Bab V
Air Mata Sungai Siret

Dewi Linggasari

Benarkah susah senang hanya rupa kehidupan, seperti pergantian gelap dan terang? Serupa pergolakan air laut, sesaat pasang kemudian surut? Yin dan Yang, dua hal berlawanan, tetapi tidak bertentangan, selalu mengisi, mencipta keseimbangan? Benarkah?

Aku lulus SMP dengan peringkat sepuluh besar. Ucok pindah ke Yogyakarta, mendaftar di Debrito, mempersiapkan diri lebih cermat supaya bisa meneruskan ke Universitas Gadjah Mada Jurusan Fisika. Suasana lebih hening tanpa Ucok, kami merasakan kehilangan yang dalam. Sela telah lari dengan pujaan hati, melahirkan bayi dalam muda usia kemudian menghilang di tengah bevak. Mira pindah ke Merauke tinggal dengan kerabat, meneruskan pendidikan di bumi Animha. Tinggal aku dan Nurul yang masih bertahan satu kelas, kebiasaan bertandang ke rumah Nurul pada hari libur masih berlangsung. Ada buku dan majalah di rumah Nurul yang bisa dibaca dengan tenang, juga siaran televisi yang membawa pengetahuan melanglang amat jauh, melewati jarak yang terukur.

Adapun Jan, ia telah menjadi Tamtama, bertugas di Merauke. Jan menelepon via pak guru yang memiliki handphone. Sekali ia pernah kembali kemudian ia berkabar bila telah pindah tugas ke Wamena. Segalanya berjalan dengan baik, hingga pagi hari ketika berpamit aku melihat wajah mama teramat pucat.

“Mama sakit?” tak dapat kusembunyikan kekhawatiran.
“Tidak, pergilah ke sekolah,” jawab mama singkat, aku tahu mama menyembunyikan sesuatu.

Seperti biasa aku berjalan kaki ke sekolah, hari-hari lalu dengan tenang. Kali ini ada yang kacau jauh di relung hati, kucoba menekan “kekacauan” itu dengan harapan sangat jauh tentang masa depan, setelah aku bisa menjadi ibu guru, mengajar di depan kelas, berbagi pengetahuan, moral serta pengalaman hidup. Akan tetapi, semakin hari wajah mama semakin pucat, berulang kali muntah kemudian berbaring dalam keadaan lemah. Aku harus mengambil tugas-tugas rumah tangga sebelum dan sepulang sekolah sehingga mama dapat beristirahat dengan baik. Ketika persediaan sagu menipis, aku meminta kepada mama adik atau mama tua. Dengan menghemat pendapat selaku kepala kampung bapa masih bisa membeli ikan, atau ia pergi menjaring bersama Marius dan Hengki. Dengan perhatian seluruh anggota keluarga kuharap kesehatan mama membaik, akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Wajah mama sepucat kertas, mulutnya lebih banyak terdiam, ia berniat menanggung beban hidup seorang diri.

“Mama kita pergi ke Pustu….” Aku harus membujuk berulang kali, bahkan bersitegang sebelum akhirnya mama bersedia pergi ke Pustu yang terletak di lingkungan ini.
Ketika mendengar hasil pemeriksaan suster atau mungkin dia itu bidan, sepasang mataku terbelalak.

“Mama hamil!” Suara itu seakan guntur yang merobek langit di siang hari. Mulut mama semakin rapat mengatup, mama tahu apa arti hamil kemudian melahirkan dalam usia yang semakin tua.

[iklan]

Tak seorang pun tahu dengan pasti tanggal berapa mama lahir, tetapi kerutan pada wajah sudah cukup membuktikan saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk mengandung dan melahirkan. Suster memberikan mama vitamin, menyarankan datang ke Posyandu pada tanggal 23 untuk mendapatkan suntikan tetanus toksoid bagi ibu hamil.

Sepulang dari Pustu tak sepatah kata pun terucap, mama tak berkenan mengikuti program KB, program yang sulit dimengerti bagi masyarakat peramu dengan akibat mengandung dalam usia tua. Kini mama harus menanggung beban di luar kemampuan.

“Melahirkan anak adalah rejeki orang,” aku mencoba menghibur. Mama tak menanggapi, pandangannya menerawang terlalu jauh pada sebuah peta yang tak dapat dikunjungi. Kerisauanku mulai berubah menjadi ketakutan yang semakin kupendam semakin mengakar.

Semakin lama kandungan mama semakin membesar, bapa tak berucap apa-apa, Marius dan Hengki sibuk dengan sehari-hari yang tak perlu kumengerti. Aku akan punya adik, kuharap adik perempuan, sehingga aku memiliki teman bermain di rumah ini. Harapanku terkabul, hari itu sepulang sekolah terap sederhana tampak membentang di tepi sungai di dekat rumah. Mama tak hendak melahirkan di Pustu atau di dalam rumah, darah yang mengalir saat melahirkan dapat menyebabkan penyakit dan kematian, sebab itu suster membantu mama melahirkan di tepi sungai tanpa kehadiran siapa-siapa. Aku menunggu dengan gelisah hingga terdengar suara tangisan bayi, aku masih harus menunggu beberapa lama hingga suster memberikan bayi kecil dalam bungkusan kain, seorang bayi perempuan. Kini ada dua Teweraut di rumah panggung ini.

