkata:

“Santrinya banyak, ya Mbah Yai. Ohya Saya bersama Tim Sukses. Mereka ini semua Timses kami, Mbah Yai“.

Satu di antara Timses, berkata:

“Banyak anak anak kecil juga, Ya Mbah Yai“.

Mbah Yai pun menjawab:

“Iya betul. Anak anak kecil ini sekitar umur 10 Tahun. Sebentar lagi akan Hatam Al Qur an, alias Tamat belajar membaca Al Qur an. Mereka santri di kelas Ula. Kelas pertama. Fokus belajar baca Al Qur an”.

Satu di antara Timses berkata:

“Bagus banget, umur masih bocah sudah bisa hatam AlQur an. Hampir tamat malah”.

Mbah Yai menimpali:

Alhamdulillah, ada lagi, yang berjalan di depan itu. umur baru tujuh tahunan. Nanti malam dia ikut ujian hapalan berjenjang. Saat ini sudah hapal lima Rukun Islam, dan enam Rukun Iman,” kata Mbah Yai, sambil terkesan berseloroh.

Timses satunya lagi yang dari tadi diam menyimak, manggut manggut ikut menyahut ngobrol bareng Mbah Yai.

Wow... hebat dia, Mbah Yai, masih sangat bocah bisa hapal Rukun yang segitu ya. Semoga bisa menambah lagi hapalannya. Terus untuk ikut ujian hapalan berjenjang nanti malam, masih kurang berapa lagi Rukun Islam dan Rukun Iman yang harus dihafalkan, Mbah Yai?”

Dengkur langit tiba tiba mereda mau berubah menjadi tertawa takut dosa. Mbah Yai memandangi Timses yang berbusana ala Pangeran Diponegoro. Berpakaian jubah putih, dengan udeng imamah putih sambil membawa Tasbih. Penampilan karakter yang sangat kuat dengan tanya memikat.

Dialog makin terlihat akrab, Mbah Yai dan para Ustad hanya tersenyum senyum saja. Apalagi ketika rehat, ramah tamah, makan minum sejenak. Timses yang memakai baju koko bertanya pelan ke Pak Ustad Juwana yang duduk di sebelahnya:

“Pak Ustad, anak yang umur 10 tahun tadi, memang mau hataman AlQur an, ya. Tamat membaca AlQur an, maksudnya begitukah?”.

“Iya betul. Saat ini dia sudah memasuki Juz Amma, Juz ke tiga puluh. Setelah Hataman, biasanya anak anak segitu langsung minta sunat, jika belum disunat,” kata pak Ustad Juwana agak menjelaskan singkat. Timses hikmat mendengarkan, rasa bangga mengaliri pikirannya, ternyata ada anak kecil yang hatam membaca AlQur-an hampir tamat, sudah sampai di Juz Amma. Timses pun melanjutkan bertanya:

“Hebat dia itu ya, sudah sampai Juz Amma. Kalau begitu kira-kira masih kurang membaca berapa Juz lagi, Pak Ustad, dan di Juz apa namanya ya?”

Suara jangkrik tiba tiba terdiam, mungkin kaget, mendadak ada penahanan tawa dari Pak Ustad Juwana. Senyum simpul berusaha mengerti apa makna dari pertanyaan Timses yang seperti ini. Pak Ustad menjadi ingat nasihat dari Mbah Kiyai:

“Siapa pun yang datang silaturahmi, kita terima saja. Meskipun terasa tertolak oleh akal sehat. Ataupun terkesan lucu dan cenderung tidak bermutu. Terima saja. Karena kita tidak pernah tahu siapa sesungguhnya yang akan membawa berkah untuk kita semua. Jangan jangan justru dari tamu yang tidak pernah kita sangka sangka, keberkahan datang berlimpah ruah.”

Ustad Juwana pun diam tersenyum kecil, tetap berusaha menjaga adab menghormati tamu, meskipun ingin rasanya tertawa, menertawakan diri sendiri atas ketidak tahuan orang lain, yang terkesan mengerti padahal keliru. Penampilan mereka, Timses ini sich bagus, seperti kiyai kondang. Tetapi kenapa bertanya seperti itu. Benar benar tidak mengerti atau kah memang berita dakwah belum sampai pada mereka. Jika demikian, Pesantren ini wajib mugholadoh yakni saking besarnya kewajiban yang harus dijalankan untuk berdakwah lebih luas lagi ke kalangan mereka dan rekan. Padahal mereka ini merupakan timses yang sering memberikan masukan pemikiran pada calon anggota dewan, bahkan mungkin nanti jika yang diusung benar benar terpilih dan dilantik menjadi anggota dewan, bisa jadi timses ini berpotensi diangkat menjadi staf ahli atau minimal sebagai teman ngopi bersama. Terus bagaimana?

“Tidak apa-apa, terima saja.”

Begitulah Nasihat Mbah Yai. Jangan jangan Timses tadi memang benar benar tidak mengerti bahwa AlQur an itu terdiri dari 30 Juz, dan Juz Amma sebagai nama Juz terakhir alias Juz ke 30 dari AlQur an, dan ada lima Rukun Islam, dan enam Rukun Iman.

Malam pun mulai tak tertahankan terus merayap, menuju kegelapan yang paling ngungun, dan dingin. Halimun alias kabut mulai berdatangan, tamu tamu pamit meninggalkan rumah Mbah Yai.

Dialog berganti dengan suara suara malam yang saling bersautan dari suara: tokek, kodok, derik jangkrik, lolongan anjing liar, burung hantu, hembusan angin perbukitan kian lembut menerpa dedaunan di sekitar kawasan pesantren. Seolah menyibak lembar lembar ingatan pada masa awal perintisan berdirinya Pesantren dan pembukaan kawasan. Kata orang, dulunya disini sebagai tempat Jin buang anak. Bukan sekadar peribahasa namun benar benar tempat yang jauh ke mana mana, dan jauh dari mana pun. Mbah Yai mulai membuka pengajian di Dusun Halimun bukan atas kemauan diri sendiri,  melainkan lebih kepada ketaatan melaksanakan tugas dari sang Guru mengajinya.

“Pantang tolak tugas!”

Begitu istilah yang berlaku di kalangan Santri. Mbah Yai muda pun segera menuju Lokasi yang ditunjuk oleh Gurunya, agar bisa menetap di situ, sekalian membuka Padepokan Pesantren Bale Rombeng, demikian masyarakat sekitar menyebutnya, atau lebih tepatnya Padepokan Pesantren Halimun. Awalnya hanya seorang diri tinggal di lokasi Pesantren, kemudian disusul oleh beberapa teman utusan sang Kiyai, dan santri santri juga berasal dari utusan sang Kiyai. Lokasi pesantren awalnya merupakan sebidang kebun milik sahabat sang Kiyai, kemudian dihadiahkan ke sang Kiyai untuk kepentingan Pesantren. Tidak luas memang, hanya cukup bagi keperluan Pesantren, yaitu untuk rumah Kiyai, Musola, Sumur gali serta tanah kosong untuk berkebun sayuran. Mbah Yai pun akhirnya betah berdakwah di lokasi tersebut, dan menikah dengan putri Kiyai Desa sebelah, setelah dijodohkan oleh Gurunya.

Sedikit demi sedikit keluarga Mbah Yai bisa membeli tanah di seputaran lokasi Pesantren. Itu terjadi puluhan tahun yang lalu, ketika Ustad Juwana masih menjadi Santrinya Mbah Yai. Ustad Juwana atau saat ini lebih sering disebut sebagai Kiyai Ju adalah ayahanda dari Ustad Hafidz Kataman. Kiyai Ju sahabat akrab Romo Yai Kasepuhan Pesantren Halimun. Sejak berguru di Pesantren Halimun, ketika Mbah Yai masih hidup, kemudian berlanjut ke Putra Mbah Yai yaitu Kiyai Arman Gunakarsa, dan saat ini Pesantren Halimun diasuh oleh Kasepuhan Romo Kiyai Iqbal Gunakarsa atau sering dikenal sebagai Romo Kiyai ataupun Kiyai Sepuh yakni putra Kiyai Arman Gunakarsa, sampai mengembara berguru ke beberapa Pesantren di Jawa, Kiyai Ju selalu menemani Romo Kiyai. Akhirnya hubungan persahabatan mereka berdua sepertinya sudah melebihi keakraban saudara kandung. Keakraban antara Romo Kiyai alias Cucu dari Mbah Yai Pendiri Pesantren Halimun dengan sahabat karibnya yakni Kiyai Ju ayahanda dari Ustad Hafidz Kataman. Keakraban sejak masa bocah sampai hari ini, ketika keduanya sudah menjadi Kasepuhan.

