Suatu ketika Fulan bertanya pada Mbah Samin soal Kiamat. “Mbah, orang-orang suku Maya koq bisa meramalkan bahwa berdasarkan kalender nenek moyang mereka, kiamat akan jatuh pada tanggal 21, bulan 12, tahun 21. Memangnya usia dunia kita ini berapa ribu tahun, sih?”
Mbah Samin tersenyum, “Kalau soal umur dunia mah, saya belom pernah baca kitabnya. Tapi kalau soal umur kita di dunia, saya tahu.”
“Maksudnya umur saya atau umur Mbah Min, gitu?”
“Iya. Umurmu dan umur saya. Bahkan umur setiap manusia di dunia yang sekarang ini masih hidup. Umurnya sama, yaitu hanya tiga hari.”
“Tiga hari?”
“Iya. Hanya Kemarin, Hari ini, dan Esok.”
“Maksudnya Mbah Samin…”
Setelah menyulut rokoknya, Mbah Samin bicara.
Pada hakekatnya hidup kita di dunia ini memang hanya tiga hari. Hanya tiga waktu, yaitu: Kemarin, hari yang sudah kita lewati dan kita sudah tidak bisa berharap apa-apa lagi dengannya karena tak mungkin bisa kembali ke sana.
Hari ini, hari di mana kita masih hidup dan mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, meraih segala kebaikan semampu yang dapat kita kerjakan. Dan…
Esok, adalah waktu yang kita tak pernah tahu apakah kita masih diperkenankan untuk menjumpainya. Bisa jadi kita sudah mati sebelum sempat melihat matahari di esok pagi.
Fulan bengong sejenak. Gokil juga ini Aki-aki. Tiga hari. Hidup kita hanya tiga hari saja. Tanpa sadar Fulan bergumam. Hari yang kemarin sudah tak bisa diharapkan lagi. Berarti sudah nggak ada. Sedangkan esok adalah hari yang belum pasti kita akan menjumpainya. Yang pasti kita nikmati adalah hanya hari ini. “Kalau begitu umur kita yang sebenarnya itu hanya satu hari, ya Mbah?”
“Satu hari pun masih terlalu panjang… lebih pendek dari satu hari!”
“Lebih pendek dari satu hari? Ngaco!”
“Iya. Hanya satu tarikan nafas saja.”
“Hanya satu tarikan nafas saja?”
“Ho-oh.”
“Maksudnya, Mbah?”
“Ketika kita menarik nafas dan kemudian tak bisa lagi menghembuskannya, berarti… ?”
Fulan coba menarik nafas panjang dan menahannya. Membayangkan apa yang kira-kira terjadi seandainya nafas tak bisa keluar menghembus.
“Mati!” jawab Fulan dengan nafas tersengal-sengal.
Mbah Samin tersenyum. Asap rokoknya mengepul, meliuk-liuk.
***
Dapoer Sastra Tjisaoek, Oktober 2021.
Ocehan selanjutnya (4): https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-4/
Ocehan sebelumnya (2): https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-2/