Tanganku gemetar ketika menerima bayi itu kemudian menggendong dengan hati-hati, bayi itu terlelap, sepasang matanya memejam, seakan putri tidur.

“Tewerauta ….” Telah kusiapkan tumpukan kain menjadi serupa kasur kecil tempat adik kecil berbaring, aku akan selalu menjaganya hingga dewasa, mengajarinya menggambar, menulis, dan membaca. Dengan hati-hati kubaringkan adik kecil di atas tumpukan kain, ia masih tertidur dengan amat lelap seolah seluruh dunia membuainya.

Satu tabuh kemudian mama telah sampai di dalam rumah dengan setumpuk kain berlumuran darah, aku tahu pekerjaan penting itu, mencuci seluruh kain dengan air kolam. Air hujan hanya sedikit tersisa di dalam drem, diutamakan untuk memasak dan menyeduh teh panas. Wajah mama tiba-tiba berubah menjadi tua, sorot matanya padam, mama menahan sakit. Ketika kusodorkan segelas teh panas mama hanya meneguk tanpa minat kemudian berbaring di dekat tungku api, mama tak banyak berucap, tetapi segala sikapnya telah menunjukkan betapa ia merasa amat lelah. Mama memerlukan istirahat yang amat panjang.

Malam berikutnya ketika Marius datang ke rumah bersama seorang gadis, Melani untuk membakar sagu, kami tahu Marius telah menentukan pilihan hidup. Ia telah dewasa dan tiba saatnya untuk hidup berkeluarga, maka rumah kecil ini bertambah satu orang penghuni. Kami harus menambah satu tungku api untuk keluarga Marius. Demikian pula ketika Hengki pulang ke rumah pada bulan berikutnya dengan seorang gadis, Adriani, ia telah pula menentukan pilihan hidup. Keduanya telah dewasa, harus pula memiliki tungku yang berbeda. Maka Bapa, Marius, dan Hengki dibantu beberapa kerabat menebang kayu di hutan untuk menambah luas rumah ini. Kini kami menjadi keluarga besar dengan tiga tungku api di dalam rumah.

Kehadiran maitua–istri Hengki, Marius, berarti tenaga inti untuk pergi menjaring dan memangur sagu ke hutan. Selama bersedia bersimbah peluh memanfaatkan hasil laut dan hutan, kami tak akan pernah kelaparan. Benar, kami tak pernah kelaparan, tetapi betapa mama menjadi semakin kurus. Sejak kelahiran adik kecil yang kami panggil Teweraut, mama menjadi semakin diam, tulang pipinya menonjol, kelopak matanya membentuk cekungan, sedemikian dalam, sehingga aku harus menatap mama berlama-lama untuk benar mengenalinya.

“Mama semakin kurus, makanlah sagu yang banyak…” Kuulurkan sebungkus sagu ulat yang masih hangat.

Aku ingin melihat mama menelan makanan dengan lahap, tetapi harapanku kandas. Tatapan mama mengisyaratkan rasa sakit yang susah diungkapkan, bahkan kepada anak yang sangat dikasihi sekali pun. Dan wajah itu sepucat kertas, andai bisa memaksa mama bicara tentang kerisauan hatinya. Diam-diam aku putus asa, aku ingin memaksa mama membuka mulut, berkata tentang apa saja. Akan tetapi, aku sungguh tak berkuasa. Aku pun diam dalam ketakutan.

Suatu hari kesehatan mama benar-benar memburuk, mama tak bisa berlama-lama menggendong adik kecil. Tubuhnya yang semakin kurus terbaring di dekat nyala api tungku, selepas hujan udara benar dingin menggigit tulang. Marius dan Hengki telah dua hari tinggal di bevak memangur sagu, bapa berlama-lama di rumah bujang dengan orang-orang membicarakan persoalan partai. Rumah ini tampak semakin tua, bocor pada beberapa bagian, kutadah air hujan dengan loyang atau ember.

Ketika kesehatan mama memburuk, demikian pula dengan kesehatan adik kecil, bayi itu menangis berkepanjangan dalam demam yang amat tinggi, napasnya sesak seakan seluruh tubuhnya ditindih beban yang amat berat. Ia hanya dapat meminum air susu ibu, sementara mama merasa susah sungguh dengan hal yang satu ini. Dengan cemas kugendong dan kutimang-timang Teweraut kecil, betapa ingin aku mendengar tangisnya terdiam, melihat senyumnya yang manis dan sepasang mata yang sejernih air telaga.

“Mari bawa ke sini adik kecil!” Suara mama lemah, ia mencoba menyusui adik kecil, tetapi tangis itu terdengar semakin menyayat.

Kuminta kembali adik dari pelukan mama, kuberikan beberapa tetes air putih, ia kehausan, sesaat ia terdiam, tetapi demamnya semakin tinggi. Adik kecil tak lagi menangis, karena tak lagi tersisa tenaga untuk menangis. Ia terlalu lemah sekadar untuk menangis, karena suatu hal yang tak pernah kuketahui. Hingga esok hari pada pagi-pagi sekali tangisan adik kecil benar-benar terhenti, setelah demam yang tinggi, muntah berulang kali, napas yang sesak dan tersengal. Dengan damai sepasang mata yang indah tanpa dosa itu memejam untuk selamanya.

“Tewerautaaa!” tangis mama terpecah, memanggil seisi kampung berdatangan, orang-orang tahu tentang jerit duka cita itu.
“Adik….. adik kecil…,” tenggorokanku tercekit, kupeluk tubuh mungil itu, tubuh yang belum sempat beranjak dewasa, untuk melihat seluruh isi hutan dan isi dunia.

Aku pernah berkeinginan untuk membawanya beranjak dewasa, mengajarinya menggambar, menulis, dan membaca. Kini keinginan itu tak lagi bersisa, seakan panas api yang menguap bersama asap. Kehilangan sama sakitnya dengan kehampaan. Ketika ia pernah ada dalam sepenuh harap, kini tiada, hanya ingatan yang menggigit selamanya.

Kalau air mata mama pernah mengalir menjadi sepasang Sungai Fambrep ketika aku pernah membolos dari sekolah selama setahun. Kali ini sepasang pipi mama banjir oleh aliran Sungai Siret, sungai maha besar yang tidak pernah dapat diseberangi juara renang kelas dunia sekali pun. Mama terjungkal, karena rasa bersalah dan kehilangan yang teramat dalam. Aku tak dapat menghibur mama, karena terpelanting pada rasa kehilangan yang sama. Ketika mama melumuri seluruh tubuhnya dengan hitam lumpur, meraung hingga suara tangisannya merobek langit. Aku melakukan hal serupa sebagai penanda duka cita. Bapa dan seluruh kerabat menyertai ratapan kehilangan dengan cara yang sama, secara bergantian kami menggunduli rambut.

Rumah tua ini segera menjadi rumah duka yang dikunjungi seisi kampung. Sore hari ketika Marius dan Hengki kembali dari bevak dengan bernoken-noken sagu serta hasil hutan yang lain, maka suara tangisan bertambah riuh. Tak ada gerak apa pun di kampung hari ini, kecuali menangisi bayi kecil yang bahkan belum memiliki nama. Wajah tak berdosa itu tiba-tiba berkelebat seakan mata pisau yang menikam ulu hati ketika dibaringkan di liang lahat samping rumah. Aku tak akan dapat lagi menggendongnya, bahkan mengingat wajahnya dengan jelas, kecuali tubuh mungil tak bersalah yang tak memiliki hak hidup untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Ketika jenazah bayi kecil itu akhirnya hilang ditelan bumi dalam raungan yang nyaris tak akan pernah terhenti, langit telah padam pada mendung hitam yang menggantung, udara beku, dedaunan risau ditampar angin dingin. Kuceburkan diri ke dalam kolam berwarna coklat susu, kubersihkan seluruh tubuh kemudian kuulangi dengan air hujan dan sabun. Kemudian aku termangu di depan api tungku, jilatan lidah api tak lagi sama, belum lama seorang anak manusia terlahir menjadi bagian dari keluarga ini kemudian ia pergi selama-lamanya, menorehkan rasa kehilangan yang dalam.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Kelak aku akan tahu, ada beberapa kemungkinan seorang bayi tak memiliki usia panjang. Pertama disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, karena sering dibaringkan di dekat tungku api, di atas lantai, gizi buruk menurunkan daya tahan. Malaria adalah bahaya mematikan berikutnya, maka di kampung ini, juga di kampung-kampung lain angka kematian bayi teramat tinggi. Rata-rata ibu melahirkan delapan kali, tiga di antara bayi yang dilahirkan meninggal. Bayi-bayi yang dapat bertahan hidup hingga dewasa adalah hasil seleksi alam, karena daya tahan hidup yang luar biasa di tengah maha alam raya. Adikku, Teweraut kecil meninggal, karena kemungkinan ini.

Suatu kehilangan yang akan mengejar sebagai bayang-bayang pada seluruh perjalanan hidupku. Aku tahu, mama tak pernah dapat memaafkan dirinya, karena kematian ini. Di sisi lain, tanpa pernah berucap, aku pun memikul kesalahan serupa. Aku tak cukup dewasa untuk menyelamatkan kehidupan adik kandung, seorang anak tak berdosa.

Besambung, klik di sini https://mbludus.com/menggambar-bintang-kisah-seorang-anak-suku-asmat-6/

Naskah ini telah diterbitkan. Baca kisah selengkapnya dengan memiliki bukunya. Silakan pesan di 089526500727 (Shiny)

buku asmat

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *