Bab 2
Memindai Cahaya
Kek Atek
Astagfirallah…
Pandemi Covid-19 masih mengepung kota sampai ke desa-desa. Suara sirine ambulan kadang terus menerus dari siang hari sampai menembus gelap malam, memasuki celah-celah udara di rumah warga desa. Ditambah dengan suara ocehan burung kedasih si burung kwik kwik. Suara sirine dan kedasih seperti hendak memanggil-manggil giliran siapa berikutnya yang akan dibawa ke rumah sakit dan atau pun dipulangkan tinggal nama saja. Ben masih hikmat berusaha menekuni hafalan Al-Quran 10 Juz. Tidak gampang ternyata. Dibacanya satu persatu ayat demi ayat Al-Quran, dimulai dari Juz satu di Surat Al-fatihah, dilanjutkan Surat Al-Baqarah.
Surat Al-Fatihah, dan Al-Baqarah sampai dengan ayat ke lima bisa dipastikan sudah hafal, sebab sering dibaca, pada saat salat dan pengajian yasinan tiap malam Jum’at. Apalagi pesantren sering diminta baca doa di musala untuk mendoakan orang yang sakit agar cepat sehat, dan sekaligus doa tahlilan mendoakan orang yang meninggal, khususnya yang tersebab kena serangan virus Covid-19.
“Kejernihan hati, Kebersihan Jiwa raga, keseriusan fikir, serta kesehatan mental dan badan adalah syarat utama di dalam usaha meraih ilmu, agar si ilmu diamanahkan ke kita, termasuk dalam usaha hafalan Al–Qur an”.
Pikiran Ben terngiang mengingat nasihat Romo Kiyai beberapa bulan yang lalu ketika Ben mulai memasuki kelas hafalan Al-Qur an. Bagi penghafal Al-Qur an tugas terberat adalah menjaga nilai-nilai di dalamnya untuk ditancapkan di dalam hati, diikatkan di pikiran, dan dipandu mantapkan sebagai pedoman amaliah kehidupan sehari-hari. Sulit memang tetapi tetap harus diusahakan agar bisa terlaksana seperti nasihat Romo Kiyai, menjadi seperti pohon besar kuat. Akarnya menghunjam ke dasar bumi. Batang pohonnya menjulang ke langit. Dahan ranting dan daun menjadi sumber kesegaran alam sekitar, rindang dan teduh. Bunganya harum mewangi, dan berbuah lebat, disenangi manusia maupun binatang. Pohon idaman bagi setiap insan. Insya Allah.
Siang malam Ben tetap semangat menghafal Al-Quran, tidak mau kalah dengan derasnya suara sirine yang mampir ke telinganya. Sesekali pikiran melayang ke ibu dan kakeknya di ujung sana. Semoga mereka semua diberi tambahan barokah, sehat, dan selamat dunia akhirat. Ben juga mendoakan mereka semua sambil menghela napas panjang. Musala pesantren pun menjadi saksi betapa kuat niat dan tekad santri remaja ini. Meski harus sendiri setiap hari, hafalan Al-Quran tetap dijalani.
“Assalamualaikum, Ben, ikut yuk…”
Suara yang tidak asing lagi menyentak kekhusukan Ben, ketika akan rehat sejenak dari menghafal AlQur an.
“Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokaatuh, iya Pak Ustad, Siap!” sahut Ben sigap menjawab salam dari Ustad Hafidz Kataman.
Ben pun bergegas sambil merapikan baju dan sarung yang dipakai, kemudian mencium tangan ustadnya.
“Ben, tadi setelah subuh saudaraku meninggal dunia. Rumahnya di kampung sebelah. Saya mau periksa kondisi keluarga. Jenazah akan dimakamkan siang nanti.”
“Ijin Pak Ustad, bolehkah saya ajak serta Kian Kasep?”
“Ya, ajak saja. Kita jalan kaki ya.”
Mereka bertiga pun berjalan kaki menyusuri rimbun bambu dan naik ke perbukitan. Rumah keluarga yang terkena musibah ada di atas bukit. Jarak dari pesantren kira-kira sepenggalah suara teriakan lelaki dewasa. Tidak terlalu jauh memang, tetapi kawasan bukit terjal dan curam yang menyebabkan perjalanan tidak bisa secepat jika jalan darat yang rata dan datar-datar saja. Sesekali perlu istirahat di bawah batu besar yang seolah berjajar pada jarak tertentu. Ada juga batu besar yang berlubang di dekat tanah membentuk ruangan mirip gua.
“Kian, capek ya?” suara Ustad Hafidz Kataman membelah kesunyian di tengah desau angin yang diam.
“Tidak Pak Ustad, Alhamdulillah masih kuat.” jawab Kian Kasep sambil terus bergerak mengikuti arah yang akan dituju sesuai petunjuk Pak Ustad.
“Oh ya Pak Ustad, saudara Pak Ustad itu meninggalnya di rumah sakit ya?” tanya Si Ben sambil mengikuti di belakang Pak Ustad.
“Iya betul. Tadi dikabari bahwa Almarhum kena serangan jantung. Bukan kena Covid. Sudah ada surat dari Rumah Sakit. Negatif! Sekarang jenazah ada di Rumah Sakit. Mungkin keluarga sedang menyelesaikan urusan administrasi. Semoga sebentar lagi keluarga beserta jenazah segera datang.” Pak Ustad berkata pada Ben dan Kian Kasep.