Ustad Hafidz Kataman putra Kiyai Ju juga melanjutkan hikmat menjadi penuntun para santri di Pesantren Halimun asuhan Kiyai sepuh. Sedangkan Kiyai Ju sendiri hanya sesekali datang silaturahmi ke Kiyai sepuh. Itu pun jika ada waktu luang.

Sehari-harinya Kiyai Ju membuka pengajian khusus membaca AlQur an di Musola di samping rumah di desa sebelah, hanya berbeda Kabupaten saja. Pas di perbatasan dengan Kabupatan dari Desa Bambu Bolong. Kiyai Ju dan Romo Kiyai, saat ini sama sama menjadi kasepuhan di desa masing masing. Suatu saat, ketika Ustad Hafidz pulang kampung, Kiyai Ju ayahandanya bilang:

“Dulu, ketika masih bocah, kakekmu mengirim ayah berguru langsung ke Kakeknya Romo Kiyai, kemudian berlanjut ke ayahandanya Romo Kiyai. Setelah mulai remaja, saya dan Romo Kiyai muda ditugaskan oleh ayahandanya Romo Kyai untuk mengembara, berguru dari satu Pesantren ke Pesantren yang lain di tanah Jawa.”

Hari semakin dermawan seolah tiada habis habisnya mempersilakan semua orang menikmati kemanjaan bulan purnama, dan selalu memberikan kedamaian. Temaram cahaya menerpa benda benda dan membentuk bayang bayang seakan bergeliat menari manakala terhembus angin sepoi gemulai. Bayang bayang memang kadang bisa menimbulkan intepretasi bagi para penikmat temaram bulan. Ada yang terinspirasi untuk membangun jalan mewujudkan cita cita, ada juga yang hanya membiarkan berlalu begitu saja meski puluhan purnama telah datang menghampiri. Kadang justru menyambutnya dengan menjalin mimpi, dan benar benar mimpi dalam arti sesungguhnya di dalam dengkur tanpa tafakur semalam suntuk, tidak harus di atas kasur. Semua tergantung pada pilihan masing-masing. Itu pun jika mampu memilih.

Namun kadang bukan karena pilihan, tetapi justru keterpaksaan. Terpaksa rebahan tanpa tujuan yang pasti sambil menghitung bayang bayang ketidak pastian. Sampai terpejam, nyatanya ada yang tak mampu terkantuk pulas, kecuali hanya sebentar. Purnama pun memburam tertimpa polusi cahaya di langit langit rumah yang luas, namun tak mampu menampung pikir yang berusaha menembus ruang dan waktu. Di sisi lain cahaya seolah terpendar dari genggaman tangan, tak pernah bisa terhindarkan. Di tangan yang selalu bercahaya, di saku pun kadang masih bisa bercahaya, apa lagi jika gelap malam tiba, makin terlihat pendar cahayanya, sekalipun berselimut kain sarung, tetap bercahaya. Entah cahaya dari peralatan apa.

“Pikiran wajib dikendalikan. Begitu kata ayahanda saya.”

Suara Ustad Hafidz Kataman memulai berbicara dengan Santri yang duduk berkeliling saling menjaga jarak di sekitar Ustad. Lalu lanjutnya:

“Kenapa perlu dikendalikan? Sebab pikiran bisa berpotensi menjadi sahabat, atau bahkan mampu menjadi musuh bagi pemiliknya.”

Santri-santri tetap hikmat mendengarkan pembicaraan Ustad Hafidz, padahal malam ini bukan waktunya jadwal mengaji, hanya rehat melepas penat sambil nenikmati sisa purnama beberapa malam yang lalu. Mereka semua baru saja selesai bersama sama membaca doa Tahlilan, Selamatan malam ke empat puluh atas meninggalnya Paman Ustad Hafidz, sekaligus selamatan hataman AlQur an persiapan peringatan Haul wafatnya Mbah Yai Pendiri Pesantren beberapa puluh tahun yang lalu. Selamatan dilakukan di Musola Pesantren.

