Menghitung Surga

Gusti Trisno

Aku dan Ibu sudah kembali ke Jakarta. Tak banyak yang berubah dengan kota yang sepersibuk se-Indonesia ini. Lalu-lalang kendaraan bermotor dan tanaman beton yang menjulang mendekati langit langsung menyambutku. Walaupun begitu, aku tetap merindui kota yang telah mengajarkan arti kehidupan itu.

Seminggu berada di Pati bersama Ibu, aku serasa tersesat di surga. Kutemukan surga sebelum surga. Bagaimana tidak peristiwa yang sebenarnya tak kusenangi itu tiba-tiba menjadi kenikmatan sendiri. Adalah Ibu yang berniat keluar dari karir yang selama ini membelenggunya dalam kesibukan. Bukan hal mudah bagi perempuan nomor satu di hati itu untuk melepas semuanya. Tapi, pengorbanan ia semata untukku agar tak lagi terjerumus dalam jeritan setan khas anak remaja.

Sebelum pergi ke Pati, ada peristiwa di mana aku dan teman-teman seperjuangan di sekolah ditemukan sedang pesta miras. Kami sebenarnya melakukan hal itu hanya demi mendapatkan perhatian orang tua. Cuma itu saja, sederhana kan? Sebab, bukan apa orang tua kami jarang sekali bisa diajak bicara. Sehingga jalan satu-satunya ya mencari perhatian dengan cara seperti itu.

Untungnya, Ibu mengerti hal itu. Oleh karena itu, ia langsung mengorbankan karirnya. Dan mengajakku ke tempat yang tak sengaja membawa pintu taubat itu. Sekaligus merayakan hari ulang tahunku yang paling syahdu. Sebab dari sana, ada banyak kenangan, juga oleh-oleh penuh kebaikan yang kami bawa. Juga perubahan yang ada dalam diriku.

“Nak, segera mandi. Sebentar lagi Ayahmu datang!” Ibu segera memberi perintah ketika kami sudah sampai di beranda rumah.

[iklan]

Tentu mendengar perintah orang terkasih nomor satu itu, aku segera melaksanakannya tanpa sedikit pun menolak. Apalagi, waktu ketika kami sampai sini sudah hampir menenggelamkan Ashar.

Tak kurang dari lima belas menit, aku telah selesai membersihkan tubuh. Tapi tidak dengan Ibu. Guna membuang waktu, aku segera menonton televisi. Apalagi, sudah seminggu selama di Pati, tak sedetik pun ada waktu menonton layar pembuka jendela dunia itu.

Awalnya, tak ada tontonan yang menarik di dalam tivi. Hanya berkutat tayangan khas FTV tobat. Kalau tidak bapaknya selingkuh, ibunya yang selingkuh, atau anaknya yang durhaka. Hanya berkisar tiga tema itu saja. Dari stasiun tivi itu, aku pindah haluan ke tivi anu. Tivi anu malah lebih parah dari tivi itu. Sebab mereka menayangkan variety show yang sepertinya ditenggarai jika itu setting-an.

Ah. Mengingat itu semua. Ingin rasanya aku mematikan tivi. Belum sempat memencet tombol merah di remote control. Ibu datang menghampiriku. Ia langsung mengambil remote control yang ada di genggamanku.

Lalu, perempuan yang masih menunjukan sisa ayu di balik wajah itu segera menonton stasiun Tivi News. Mengingat itu, ingin rasanya aku berlalu dari tempat duduk ini. Apalagi, adanya berita di layar kaca. Kadang membingungkan penonton, sebab tivi satu bercerita kelakuan si anu yang jelek. Eh, tivi dua bercerita jika si anu memiliki perangai yang baik. Tentu berita seperti itu benar-benar membingungkan. Seolah-olah barangkali berita bisa pesanan atau dengan kata lain tidak ada tingkat validitasnya.