Mereka bertiga pun menyusuri jalanan menanjak dan bebatuan menuju rumah duka. Dari kejauhan terlihat ada beberapa orang berdiri berkerumun, duduk di atas batu besar, atau pun berjongkok. Perjalanan mendekati rumah duka sudah ditempuh beberapa saat, dan sebentar lagi sampai. Sepanjang perjalanan hampir selalu terkepung oleh suara desau angin perbukitan, dan cuitan burung kwik kwik.
“Pak Ustadz itu suara burung apa ya, dari tadi pagi sudah riuh bersautan?” tanya Ben pada Ustad Hafidz di tengah perjalanan.
“Iya Pak Ustad, terhibur juga kita kita ditemani suara burung itu,” timpal Kian Kasep.
“Hus! Jangan bergembira dulu,” sergah Ustad Hafidz sambil terus berjalan.
“Maaf Pak Ustad, kenapa ya?” kata Kian Kasep serasa penuh ingin tahu, sambil terus berjalan juga.
Ustad Hafidz pun berkata:
“Iya, itu suara burung kwik kwik, nama lain dari burung Kedasih. Ada yang bilang mitosnya sih. itu burung pemanggil arwah. Semakin sering bernyanyi pertanda akan semakin sering ada yang meninggal di sekitar kita.”
“Ngeri sekali ya… Pak Ustad.” kata Ben sambil memandang Ustad Hafidz yang berjalan di depannya.
“Iya, memang begitu ya Pak Ustad, apalagi ini sedang musim Pandemi Covid-19.” kata Kian Kasep menimpali omongan Ben.
“Iya benar, dan yang lebih seru lagi. Tuh… dengarkan! Suara itu yang lebih seru. Pasti ada yang meninggal, jika suaranya seperti itu!” kata Ustad Hafidz sambil mengarahkan telinganya dan mengacungkan telunjuk jari ke arah sumber suara. Mereka bertiga pun langsung mendengarkan suara yang meraung-raung makin mendekati ke rumah duka.
“Ow… itu suara sirine mobil jenazah. Menuju ke rumah duka!” kata Ben spontan, dan bergegas berjalan ke rumah duka yang sudah berada di depan mereka bertiga.
Satu persatu orang-orang yang berada di dalam mobil jenazah keluar, dan tampak dua perempuan, dan satu lelaki remaja. Orang-orang yang berkerumun pun segera bangkit dan bersalaman jarak jauh dengan isyarat saja. Mereka semua patuh pada anjuran pemerintah untuk selalu menjaga protokol kesehatan: menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun kesehatan, dan memakai masker. Semua keluarga yang berduka langsung masuk rumah diikuti oleh Ustad Hafidz dan dua Santrinya.
“Bagaimana Bi?” tanya Ustad Hafidz pada perempuan setengah baya, yang ternyata bibinya sendiri.
“Iya Fidz, gimana lagi, sudah takdir pamanmu. Harus duluan…” jawab bibinya tampak bersedih. Kemudian Ustad Hafidz meneruskan bertanya:
“Paman sakit apa Bi, mendadak sekali?”
Bibinya menjawab agak panjang:
“Sebenarnya, sudah lama sih sakitnya, sudah dua tahun. Hanya tidak dirasa, dan malas berobat ke dokter. Berita bagusnya Almarhum tidak kena penyakit Covid-19.”
“Iya ya Bi…” kata Ustad Hafidz memaklumi, jawaban bibinya. Kemudian bibinya mengeluarkan surat keterangan dari rumah sakit, dan berkata:
“Iya, ini surat bebas Covid dari Rumah Sakit.”
Setelah membaca seksama, Ustad Hafidz pun mengerti dan berkata:
“Baik Bi, kalau begitu, segera kami mandikan….”
Angin perbukitan tampak lengang, sesekali mengirimkan hawa dingin. Senyap pun segera menyelimuti rumah duka dan semakin sepi, manakala jenazah dikeluarkan dari mobil jenazah menuju tempat istirahat sebentar di dalam rumah duka, dan diiringi pembacaan surat yasin dari warga setempat yang hadir. Beberapa orang tampak mempersiapkan peralatan pelayanan jenazah, terutama peralatan mandi, kain kafan, keranda, pusara, dan sebagian warga menuju area pemakaman untuk menggali tanah makam.
“Alhamduillah, almarhum tidak kena Covid-19, ayo kita mandikan!” kata Ustad Hafidz pada beberapa orang warga yang biasa menjadi sukarelawan memandikan jenazah.
“Benar Ustad, almarhum tidak kena Covid?” tanya ketua RT.
“Iya betul, Negatif! Surat bebas Covid ada dari rumah sakit, tadi saya sudah baca.” jawab Ustad Hafidz sambil menjelaskan perihal sakit almarhum.
“Pak Ustad, ini ada seragam APD dari bantuan Pak Kepala Desa, dipakai tidak?” tanya satu di antara warga tentang pakaian Alat Pelindung Diri.
“Iya, pakai saja!” jawab Ustad Hafidz singkat.
Kian Kasep dan Ben pun segera bergabung dengan Ustad Hafidz dan relawan untuk memandikan jenazah. Selepas memandikan jenazah, mereka langsung mengafaninya. Seperti biasa, usai mengafani, mereka pun memasukkan Jenazah ke dalam keranda, kemudian diletakkan di atas beberapa kursi berjajar di depan rumah duka. Tokoh setempat langsung memberikan sambutan pengantar menuju Masjid untuk salat Jenazah. Beberapa kalimat pesannya adalah:
“Saat ini almarhum telah mendahului kita semua. Pada saatnya nanti, kita pun akan menyusul. Oleh sebab itu, musibah ini mengingatkan kepada kita semua, bahwa sukarela atau pun terpaksa, setiap yang berjiwa pasti akan tiada.”
Sejenak dia mengambil jeda, semilir angin pun terasa tiada lewat di tengah warga yang hadir di rumah duka. Kemudian katanya lagi:
“Pada kesempatan ini, saya sampaikan terimakasih kepada almarhum melalui keluarganya bahwa semasa hidupnya almarhum adalah warga yang baik, dan senantiasa taat pada agama, dan bermanfaat bagi umat manusia, khususnya warga masyarakat kita semua, benar tidak?”
“Benar…,” sahut hadirin menjawab pertanyaan serempak kompak semuanya.
“Oh ya, jika di antara kita masih menyimpan permasalahan yang tidak mengenakkan baik berupa kesalahan almarhum, atau pun khilaf dan lupa, mohon sudilah memaafkan. Bersedia tidak memaafkan almarhum?”
“Bersedia,” jawab hadirin singkat.
“Jika masih ada hutang-piutang di antara kita dengan almarhum, sekiranya bisa diselesaikan, mohon bapak ibu yang hadir dan handai taulan sudilah mengikhlaskan. Namun jika tidak bisa, misalnya menyangkut hutang piutang tersebut, mohon berkenan menghubungi ahli waris di rumah ini di lain hari. Akhir kata, saya sampaikan terimakasih pada semua yang hadir.”
Suasana hening sejenak, tiba-tiba satu di antara yang hadir menangis histeris, dan hampir pingsan.Beberapa pelayat mendekati orang muda itu, ternyata dia adalah satu di antara adik ipar almarhum, masih paman dari Ustad Hafidz.
“Paman, mohon diikhlaskan, agar almarhum tenang di alam sana, dan paman pun juga lega ditinggalkan..,” kata Ustad Hafidz. Pamannya hanya menengok sebentar kemudian lunglai sambil duduk lemas di kursi dekat jenazah di semayamkan.
“Baik, bapak ibu, dan dulur–dulur semuanya, mari kita teruskan pelayanan jenazah pada pelaksanaan fardu kifayah selanjutnya, yaitu salat jenazah di mesjid, dan dilanjutkan ke pemakaman.”
Terdengar ajakan tokoh masyarakat setempat yang mewakili keluarga sekaligus warga masyarakat dalam memberikan sambutan pelayanan jenazah. Ustad Hafidz masih penasaran, apa yang menjadi penyebab tangis histeris dari pamannya. Padahal paman yang satu ini, sehari hari tampak ceria, dan murah senyum. Sang Ustad ingin rasanya bertanya apa makna histeris yang terjadi tadi. Namun dia tidak berani bertanya karena merasa tidak sopan, jika bertanya langsung pada paman dari jalur ibu. Apalagi di tengah suasana masih berlangsung pelayanan jenazah, dan sebentar lagi akan berangkat ke mesjid untuk salat jenazah. Ketika selesai salat jenazah, mobil jenazah langsung bergerak menuju pemakaman yang jaraknya tidak terlalu jauh dari mesjid. Beberapa pelayat mengikuti di belakang mobil jenazah, dengan naik sepeda motor, jalan kaki maupun bermobil.
Sesampainya di makam. Beberapa orang penggali kubur telah berdiri di samping lubang pemakaman. Secara beriringan para pelayat mengikuti jenazah yang dikeluarkan dari mobil jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir di rumah masa depan yang berukuran hanya 2 x 1 meter persegi. Kawasan pemakaman ini merupakan tanah wakaf warga hasil infaq dan sedakah seluruh warga desa Bambu Bolong beberapa puluh tahun yang lalu. Di beberapa lokasi tumbuh subur pohon kamboja tua, tanaman puring, dan pohon mengkudu. Di halaman depan makam ada sumur gali, dan gentong air untuk mengambil wudu. Sementara itu matahari bersinar terang, pas menuju waktu duhur.
“Ben, kamu mengerti tidak, setelah pemakaman, apa yang dilakukan oleh tokoh masyarakat yang memberikan sambutan tadi?” tanya Ustad Hafidz pada Ben yang tak jauh dari lokasi pemakaman, sambil menunggu orang-orang bersedia masuk ke liang lahat, untuk menerima jenazah tanda penghormatan terakhir, dan mengumandangkan azan serta iqomat.
Ternyata sedari tadi belum ada satu pun pelayat yang bersedia masuk ke liang lahat.
“Kenapa ya, belum ada yang turun ke liang lahat?”
Ben bertanya-tanya di dalam hati; adakah ini terkait dengan berita Pandemi Covid-19 beserta turunannya. Entahlah, yang jelas saat ini, penghormatan terakhir, seharusnya segera masuk ke liang lahat, tidak ada yang antusias, padahal biasanya para pelayat dari kaum lelaki, khususnya keluarga besar, akan langsung turun ke dalam liang lahat untuk meletakkan jenazah di dasar lubang pemakaman. Mungkin ada rasa takut tertular penyakit dari jenazah. Padahal kata para ahli kesehatan bahwa pasien yang terpapar positif Covid sekali pun, jika sudah meninggal, maka virus Covidnya juga ikut mati. Berarti potensi penularan juga tidak ada, sebab virusnya juga sudah tidak ada. Ada informasi dari ahli virus tingkat dunia bahwa hingga sekarang, tidak ada bukti jenazah bisa menularkan virus kepada mereka yang masih hidup. Jika demikian apa yang menyebabkan para pelayat enggan menggotong dan menerima langsung jenazah di dalam liang lahat? Apalagi kematian almarhum terbebas dari paparan Virus Covid-19. Mengenai hal ini sudah ada surat keterangan dari rumah sakit bahwa almarhum tidak positif Covid. Apakah mungkin ketakutan mereka telah melebihi kenyataan yang ada. Atau jangan–jangan mereka memang belum mengerti bagaimana tata cara menguburkan jenazah menurut ajaran Islam. Segalanya bisa serba mungkin, jika demikian bagaimana ini sebaiknya?
Belum sampai pikiran Ben menjalar ke langkah lanjut, tiba-tiba ada suara memanggil meredakan renungan yang belum menemukan solusi terbaik.
“Ben! Ayo turun, temani saya masuk ke liang lahat. Terus Bang! Iya Abang, Anda ikut juga turun, sekalian azan dan iqomat.” Komando dari Ustad Hafidz memecah kebuntuan yang terjadi beberapa menit dari sesampainya jenazah di tepi liang lahat.
“Baik, Pak Ustad.”
“Siap!”
Jawaban Ben hampir bersamaan dengan sahutan Abang penggali kubur. Mereka bertiga segera bergerak turun ke liang lahat. Dari dalam liang lahat, Ustad Hafidz pun meminta tolong dua penggali kubur yang lain dan Kian Kasep untuk mengangkat jenazah, dan diserahkan kepada mereka yang berada di liang lahat. Jenazah sudah berada di liang lahat, kemudian pelan-pelan tali ikat kain kafan dibuka. Pipi dan telapak jari kaki jenazah ditempelkan ke tanah makam. Dilanjutkan dengan meletakkan bola bantalan tanah pengganjal jenazah untuk memastikan agar jenazah tetap menghadap kiblat.
Prosesi azan dan iqomat pun terlaksana, kemudian mereka bertiga menaruhkan papan kayu penutup jenazah sebagai pelindung taburan langsung tanah yang digelontorkan dari atas untuk menutup lubang pemakaman. Pengurugan dimulai, setelah hampir separuh lubang kubur, mereka yang berada di liang lahat langsung naik ke atas permukaan tanah, dan bergantian ikut memindahkan tanah urug ke liang lahat. Setelah permukaan liang lahat sudah terurug semua, pusara juga sudah dipasang, tabur bunga di atas makam juga sudah. Tokoh masyarakat yang memberi sambutan pemberangkatan dan pelayanan jenazah tadi, mulai memimpin doa, sekaligus membaca talkin. Berdoa untuk yang telah meninggal agar diampuni dosa-dosanya, dan dilipatgandakan seluruh pahala amal baiknya ketika masih hidup di dunia. Di samping itu juga membaca doa tambahan keberkahan, ketabahan dan kesehatan, pada pelayat yang hadir semua, khususnya bagi keluarga yang terkena musibah.
Kemudian dilanjutkan membaca talkin yang berisi pesan bagi almarhum dan mengingatkan bagi yang masih hidup tentang kebenaran kehidupan sesudah mati, serta segala macam pertanyaan malaikat pada almarhum di alam kubur. Jawaban atas pertanyaan juga disampaikan ketika membaca talkin. Kawasan pemakaman kembali sunyi, ketika seluruh pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman, dan pulang menuju kesibukan masing-masing seperti sedia kala. Sekitar beberapa langkah meninggalkan kawasan kuburan, ternyata Ben teringat pada pertanyaan Ustad Hafidz tatkala sebelum pemakaman jenazah. Ben kemudian berkata:
“Maaf Pak Ustad, saya mengerti apa yang dilakukan oleh tokoh masyarakat tadi setelah selesai pemakaman, yaitu berdoa dan membaca talkin.”
“Iya benar. Seratus!” sahut Ustad Hafidz.
“Seperti memberi bocoran jawaban soal ujian, ya Pak Ustad?” tanya Kian Kasep minta kepastian jawaban.
“Iya, bisa saja kamu ini, Kian. Benar juga, ya,” jawab Ustad Hafidz Kataman.
Mereka bertiga pun tersenyum, sambil terus bergerak balik ke pesantren. Selang beberapa saat kemudian, pikiran Ustad Hafidz kembali terusik: kira kira kenapa ya, Paman tadi begitu menangis histeri? Aku harus paham, bagaimana mungkin Paman yang sehari–hari tampak tegar, selalu optimis, dan ceria. Tiba–tiba menangis histeris, padahal Bibi, dan Putra putri almarhum bisa tabah, dan tidak sampai menangis histeris.
Angin mulai terasa semarak, menabrak daun-daun bambu, dan pohon asam yang mulai keluar tunas baru, pertanda akan datangnya musim kemarau. Namun kata orang tua: pada akhir akhir ini, musim sudah tidak lagi bisa dipegang. Dikira kemarau justru banyak hujan. Begitu juga sebaliknya dikira musim penghujan, malah terjadi jarang hujan sampai tanah-tanah sawah kering kerontang. Di tengah hari menjelang waktu duhur mereka bertiga terus saja berjalan, sesekali terdengar tawa renyah satu di antara mereka. Di sisi lain tiba-tiba pikiran Ben mulai bertanya-tanya: tadi ketika aku di liang lahat melihat ke atas, sepertinya ada gadis belia cantik, sopan, dan senyum simpul. Apakah senyumnya itu untukku, ataukah untuk siapa ya? Kira–kira siapa dia ya? Aku mau bertanya ke Pak Ustad… tapi mana berani lah aku!
Si Ben pun menerawang jauh, berjalan pulang sambil diam-diam bergumam sendiri. Sepulang dari pemakaman almarhum Paman dari Pak Ustad Hafidz, mereka bertiga langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Si Ben atau kadang dipanggil Ben saja, menuju kamar mengambil handuk, lebih tepatnya selembar bahan kain yang serupa dengan lap mobil.
“Lebih praktis!” jawabnya ketika di pesantren ditanya oleh teman-teman perihal lap itu.
“Sehabis mandi tinggal lap badan, kemudian lembar lapnya langsung dicuci, dan peras. Kering sudah. Bakteri dan jamur pun tak sudi berkerumun di lap ini. Lap ajaib, multifungsi, betul tidak? Hehe…,” tawa Si Ben pun diikuti teman-temannya.
Demikian juga Kian Kasep langsung menimba air mengisi bak mandi, dan terus mengguyur badan. Sedangkan Ustad Hafidz Kataman masuk ke ruang khusus untuk para Ustad, tak diketahui langsung mandi atau bagaimana. Dari luar ruangan terlihat masih tampak sepi. Seusai mandi, Si Ben menuju musala, membersihkan lantai, dan kembali menghapal ayat demi ayat Al-Quran, sambil menunggu waktu salat duhur tiba. Ketika rehat sejenak, pikirannya masih terngiang Si Cantik yang tersenyum, tadi pas Si Ben berada di liang lahat.
Mengapa tiba–tiba aku ingat dia ya. Jangan–jangan dia calon istriku. Ach… mana kutahu. Senyum itu apakah memang untukku ya… Atau untuk yang lain? Pikiran Ben berkecamuk bertubi-tubi sampai membuat dia menarik napas panjang, dan beberapa kali beristigfar. Tak berani dia sampaikan pada siapa pun tentang perasaan dan pikiran semacam itu. Baru sekarang merasakan dan memikirkan lintasan senyum yang sulit dilupakan.
Ach… fokus, fokus ke tujuan, dan cita cita. Perjuangan masih panjang! Kata hati Ben seorang diri. Ketika tepat Kian Kasep masuk ke musala, dibarengi dengan teman-teman lain, dan Ustad Cep Umar bersama Ustad Hafidz Kataman. Perenungan Ben pun buyar, dan dia kembali pada posisi duduk bersila sambil menghapal Al-Quran. Ustad Cep Umar memberikan kode kepada yang sudah hadir di musala agar ada yang berdiri dan mengumandangkan suara azan, pertanda waktu salat duhur sudah tiba.
Si Ben pun segera menaruh Al-Quran yang di hadapan, dan memindahkan ke rak tempat menyimpan kitab suci di pojok belakang di dalam ruang musala. Selesai salat duhur, seperti biasa semuanya duduk berjajar bersebrangan agak jauhan, menunggu makan siang tiba. Di bawah komando Ustad Cep Umar, semuanya membaca doa makan terlebih dahulu sebelum makan, dan ketika makanan telah tiba, tepat di depan masing masing orang yang duduk bersila melipat kaki kiri di duduki, dan kaki kanan ditekuk jongkok di depan. Mereka semua berada di teras musala. Kali ini menu ikan asin, tahu tempe, dan sambal tomat, daun singkong, dan nasi secukupnya. Para santri dan ustad makan bersama sampai makanan yang terhidang habis tak bersisa. Alhamdulillah, puji syukur terdengar lirih mereka sampaikan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala.
“Semoga semuanya makin bertambah barokah, sehat, dan sukses selalu, serta pandai bersabar di musim Pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan akan berhenti menyerang, dan hilang dari seluruh dunia. Untuk itu semua patut bersyukur bahwa masih diberi kesehatan, dan bisa makan enak, tidur nyenyak. Walau pun tetap waspada dengan selalu menjaga protokol kesehatan dimana pun berada. Keadaan sehat seperti ini adalah kenikmatan yang tidak dimiliki oleh semua orang, terutama bagi mereka yang rentan terhadap paparan Covid-19. Ketika badan dan rohani masih sehat, segar bugar, dan bisa bergembira di tengah hadirnya wabah di mana-mana. Maka Puji syukur, dan pujian Alhamdulillah, patut selalu disampaikan ke Yang Maha Pemberi Perlindungan dari segala mara bahaya, khususnya terhindar dari paparan Pandemi Covid-19.”
Demikian pesan Ustad Cep Umar mengawali makan siang tadi. Suara kicauan merdu burung-burung liar makin bersemangat, membuat suasana makin ceria, dan melupakan sejenak segala berita tentang paparan Virus Covid-19. Pandemi ini telah berhasil meluluhlantakkan bangunan program di segala lini kehidupan, yang meliputi bidang: Bisnis ekonomi, Sains, Teknologi, Budaya, dan Tradisi masyarakat luas. Ada berita dalam waktu dekat akan ada vaksinasi bagi warga semuanya, sebagai tindak pencegahan terpapar Covid. Mendung mulai menghitam, rintik gerimis meluncurkan jarum-jarum air lalu mencair. Sesekali gelegar petir menorehkan taji dengan kilat bersinar ke segala arah, mirip perjalanan ular naga dalam dunia dongeng penduduk dirgantara, meliuk liuk sambil mencari sasaran yang tepat.
Seperti itu jugakah pikiran Si Ben, yang semula meliuk penuh bimbang dan gamang di antara: ya dan tidak, mendadak mantap, setelah bertemu sasaran, dan berniat mengambil kesempatan sebaik-baiknya. Apa yang terjadi pada Si Ben, belum banyak yang tahu. Ben menoleh ke samping ketika kotoran tokek hampir terinjak kakinya, waktu melangkah menuju deretan Al-Quran yang berjejer rapi di atas rak yang menempel di pojok dinding musala. Dia mengambil daun pohon mangga yang berada di samping musala untuk membersihkan kotoran tokek, dia pun langsung praktek tata cara membersihkan kotoran menurut adab pesantren. Dia jadi ingat pesan Romo Kiyai, ketika Ben sedang belajar bab kebersihan. Romo Kiyai yang juga dikenal sebagai Kiyai Sepuh pernah berkata:
Barang bersih ketempelan najis semisal kotoran tokek. Setelah dibersihkan, wajib diperiksa, apakah: kotoran, bau dan warnanya masih ada? Jika sudah tidak ada, berarti membersihkannya sudah cukup, barangnya pun sudah kembali suci bersih. Sedangkan benda najis selamanya tetap najis, tidak bisa dibersihkan. Kotoran tokek misalnya, akan tetap najis meskipun dicuci tujuh kali, kemudian dikeringkan sekering-keringnya, kotoran itu pun tidak pernah bisa berubah menjadi bersih. Hanya benda-benda yang asalnya suci bersih yang bisa kembali suci bersih, semisal lantai asalnya suci bersih, jika suatu saat terkena najis, maka jika kotorannya sudah hilang, dan lantainya pun sudah dicuci, bau kotorannya juga sudah sirna, lantai itu pun kembali suci bersih, dan bisa dipakai sebagai tempat ibadah salat.
Begitu juga pikiran dan niat dalam amaliah. Pikiran dan niat yang bersih bisa kembali bersih meskipun dalam perjalanan mengalami segala macam ujian dan cobaan, sehingga tercium bau tak sedap atas pikiran dan niat seseorang. Oleh sebab itu meluruskan niat setiap saat adalah usaha yang tidak pernah berhenti, apa pun yang terjadi. Agar segala tujuan yang telah dipancangkan bisa selalu menjadi acuan, meskipun kadang keluar dari jalur perjalanan. Semua itu manusiawi saja. Lebih-lebih bagi anak remaja maupun pemuda yang sedang sangat bersemangat. Sebaiknya selalu waspada agar kotoran niat dan pikiran tidak menjadi semakin tebal, dan sulit dibersihkan.”
Langit bertambah gelap meskipun hari masih lepas waktu asar. Pikiran Ben fokus pada nasihat Kiyai Sepuh beberapa malam yang lalu, ketika bakda isya santri-santri kumpul mendengarkan nasihat dari Kiyai Sepuh tentang keutamaan menjaga kebersihan pikiran dan perasaan. Disamping itu juga ditambah pengajian baca zikir tauhid, salawat, dan istigfar.
Laailahaillalloh
Muhammadurrosululloh
Sholallohu alaihi wassalam
Astaghfirulloh…
Suara yang kompak menambah syahdu pengajian pada malam itu. Langit agak terang, dari sela-sela dinding musala yang bolong masih sesekali terlihat sedikit bintang gemintang, cahayanya tampak kelap-kelip nun jauh di atas sana. Mereka setia menemani Ben dan kawan-kawan, hikmat mengikuti tausiah dan mengaji berjama’ah bersama Kiyai Sepuh beserta beberapa Ustad. Tepat di depan Kiyai Sepuh tampak Ustad Cep Umar dan Ustad Hafidz Kataman. Mereka berdua duduk di barisan depan. Di belakangnya ada Ben, Hatta, dan Kian Kasep beserta santri yang lain. Semuanya diam mengikuti nasihat Romo Kiyai, sampai-sampai suara napas mereka pun hampir tak terdengar. Kadang hanya suara hembusan angin yang menerpa dedaunan saling bergesek mampir ke telinga masing masing orang yang berada di dalam musala. Semua yang hadir berharap dapat tambahan barokah atas amaliah belajar mengajar pada malam itu. Selepas mengaji jama’ah, Ben dan santri yang lain kembali ke asrama, lebih tepatnya kembali ke kamar masing-masing. Satu kamar dihuni oleh empat orang. Ben satu kamar dengan Hatta, Kian Kasep, dan Banjar Kahanan.
Sudah hampir tiga bulan Banjar begitu teman-temannya memanggil, belum kembali ke Pesantren. Dia pamit pulang karena kakeknya kritis terdampak wabah Covid-19. Sesampainya Si Ben di pintu kamar, ternyata sudah menunggu dua temannya.
“Cepat sekali kalian sampai.” Ben memulai membuka kata dengan pertanyaan heran.
“Iya Ben, tadi dapat bingkisan dari ayah Kian,” sahut Hatta.
“Beliau mampir ke Romo Kiyai, entah dari mana?” kata Kian menimpali.
“Ya, dari rumah kali ya. Aku pernah main ke rumah Kian, ya Kian ya. Asyik, berliku, naik turun lembah, dan penuh pohon bambu,” kata Ben sambil langsung duduk sila di hadapan mereka berdua.
“Eh Ben… tahu nggak, Siapa nama lengkap Kian?” Hatta bertanya pada Ben sambil membuka bingkisan.
“Siapa ya?” tanya Ben dengan raut muka penasaran.
“Tadi kan, kami dipanggil Ustad Cep Umar, agar segera ke teras rumah Romo Kiyai Sepuh. Eh… di sana ada ayahnya Kian, terus bilang: Nih untuk kalian. Oh ya, Si Bundaran tidak ngaji dulu, mau saya ajak pulang sebentar,” kata Hatta menjelaskan pertemuannya dengan ayah Kian. Kemudian berkata:
“Terus saya bertanya lagi: Si Bundaran Om, Siapa ya? Ow… itu dia Si Kian Kasep Bundaran, kata Ayah Kian menjawab pertanyaan saya.”
Si Ben pun manggut manggut paham, dan berkata:.
“Jadi … nama lengkapmu Kian Kasep Bundaran?”
Hatta pun menimpali sekenanya saja, dan berkata:
“Bagus ya, panjang ternyata namanya.”
Kian kasep pun berkata :
“Huss! Enak saja, bukanlah, namaku bukan panjang, tapi Kian Kasep Bundaran!”
Mereka pun tertawa bareng ketika Kian yang dibicarakan menyahut, padahal sedari tadi dia hanya asyik memperhatikan percakapan dua teman tersebut. Kian Kasep duduk bersila bersebelahan dengan Hatta, sambil bertanya tanya di dalam hati: Ada apa ya? Bapak mengajakku pulang sebentar.
Lamunan Kian Kasep pecah ketika mendengar Hatta berkata:
“Nah… setelah menerima bingkisan ini, kami segera ke kamar. Lah… kamu terus kemana sih Ben?” kata Hatta sambil bertanya dan memandang ke arah Ben, dan ke arah Kian Kasep.
“Iya, ke mana Ben?” timpal Kian Kasep seraya mengeluarkan isi bingkisan, dan berkata lagi:
“Ayo dah… ini kita makan bersama, ganjal perut sebelum sore tiba, dan aku pun segera pergi!”
“Siap!” sahut Ben dan Hatta hampir bareng.
Seperti dikomando, Hatta pun segera membuka bingkisan dan mengeluarkan isinya, terus dihidangkan semua. Mereka pun menikmati makanan dan minuman, tanpa menunggu jawaban Ben, sebab Ben hanya senyum-senyum saja. Tak lama kemudian sambil makan, Ben memberi tahu bahwa dia tadi dapat giliran piket merapikan musala setelah mandi, dilanjutkan baca Quran. Selesai makan minum, Kian Kasep Bundaran pun pamit meninggalkan Pesantren sebentar, karena dijemput oleh ayahnya.
“Assalaamualaikum..”
“Waalaikumsalam, hati-hati di jalan, ya Bun..” kata Ben dan Hatta hampir berbarengan, lalu mereka saling lirik dan tersenyum geli setelah memanggil ‘Bun’.
“Siap!” sahut Kian Kasep sambil melotot ke arah teman-temannya itu. Ia berjalan menuju ke posisi bapaknya, dan segera meninggalkan pesantren. Sementara itu suara tokek terdengar menghitung hari yang bertambah sore dan gelap, mendung mulai memenuhi langit.
Ketika beranjak malam, rupa-rupanya mendung bergeser tertiup angin, entah bergerak ke mana, dan entah juga di bumi mana akan diturunkan hujan. Suara Burung Hantu juga terdengar samar di tengah rimbun daun mangga, serta bayangan goyang seolah menjadi sumber pergerakan dedaunan pohon di halaman di depan kamar tempat istirahat para santri. Malam pekat dan larut memang kadang mampu melahirkan banyak imajinasi maupun inspirasi bagi semua insan yang memerlukan. Angin sepoi lembut menerobos dinding-dinding bangunan kamar para santri. Kamar mereka tidak luas memang. Di Pondok Bale Rombeng ini terdapat bangunan kamar santri, ada lima bangunan sederhana, semua terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Masing masing mempunyai satu kamar dan satu teras depan. Termasuk Kamar Ben dan kawan-kawan.
Setelah melepas Kian Kasep yang kini mereka bersepakat memanggil ‘Bun’ tadi sore, mereka pun beristirahat. Selepas ngaji bakda isya Hatta masuk ke kamar. Sedangkan Ben memilih tidur di teras kamar, menikmati udara sejuk pikirnya. Sambil rebahan, pikiran Ben menerawang ke berbagai obyek pikir.
Hanya hembusan sepoi angin malam terkadang terasa membawa hawa dingin dan mengusap selimut sarungnya, ditimpali suara lirih dengkur para sahabat. Malam ini, Ben hanya sendiri di teras, di dalam pun Hatta juga sendiri. Tiba-tiba rasa sepi menyergap pikirannya. Tak seramai hari kemarin. Banjar sudah tiga bulan tidak ada kabar. Bagaimana nasib kakeknya. Covid-19 memang telah menyerang kesehatan dunia, ekonomi juga lumpuh, pendidikan juga mengalami gaya perubahan. Untungnya di Pesantren sudah terbiasa mandiri. Setelah mendapatkan bimbingan belajar mengajar dari Romo Kiyai, dan menyimak penyampaian para Ustad, semua santri memperdalam pelajaran masing-masing. Ke mana-mana membawa catatan kecil, kadang beberapa pelajaran dilagukan dengan irama musik seadanya saja. Kentongan bambu, bekas botol galon air minum, wajan rusak, dan sendok serta ranting-ranting kayu ditabuh mengikuti perasaan masing-masing, sambil mengekspresikan kecintaan pada materi pelajaran serta guru-guru pengajar maupun guru penemu dan penulis kitab pelajaran tersebut. Seolah guru-guru mulia hadir menyaksikan mereka sedang belajar.
Di sisi lain santri juga diajarkan mandiri di sela mengaji, mereka bercocok tanam, ada juga menggembala ternak. Hasilnya sebagian untuk santri itu sendiri, sebagian untuk operasional pesantren. Semua kegiatan ekstra ekonomi ini di bawah pembinaan para Ustad. Bahkan Romo Kiyai sesekali memberi nasihat ketika pengajian bersama, bahwa bisa berdosa bagi lelaki dewasa yang tidak punya uang sama sekali. Bisa bikin keluarga tidak bergembira. Di luar pesantren perbukitan, gemericik air dan kabut masih setia menemani sebagian besar penduduk Desa Bambu Bolong yang berada di dasar lembah perbukitan.
Para santri, Ustad, dan Kiyai Pesantren Bale Rombeng berada di atas perbukitan. Suara aliran air, akan terdengar jelas tatkala ada yang mengambil air wudu dari gentong air. Jika ingin menikmati gemericik air berkelanjutan, perlu turun menuju dasar lembah bermata air. Dari beberapa mata air ini, airnya mengalir menyusuri dasar lembah menuju parit-parit, kemudian membentuk sungai-sungai kecil yang berguna bagi pengairan di sawah maupun kebun-kebun penduduk, bahkan ada yang menampung air tersebut untuk memenuhi keperluan rutinitas rumah tangga. Sebab tidak semua kawasan di Desa ini bisa mendapatkan air bersih melalui pembuatan sumur bor maupun sumur gali. Beberapa warga ada yang pernah menggali atau mengebor tanahnya sampai beberapa puluh meter, namun hasilnya tidak menemukan mata air. Justru hanya mendapatkan bebatuan di sepanjang kedalaman penggalian atau pun pengeboran tanah.
Beruntung sekali bahwa Pesantren Bale Rombeng mendapatkan berkah bisa menemukan sumber air di sumur galinya, meskipun berada di atas kawasan perbukitan. Selesai salat subuh, santri, ustad, dan kiyai langsung menyibukkan diri sesuai tugas masing-masing. Ada yang langsung mengaji, ada yang masih melakukan zikir wirid, ada juga yang masuk ke ruang pembelajaran untuk membaca huruf Arab di kelas pemula, terutama santri anak-anak maupun orang dewasa yang belum bisa membaca Al-Quran. Santri-santri pemula ini biasanya berasal dari masyarakat setempat. Mereka tidak menginap di pesantren. Para santri seperti ini sering dikenal sebagai santri kalong. Datang ketika jam pembelajaran, setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing.
Di kelas pemula, Ustad Hafidz Kataman dibantu oleh Ben dan Bun mengajarkan tata cara belajar membaca Al-Quran. Mereka menggunakan metode klasik yang menjadi ciri khas Pesantren ini. Pernah suatu saat Romo Kiyai menyampaikan pesan:
“Ini cara paling ampuh sejak jaman kakek moyang kita dalam melaksanakan belajar dan mengajar membaca Al-Quran. Cara lama yang telah terbukti mampu mendapatkan tambahan barokah, sehingga anak-anak santri bisa hatam, tamat mengaji Al-Quran, rata-rata sebelum bocah santri berumur dua belas tahun.”
Romo Kiyai menghela napas sejenak, Kemudian melanjutkan penjelasan:
“Santri terlebih dahulu dikenalkan tentang adab sopan-santun terhadap ustad, dan materi pelajaran yang sedang diajarkan oleh ustad. Agar mereka ikhlas menerima pelajaran, dan bersabar mengikuti satu persatu petunjuk guru, sampai selesai waktu pembelajaran. Setelah itu, santri-santri wajib diajak mengenal huruf tulisan Arab dan tata cara membaca.”
Angin semilir membawa dingin pagi yang segar. Suara kicau kutilang saling bersautan dari pohon sawo, pertanda hari mulai menjelang siang. Namun para santri masih setia belajar berulang-ulang.
Alif jabar a, Alif jere i, Alif bese u, A, I, U
Ba tanwin jabar Ban, Ba tanwin jere Bin
Ba tanwin bese Bun, Ban Bin Bun
Suara suara santri mengeja bacaan kompak menembus dingin pagi serasa saling melengkapi dengan irama alam yang berasal dari desau semilir angin bakda subuh, dan kicauan burung. Kadang masih ada suara dengkur sejenak dari santri dewasa yang tidak tahan kantuk, setelah semalaman ikut pengajian. Selepas salat subuh masih dijadwal belajar membaca Al-Quran. Bakda isya sampai menjelang subuh ada juga yang ikut belajar amaliah ibadah sehari hari. Sehingga kantuk pun tak terbendung. Ustad dan para pendamping selalu maklum jika kantuk menyerang beberapa santri.
“Bukan hanya masalah ilmunya. Tetapi bagaimana rasa hikmat ketika ikut mengaji itu bisa hadir. Ngantuk-ngantuk dikit tidak apa-apa.” begitu kata Ustad Hafidz sesekali memberi semangat pada para santri. Kemudian lanjutnya:
“Sampai tertidur pun tidak akan diganggu. Palingan ketika nanti digigit nyamuk, langsung bangun.”
Santri pun tertawa renyah, begitu mendengar arahan sambil kelakar khas Ustad di pesantren.
Subhanallah…
Bersambung…
klik di sini https://mbludus.com/ban-ben-bun-kisah-santri-uthun-meraih-impian-3/