Ustad Hafidz kemudian meneruskan bicaranya:

Alhamdulillah, Tahlilan dan Hataman AlQuran sudah kita laksananakan. Besok malam insya Alloh, Peringatan Haul Almaghfurulloh Mbah Yai Taufan Gunakarsa bin Sudira Gunakarsa. Almarhum adalah Pendiri Pesantren kita ini, Pesantren Halimun atau Pesantren Bale Rombeng, kata masyarakat di sini.” Ustad Hafidz berhenti sejenak seraya menyapu pandang santri santri yang hadir. Lalu berkata lagi:

“Selamatan Haul berbeda dengan Pesta Hari Lahir. Setahu saya jarang sekali ada Kiyai memperingati Hari Lahir. Apa bedanya peringatan Haul dan Harlah alias Hari Lahir?”

Kerlip bintang sedikit tampak menjauh dari terang cahaya bulan, cahaya sisa purnama. Ustadz Hafidz masih bersemangat mengobrol dengan para santri. Lalu katanya lagi:

“Jika Harlah Peringatan Hari Lahir, belum banyak yang bisa diceritakan tentang perjuangan sang bayi menuju hari kelahiran. Bayi pun tanpa usaha, seolah bisa otomatis Lahir jika memang sudah waktunya lahir, 9 bulan 10 hari. Bapak ibunya lah yang berjuang mempersiapkan kelahiran sang bayi. Sebelum lahir, calon bayi tidak bisa memilih siapa ayahnya, dan dari ibu yang mana yang akan menjadi ibu kandungnya. Segalanya tentang kelahiran diterima saja oleh sang bayi, tanpa tersedia pilihan. Kira kira di antara kalian adakah yang diberi kesempatan mau lahir dari keluarga yang mana?”

Para santri menggeleng, sambil sedikit mulai ada yang mengantuk. Ustad Hafidz masih meneruskan kata katanya:

“Itulah bedanya Harlah dengan Peringatan Haul. Pada umumnya Haul dilaksanakan untuk menghidup hidupkan semangat Almarhum yang mendapatkan pelaksanaan Haul. Ketika Haul biasanya dibacakan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Yang meliputi silsilah nasab Syaikh Abdul Qadir al Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya. Diteruskan doa tawassul kepada Allah SWT melalui perantara Syaikh Abdul Qadir al Jailani. Setelah itu diteruskan dengan membaca Riwayat Perjuangan dan Pengorbanan ketika Almarhum masih hidup, maksudnya riwayat Almagfurulloh Almarhum Mbah Yai Taufan Gunarasa. Kisah kisah menarik dibacakan, Testimoni pengalaman baik, tentang Almarhum, dari orang orang yang pernah berjumpa, bergaul, bahkan hanya mendengar cerita baiknya juga kadang disampaikan. Jadi sebelum kematian menjemput, mumpung masih hidup, kita semua bisa mengambil hikmah atas kerja keras, perjuangan, dan pengorbanan Almarhum untuk anak cucu, keluarga, santri, ustad, dan bagi masyarakat luas pada umumnya. Kira kira seperti itulah sedikit beda antara Pesta Hari Lahir, dan Selamatan Haul Kematian.”

Ustad Hafidz jeda sebentar kemudian menutup obrolannya:

“Sudah cukup ya. Insya Alloh, di lain waktu kita sambung lagi. Assalamu alaikum…”

Santri santri pun menjawab salam serempak, kemudian cium tangan ke Ustad, dan segera meninggalkan Musola. Beberapa diantara santri terlihat empat santri remaja: Si Ben, Kian Kasep, Banjar Kahanan, dan Hatta berjalan berurutan menuju asrama Pesantren bersama sama deretan santri lain. Si Ben tampak gontai, sedikit ngantuk, namun pikirnya teringat tentang Pesta Hari Lahir yang diterangkan oleh Ustad Hafidz Kataman barusan. Tiba tiba pikiran nakalnya tertuju pada kerling gadis belia di atas liang lahat ketika pemakaman Almarhum Pamanda Ustad Hafidz beberapa pekan lalu. Waktu ikut hadir Tahlilan di rumah duka, si gadis belia itu tak tampak hadir.

“Kira kira dimana ya, rumahnya. Jangan jangan Hari ini dia sedang berulang tahun. Bagaimana ya, cara mengucapkan Harlahnya.”

Si Ben berpikir sendiri, bertanya sendiri, dan penasaran sendiri. Tahu tahu kamarnya pun sudah berada di depan mata. Kemudian dia merapat ke Banjar Kahanan, dan bertanya:

“Ban, Banjar kapan datang, lama juga kau di kampung halaman?”

Hatta pun menimpali:

“Iya, lama juga ya. Bagaimana kabar keluargamu, Kakekmu?”.

Yang ditanya langsung duduk bersila di samping Kian Kasep, lalu katanya:

“Tadi pas di Musola, Pak Ustad Hafidz juga bertanya kapan datang, dan bagaimana kabar Keluarga? Aku datang tadi sore bakda Asar. Tentang keluarga… Kakekku tidak tertolong,  Almarhum komorbit sakit diabet. Begitu dinyatakan positif kena Covid, langsung ngedrop. Dua pekan kemudian tiada.”

Si Ben pun menyela:

“Lahumul Fatihah…”

Mereka berempat langsung berdoa membaca  Alfatihah untuk  Almarhum. Sebelum Banjar melanjutkan ceritanya, Hatta bertanya pada Kian Kasep Bundaran:

“Bun, kamu kapan datang, bagaimana kabar berita keluargamu, semoga sehat semua. Aamiin.”

Belum sempat Kian menjawab, Banjar Kahanan menimpali:

“Ow… Kenapa sekarang dipanggil Bun, ganti ya, Kian? Oh ya kamu kemarin pulang juga, ya?”

Kian segera menjawab:

“Tahu nich temen temen, pada ikutan seperti bapakku. Bun… begitu bapakku ketika memanggil namaku: Kian Kasep Bundaran. Tentang keluargaku Alhamdulillah sehat. Kemarin sepupuku sunat, terus makan makan. Hehe. Oh ya, saya baru datang tadi, hampir bersamaan dengan datangnya Banjar. Hanya saja aku terus ke warung, lapar.”

Hampir bersamaan Hatta dan Si Ben menyahut:

“Dasssar! Tidak bisa laparan dikit!”

Setelah mereka semua senyum-senyum simpul, kemudian Banjar melanjutkan ceritanya:

“Almarhum Kakekku dimakamkan sesuai protokol Covid-19, langsung berangkat dari Tempat Karantina Isolasi di Rumah Sakit, menuju Pemakaman khusus korban Covid. Tata caranya sama persis dengan yang ada di berita berita Koran, atau pun televisi.”

Ketiga temannya, Si Ben, Kian kasep, dan Hatta mendengarkan sambil sesekali memperhatikan bagaimana Banjar Kahanan menjelaskan prosesi dan protokol pemakaman bagi jenazah kakeknya yang menjadi korban Covid. Banjar berusaha memaparkan detail bagaimana prosedur pemakaman berlangsung. Meski pun di beberapa daerah prosedur ini mendapatkan penolakan dari pihak keluarga. Namun bagi Banjar sekeluarga, terutama kedua orang tuanya. Lebih baik mengikuti petunjuk para ahli. Kiyai, Ulama, dan Dinas Kesehatan adalah para ahli. Gabungan Ulama dan Umaro telah memberi arahan agar dimakamkan sesuai prosedur pelayanan pemulasaran untuk jenazah yang meninggalnya sebagai korban Covid.

Banjar Kahanan kemudian ingat bagaimana dan apa saja yang telah dilakukan Petugas Kesehatan dan keluarganya ketika pemakaman berlangsung.

“Mula mula ada kabar dari Petugas Kesehatan bahwa Almarhum Kakekku sebagai korban Covid-19, hanya boleh diurus pemakamannya oleh petugas kesehatan. Seluruh Petugas kesehatan menggunakan Alat Pelindung Diri berupa pakaian pelindung, sarung tangan, masker, dan kacamata. Petugas berdisiplin tidak mau makan, minum, ataupun menyentuh wajah selama berada di ruang pemulasaran jenazah, dan di area untuk melihat jenazah.

Jenazah kakekku, kata petugas, dibungkus seluruhnya di dalam kantong jenazah yang tidak mudah tembus dan bocor, jika ada cairan sebelum dipindahkan ke kamar jenazah. Setelah itu jenazah langsung dipindahkan ke kamar jenazah.

Kami keluarga yang berduka dengan berpakaian APD diizinkan melihat dan mendoakan Almarhum, sambil mendengarkan penjelasan dari Petugas Kesehatan tentang penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal dengan penyakit menular.

Kami sekeluarga berharap semoga kakekku meninggal dalam keadaan mati syahid karena sedang melawan penyakitnya. Jenazah pun dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya. Alhamdulillah Petugas Kesehatan dan Anggota MUI serta Staff dari kantor Kementerian Agama setempat selalu mendampingi, ketika prosesi pemulasaran jenazah berlangsung, dari memandikan, mengafani, mensolatkan sampai memakamkan di pemakaman khusus korban Covid-19. Alhamdulillah, akhirnya musibah kami telah usai. Semoga Kakekku bahagia dan mendapatkan nikmat kubur di alam sana. Al-fatihah…”

Banjar Kahanan menutup ceritanya dengan berkirim doa Al-fatihah untuk Almarhum kakeknya, dan ketiga sahabatnya pun mengikuti bersama sama berdoa. Kemudian mereka bubar, menuju posisi masing masing untuk segera istirahat tidur, agar besok bisa bangun dalam keadaan semakin segar bugar. Apalagi di Pesantren sedang ada persiapan peringatan Haul atas wafatnya Mbah Yai Taufan Gunakarya, Sang pendiri Pesantren, sekaligus perintis berdirinya perkampungan Halimun, yang mengacu pada nama Pesantren Halimun, atau Pesantren Bale Rombeng. Sesuai namanya Pesantren Halimun.

Selepas solat subuh halimun putih mengepung kawasan Pesantren. Gigil dini hari terus merambat ke bakda subuh. Kira kira 14 derajat Celsius. Lebih dingin dari temperatur rata rata ruang berpendingin yang hanya sekitar 16 s/d 20 derajat Celcius. Udaranya benar benar segar, bersih dan sehat.

Dari kejauhan Si Ben terlihat tubuhnya masih terbungkus sarung, duduk bersila di teras kamar, sepertinya sedang komat kamit menghapalkan beberapa ayat Al-Qur an. Ben terus berusaha menghapalkan 10 Juz ayat ayat Al-Quran.

Ada yang pernah bilang bahwa Satu Juz biasanya rata rata terdiri dari sekitar 20 halaman atau 10 lembar. 10 Juz berarti sekitar 200 halaman. Seperti itulah kira kira target Si Ben dalam menghapalkan ayat ayat Al-Qur an untuk 10 Juz. Hal ini sesuai dengan target kesempatan yang pernah diberikan oleh Romo Kiyai Sepuh kepada Si Ben beberapa bulan yang lalu.

Si Ben pun terus berusaha di tengah kesibukan sebagai santri yang mulai diajak dan dituntun terjun melakukan pelayanan ke masyarakat di sekitar Pesantren. Kemana pun pergi Ben selalu membawa Kitab Al-Qur an kecil, dan dirinya pun senantiasa menjaga wudunya. Setiap batal wudu, dia langsung kembali mengambil air wudu.

Ketika mengaji Bab Fiqih ibadah, Ustad Cep Umar pernah menjelaskan bahwa yang membatalkan wudu itu ada beberapa kejadian di tubuh, antara lain tatkala: Kentut, Kencing, Keluar kotoran dari lubang dubur, Tertidur lelap, Pingsan, Gila, Memegang Kemaluan, dan Bersentuhan antara Lelaki Perempuan bukan Mahram. Dalam artian Mahram adalah Orang lawan jenis yang tidak boleh dinikahi menurut hukum Islam. Jika mereka bersentuhan kulit bertemu kulit, wudunya pun langsung batal. Bagi yang sudah batal wudu maka wajib berwudu lagi jika akan solat, maupun bagi yang mau membaca Kitab Al-Qur an.

Si Ben terus mengamalkan setor hapalan, dan langsung disimak oleh Penghafal Al-Qur an, yaitu Ustad Hafidz Kataman. Satu ayat demi satu ayat, satu halaman demi satu halaman, Satu surat demi satu surat, atau Satu Juz ke Juz berikutnya. Dan hari demi hari. Semangatnya masih membara di tengah tugas yang kadang memerlukan keberanian tersendiri untuk selalu fokus, atau kembali fokus pada terwujudnya impian.

Tentang cita-cita, Si Ben menjadi ingat pada nasihat Kiyai Sepuh yang menyatakan bahwa suatu ketika, Nabi Yusuf Alaihissalam menghadap Ayahandanya yaitu Nabi Ya’qub Alaihissalam, beliau berkata:

“Wahai ayahku, semalam aku bermimpi melihat sebelas Bintang, Matahari dan Bulan. Mereka semua sujud hormat kepadaku.” Nabi Ya’qub Alaihissalam ayahanda Nabi Yusuf Alaihissalam berkata:

“Jangan engkau ceritakan mimpimu pada saudaramu.

Romo Kiyai Sepuh kemudian menarik nafas sebentar, dan melanjutkan nasihatnya:

“Cita-cita atau impian, kadang perlu perlindungan dari pemiliknya. Sebab tidak semua orang senang mendengar atau mengetahui apa saja cita cita kita masing masing. Meskipun mereka itu saudara sendiri. Kisah Nabi Yusuf Alaihissalam sudah memberi tahu kita. Betapa Ayahandanya menasihati Nabi Yusuf Alaihissalam agar tidak pernah menceritakan mimpinya kepada saudara saudaranya. Sebab yang bisa memahami impian atau pun cita cita, hanya sesama orang yang sama sama punya impian, punya cita cita.

Ceritakan mimpimu hanya kepada orang yang bisa melindungi impianmu, seperti Nabi Ya’qub Alaihissalam melindungi mimpi Nabi Yusuf Alaihissalam putranya.”

Si Ben pun segera menerawang jauh:

“Nasihat itu tepat untukku atau Jangan jangan memang disengaja hanya untukku.

Merenung sejenak, lirih dari bibir Si Ben terdengar suara:

“Subhanalloh. Aku harus bisa. Harus!

Hari pun mulai berangkat siang. Satu persatu santri berjalan menuju halaman Pesatren bersiap gotong royong mendirikan tenda untuk pelaksanaan Haul  Almarhum Mbah Yai. Si Ben pun bergegas kembali ke kamar, kemudian mandi, dan sarapan pagi. Terus langsung bergabung ikut gotong royong, di antaranya membersihkan rumput, atau pun dedaunan yang berjatuhan di halaman Pesantren. Termasuk membersihkan lumut lumut tebal yang tumbuh di sekitar batu batu pijak yang tertata rapi dari musola menuju tempat wudu. Lumut lumut perlu dibersihkan agar tidak terlalu licin ketika dipijak untuk lewat. Gentong pancuran juga perlu dibersihkan, agar aroma air segar tetap terjaga kesegarannya.

Semakin sore semakin mendekati pelaksanaan peringatan haul Almarhum Mbah Yai Taufan Gunakarsa. Satu persatu tamu mulai berdatangan. Ada yang berjalan kaki, naik sepeda motor, bahkan ada yang berkendara mobil. Beberapa pemuda dari anggota Barisan Ansor Serbaguna dari Nahdatul Ulama (Banser-NU) dengan baju lorengnya yang khas, tampak mengatur membantu memberikan pelayanan menjaga ketertiban, dan keamanan demi lancarnya seluruh perhelatan Haul nanti malam. Satu diantara tugas Banser pada saat acara Haul nanti malam adalah mengawal para Kiyai dari pertigaan jalan di bawah perbukitan menuju jalan tanjakan ke arah pintu masuk gerbang Pesantren.

Hari sudah bakda waktu asar, Gotong royong pun mulai usai, santri santri bergegas kembali ke kamar masing masing untuk persiapan hari menjelang waktu magrib, dan selesai sholat Isya nanti, Peringatan Haul, akan dimulai.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *