Sejak awal percakapan, Mbah Samin sudah megap-megap menahan emosi. Ingin rasanya ia meremas-remas mulut Si Fulan yang asal mangap itu, seperti meremas kerupuk, krues… krues… huh ! remek dah lo! Benar-benar keterlaluan. Agama dia bilang seperti candu, Tuhan menjadi produsennya, Nabi dan Rasul sebagai distributor, dan umat manusia adalah konsumen yang siang malam mabuk surga dan neraka. Nauzubilah min dzalik, amit-amit jabang bayi. Ini orang pasti otaknya setengah mateng. Belum pernah kelilipan sendal anak muda ini. Ngomong koq sembarangan.
Mbah Samin menyulut sebatang rokok untuk meredam geramnya. Si Fulan yang duduk di hadapannya itu memandang ke atas sembari berkata: “Sampai detik ini saya belum yakin kalau Tuhan itu ada. Setiap kali saya bertanya, baik itu kepada Pastur, Pendeta, Kyai, Ustad, Biksu, Rohaniawan, Profesor, dsb, dsb. Tidak pernah ada jawaban yang dapat membuat saya yakin bahwa…”
“Boleh aku tahu, apa pertanyaanmu?”
“Mbah yakin akan bisa menjawab?”
“Keluarkan saja.”
Si Fulan seperti ragu-ragu. Profesor saja nggak bisa menjawab pertanyaannya, apa lagi hanya seorang Mbah Samin. Sekolahnya saja di bawah pohon bambu. Bisa apa dia?
“Baiklah, ada tiga pertanyaan yang kalau Mbah bisa jawab dengan baik, saya akan…”
“Pertanyaan pertama.” Mbah Samin tak sabar lagi.
“Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan pada saya seperti apa wujud Tuhan itu.”
“Yang kedua?”
“Seperti apakah yang dinamakan Takdir itu?”
“Ketiga.”
“Kalau memang benar setan itu diciptakan dari api, mengapa ia dimasukkan ke dalam neraka yang juga terbuat dari api. Tentu saja ia tidak akan merasa sakit.”
Mbah Samin berdiri, mematikan rokoknya ke asbak, lalu menghampiri Si Fulan. Matanya menatap tajam.
“Kamu sudah siap menerima jawaban?” Suara Mbah Samin terdengar datar, dingin dan ketus. Fulan mengangguk.
“Ijinkan aku menampar pipimu, anak muda.”
“Maksud Mbah Samin…”
Klepok! Klepok!
Dua tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiri dan kanan. Si Fulan tentu saja kaget dan heran. Sambil meringis menahan sakit, ia bertanya.
“Mbah Samin marah?”
“He he… Saya tidak marah. Tapi itulah jawaban atas tiga pertanyaanmu.”
“Bagaimana bisa begitu, Mbah? Saya tidak mengerti maksudnya”
Sambil mengelus pipi si Fulan, Mbah Samin bertanya.
“Bagaimana rasanya tamparan saya?”
“Ya sakit lah”
“He he… Sakit? Jadi kamu percaya kalau sakit itu ada?”
Si Fulan mengangguk. Mbah Samin tersenyum.
“Sekarang tunjukkan pada saya seperti apa wujudnya sakit yang kamu rasakan itu”
“E… nganu, Mbah. Saya… saya nggak tau, Mbah,” jawab Fulan sambil menggeleng.
“Itulah jawaban yang pertama. Selagi kita masih hidup di dunia, kita hanya bisa merasakan keberadaan Tuhan namun tidak akan pernah bisa untuk melihat wujudNya.”
Fulan manggut-manggut. Mbah Samin melanjutkan penjelasannya.
“Apakah tadi malam kamu bermimpi ditampar oleh saya?”
Fulan menggeleng.
“Apakah sebelum kamu datang ke sini telah terpikir olehmu kalau akan menerima tamparan dari saya?”
“Sama sekali tidak.”
“Itulah yang dinamakan takdir.”
Fulan manggut-manggut lagi. Mbah Samin menyodorkan telapak tangannya ke dekat wajah Si Fulan.
“Terbuat dari apa telapak tangan saya ini?”
“Dari kulit,” jawab Fulan agak gemetar. Takut kalau ditampar lagi.
“Terbuat dari apa pipimu?”
”Kulit juga.” Fulan bertambah takut.
“Bagaimana rasanya tamparan saya tadi?”
“Sakit sekali Mbah.”
“Itulah jawaban ketiga untuk pertanyaamu. Meskipun setan terbuat dari api dan Neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan berkehendak maka Neraka bisa menjadi tempat yang menyakitkan bagi Setan.”
Fulan kembali manggut-manggut. Hatinya bertekuk lutut. Pelan-pelan dia berdiri, lalu ngeloyor pergi tanpa permisi lagi. Mbah Samin mengiringi kepergian si Fulan dengan tersenyum. Dalam hati dia berkata: “Makanya punya otak jangan taruh di dengkul. Dipatok ayam jadi bego lu seumur-umur. He he he…”
***
Dapoer Sastra Tjisaoek, medio des 2020.
Ocehan berikutnya: https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-2/