“Sudah di sini saja. Sambil menunggu Ayah.” Seperti sewaktu di Pati, Ibu seperti merasakan geliyatku yang ingin beranjak dari sisinya.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku waktu itu. Hanya seulas senyum sebagai pertanda jika tak akan meninggalkan Ibu di ruang keluarga yang sedemikian dirindukan itu.

Pun, tivi berita itu segera menyuarakan hasil liputan pertamanya. Bahwa ditengarai tokoh yang berinisial GA melakukan korupsi besar-besar di Dinas Cinta Damai. Lelaki yang berusia hampir lima puluh tahun itu, juga memiliki simpanan di beberapa bank dunia. Sontak reporter yang mengabarkan berita itu begitu semangat membahas berita orang nomor satu di Dinas Cinta Damai.

Mengingat nama Dinas Cinta Damai disebut berkali-kali dalam berita itu membuat Ibu menatap wajahku.

“Rinata!” kompak kami menyebut nama itu.

Aku segera menghubungi Rinata. Dalam situasi seperti ini, pasti perempuan itu butuh media mencurahkan hati. Sungguh, sekalipun seusai dari Patih aku tidak ingin lagi merajut kasih dalam hubungan pacaran. Tapi, rasa gelisah akibat berita ini benar-benar meledak di dada. Bagaimanapun, Rinata pernah menjadi pengisi hatiku. Ia pula yang dulunya menjadi tempat cerita taktakala dunia seolah-olah menjauh.

“Rinata sudah mengangkat?” Ibu bertanya menatapku dengan raut wajah yang penuh kebingungan.

Aku menggeleng lemah. Kucoba sekali lagi menghubungi Rinata. Tak ada jawaban dari ujung sana. Dicoba sekali lagi. Ponsel Rinata malah berada di luar jangkauan.

Ah!

Aku menyerah. Ibu menepuk pundakku. Sebagai tanda memberikan semangat. Sungguh baru seminggu lalu aku mendapati kejadian serupa tersesat di surga. Kini, mengapa harus ada kabar yang seperti neraka.

Bukan bermaksud lebay atau alay. Kabar tentang korupsi yang dilakukan besar-besaran di Dinas Cinta Damai itu benar-benar menyeret Papa dari Rinata. Tentu, Rinata pasti syok. Sebagai orang yang pernah dekat dengannya. Rinata bisa saja melakukan hal-hal gila jika dalam keadaan sedemikian lemah seperti ini. Apalagi selama ini, tumpuan hidupnya hanya dari si Papa.

“Bagaimana ini, Bu?”

Ibu tak menjawab.

Perempuan itu memijit keningnya.

Aku yakin sebagai perempuan, Ibu tak akan menyalahkan Rinata. Sehingga ia menyuruhku menjauhi perempuan yang pernah mencuri hati anaknya. Apalagi, sebagai seorang anak Rinata tak dapat memilih dari rahim atau sperma siapa ia dilahirkan.

Duh, Gusti, kuatkan Rinata di manapun ia berada.

Doa itu segera kurapal dalam hati. Setelah itu, aku memejamkan mata. Membaca hamdalah. Bertepatan dengan kehadiran Ayah yang membawa seorang perempuan lemah dengan bersimbah darah.

“Rinata!” pekikku dan Ibu, nyaris bersamaan.

Kami segera membopong perempuan lemah itu ke salah satu kamar tamu. Tentu, sebagai anak penguasa batik dan seorang devoleper perempuan. Kami memiliki rumah yang bak surga. Tak ada secuil pun debu ada di sini. Pun, untuk urusan rumah tangga. Pembantu-pembantu kami sudah siap, tanpa perlu dikomando.

Kehadiran Rinata di rumah kami juga tak menuntut suatu hal yang membuat berat hati. Uang kami lebih dari cukup. Sekalipun aku berharap kedua orangtuaku tidak memiliki niatan yang sama seperti Papa-nya Rinata.

Ah. Untuk apa melamunkan yang tidak-tidak. Tentu yang paling tepat sekarang adalah menyadarkan Rinata.

Berbagai cara kami lakukan untuk menyadarkan Rinata. Mulai dari menggelitik kakinya, memanggilnya dengan ucapan pelan sambil menggoyahkan tubuhnya, hingga yang terakhir menggunakan aroma minyak kayu putih mendekat pada hidung perempuan muda itu.

Untunglah, cara terakhir itu berakhir membuat Rinata siuman. Kemudian ia menangis sesungguhkan. Ibu langsung peka dengan memberikan kekuatan berupa pelukan. Aku dan Ayah yang berada di kamar tamu itu segera keluar secara perlahan.

***

“Di mana Ayah menemukan Rinata?” tanyaku pada lelaki nomor satu di hati itu.

Ayah tak langsung menjawab. Malah membuang jasnya di sofa. Lalu, menatapku dengan mata jeli. Seolah-olah ada tanda aku tak boleh lagi dekat dengan perempuan itu.

“Di dekat Taman Firdaus.”

Jawaban Ayah membuatku sedikit geram. Bagaimana tidak pertanyaan benar-benar, dijawab dengan konyol.

“Nggak percaya? Ya, sudah!” Tegas Ayah, kemudian mencoba berlalu di hadapanku.

Tunggu… tunggu… Taman Firdaus. Bukankah itu tak jauh dari tempat kami tinggal. Dan Ayah sebagai salah satu devoleper perumahan ini segera menanamkan konsep nama taman Firdaus. Sekalipun taman indah itu berubah menjadi surganya orang pacaran, tak terkecuali aku dan Rinata waktu lalu.

“Bagaimana kondisinya?”

Aku langsung menahan Ayah untuk tidak pergi dengan pertanyaan itu. Sungguh hatiku sedemikian penasaran. Tentang bagaimana Ayah menemukan perempuan itu.

“Seperti kamu lihat. Roknya yang pendek itu seperti robek. Juga ada beberapa darah menetes dari kepalanya. Seolah-olah ia jatuh.”

Aku menyebut asma Allah dalam hati.

Duh, apa yang harus kami lakukan Gusti?

“Kenapa kita tidak membawanya ke rumah sakit?”

Ayah tersenyum.

Begitulah lelaki berkacamata minus lima itu. Lalu, menatapku dengan tegas dan berucap jika Rinata dibawa ke rumah sakit. Tentu akan menjadi sasaran wartawan yang sedang memburunya. Dan, hal itu tidak baik untuk keadaannya yang sedemikian semraut seperti ini.

Diam-diam aku senang atas keputusan Ayah yang tepat itu. Maka, setelah menjelaskan duduk persoalan. Lelaki itu minta diri dari hadapanku berbarengen dengan ibu yang telah keluar dari kamar tamu.

“Rinata butuh bicara denganmu, Nak. Hati-hati kondisinya sedemikian lemah.”

Aku langsung mengerti dengan apa yang dimaksud ibu.Kuucap salam sebelum masuk kamar yang ditempati Rinata. Di sana gadis itu benar-benar lemah. Tak seperti biasanya yang penuh dengan suka cita. Gadis yang terkadang berubah menjadi pecicilan itu beraroma senduh.

“Setelah ini, kamu pasti tidak mau menjadi pacarku?”

Aku menelan ludah mendapati pertanyaan Rinata.

Pacar? Ah. Perjalanan menuju Pati sudah mengajarkan banyak hal. Salah satunya memutuskan hubungan yang belum tepat ini.

Tapi, tentu aku tak langsung mengucap kata itu. demi menjaga perasaan Rinata.

“Aku boleh memelukmu?” tanya perempuan itu lagi.

Sontak aku menggeleng dan menolak.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

Sekarang sudah beda, Rin. Bukan karena kesalahan Papamu, tapi aku ingin berubah mendekat pada Ia yang mungkin akan cemburu jika kita masih melakukan hal yang sama di masa lalu.

“Kamu lihat darah ini?”

Akhirnya Rinata mengubah topik lain. Aku bersyukur sebentar, setidaknya topik itu tidak membuatku harus memeluk Rinata.

“Kenapa?”

“Aku kehilangan surga.” Jelas Rinata diiringi tangisan yang sedemikian senduh.

Pertahananku seakan-akan sebentar lagi roboh. Sungguh kehilangan surga bagi seorang gadis adalah hal yang tragis.

“Ceritanya ketika aku dapat kabar Papa korupsi. Aku mabuk di club. Lalu, pulang dengan jalan sempoyan. Bertemu preman. Kemudian…” Rinata tak berani melanjutkan.

Pasti perempuan itu terbayang sakit ketika mengingat peristiwa tragis.

“Kamu yang sabar ya!” ucapku tanpa sedikit pun menyentuh tubuhnya.

Biasanya kalau salah satu dari kami sedang galau, selalu mengelus rambut sebagai tanda agar tidak galau. Tapi, kini aku tak berani mengelus rambut panjang nan hitam yang dimiliki Rinata itu.

“Kamu berubah!”

Ya. Aku berubah. Bukankah itulah yang menjadi keinginan setiap orang untuk berubah ke arah yang lebih baik.

“Dan aku suka perubahan kamu!” Ucap Rinata kemudian tersenyum manis.

Senyum yang membuatku mengenang peristiwa awal kami bertemu di kantin sekolah. Awalnya Rinata tak sengaja menumpahkan kuah bakso di bajuku. Tentu aku marah. Eh, lama kelamaan rasa marah itu berbuah cinta. Sampai akhirnya kisah itu berhenti ketika aku tiba dari Pati. Sebab dari sana, aku mengetahui bahwa ada cinta yang abadi menungguku.

“Dari foto yang kamu unggah di Facebook. Aku tahu, katanya kamu di sana serupa tersesat di surga. Sementara aku di sini kehilangan surga!”

Setelah berhasil mengucap itu, Rinata menyuruhku keluar kamar.

Aku hanya menggingti bibir tak percaya atas kepingan kesedihan yang menghampiri Rinata. Bahkan, untuk menghiburnya seperti dulu. Aku tak bisa.

***

“Apa yang Rinata ceritakan kemarin padamu, Nak?” tanya Ibu seusai kami selesai salat Subuh.

Aku segera merapatkan diri pada perempuan itu dan memeluknya sedemikian lembut.

“Ia kehilangan surganya, Bu.” Ucapku sedemikian lirih berharap tak ada yang mendengar.

Allah.

Ibu mengucap asma Allah. Perempuan yang memiliki keluhuran budi itu segera meneteskan air mata. Tak percaya atas nasib yang dialami Rinata.

“Pasti dia trauma.” Ibu mengeluarkan vonis.

Aku mengangguk membenarkan.

“Apa kamu pernah menggilangkan surganya, Nak?”

Pertanyaan Ibu benar-benar membuatku menahan ludah.

“Kamu jangan salah sangka dulu.” Ibu segera meralat maksudnya.

Kemudian, pertanyaan Ibu yang kurasa menyindir itu segera kujawab dengan perlahan. Dulu, kami memang sangat dekat. Walaupun begitu, kami tak secuil pun melakukan perbuatan nista itu. Sebagai anak satu-satunya di keluarga. Sungguh, senakal-nakalnya aku tak ingin memalukan orang tua lewat jalan itu.

Tapi, pertanyaan Ibu memang ada benarnya. Aku pernah menghilangkan surga itu. Bukan surga dalam artian keparawanan dalam tubuh.

“Maksudmu?” Ibu memotong ceritaku.

Kami punya kebiasaan ketika berpacaran untuk menghitung surga. Seolah-olah surga itu seperti luka yang pantas dihitung. Surga yang kami hitung itu ada banyak jenisnya, surga di dalam minuman keras. Kami sebut minuman surga. Surga dalam rumah. Kami sebut keluarga surga. Sekalipun untuk keluarga surga tak benar-benar kami miliki waktu itu.

Dari sana, sudah ada dua surga. Lalu, ada banyak hitungan surga. Serupa Taman Firdaus yang sering kami kunjungi serupa taman surga untuk berbagi cerita. Dan aku menghilangkan surga. Ketika berjanji untuk merayakan hari ulang tahunku tempo hari.

“Hanya itu?”

Ibu bersyukur mendengar cerita itu. Setidaknya surga yang dimaksud anaknya itu tidak mengarah ke hal negatif yang mungkin perempuan itu sangka.

“Lalu, bagaimana kita memperlakukan dia, Bu?” Kini, aku balik bertanya pada Ibu.

Memperlakuan Rinata dalam rumah ini, sama saja mengundang banyak bahaya. Salah satunya fitnah. Tapi, jika membiayarkan Rinata sendiri di rumahnya. Tentu akan mengakibatkan perempuan yang memiliki rambut hitam nan panjang itu diliputi rasa trauma yang berkepanjangan.

“Kita harus diskusi sama Ayah. Bagaimanapun sebagai tamu, kita layak menghormatinya. Lepas dari tiga hari. Baru kita tentukan bagaimana enaknya?”

Aku mengangguk setuju!

***

Sarapan hari ini benar-benar berubah.

Kedatangan Rinata benar-benar membuat aku, Ayah, dan Ibu ekstra hati-hati dalam bicara. Pun, ketika mengajak Rinata untuk menembus rimba jalanan menuju sekolah penuh kehati-hatiaan luar biasa. Sebab salah ngomong sedikit saja. bisa menggores hatinya.

“Aku tidak bisa sekolah hari ini!” putus Rinata.

Betapa berat hati gadis itu, jika ia sampai berani hari ini ke sekolah. Tak terbayang di pikiranku bahwa gadis yang berusia hampir tujuh belas tahun itu pasti jadi bulan-bulanan teman-teman. Dan sebagai teman yang baik, aku tak membiarkan itu terjadi.

“Sudah fokus belajarnya!” tegas Ibu di dalam mobil menuju perjalanan ke sekolah.

Tidak seperti biasanya, aku diantar supir. Kini, ketika ibu memutuskan untuk berhenti bekerja. Perempuan itu sendiri yang menggantarkan anak semata wayangnya.

“Kasihan dia, Bu.”

Di sekolah, aku benar-benar tak henti memikirkan Rinata. Tentang apa saja yang ia lakukan demi membuang waktu di rumahku. Juga, tentang agenda terdekatnya setelah ini. Sungguh, aku tak ingin ia berhenti sekolah. Karena masalah yang membelenggu keluarganya itu.

Pikiran tentang Rinata benar-benar menggangguku. Hingga aku menghubungi Ibu.

“Ibu masih di butik, Nak. Pamit sama karyawan. Lepas ini langsung ke rumah. Nanti, Ibu kabari ya!” Aku harap-harap cemas menantikan kabar Ibu.

Sungguh, aku tak benar-benar bisa konsentrasi terhadap pembelajaran di kelas. Dan, sekitar satu jam Ibu balik emnghubungiku.

“Rinata nggak ketemu di kamarnya. Tapi, ada pesan. Katanya ia mau menghitung surga. Dan jangan dicari.” Jelas Ibu di ujung sana.

Aku memincingkan mata. Berusaha menerka, apa maksudnya menghitung surga?

Gusti Trisno. Pegiat Literasi Kota Santri yang lahir dengan selamat di Situbondo, 26 Desember 1995. Saati ini, ia menjadi mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Peraih juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016 dan Penerima Anugerah Sastra Apajake 2019 ini memiliki tiga buku yang telah terbit, yakni:  Kumpulan Cerpen “Museum Ibu”, Kumpulan Puisi “Ajari Aku, Bu”, dan Novel “Rindu Paling Akbar”. Pemilik blog Dunia Trisno (www.gustitrisno.com) ini bisa dihubungi di Facebook: Gusti Trisno, Instagram: @gustitrisno.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *