Selepas matahari tenggelam. Langit menjadi hitam. Udara terasa lebih dingin mengecup keringat-keringat yang mengucur dari tubuh para pekerja yang seharian berkutat dengan penat dan letih demi menyambung kasih.

Tepatnya Pukul 18.30 Wib. Sepulang kerja. Tubuhku begitu lelah memikul setumpuk tanggungjawab yang dipikulkan di pundak dan benakku, sebagai bagian dari kewajiban dalam kehidupan. Langkahku gontai terikat rasa capai, setelah seharian menjadi robot bernyawa yang berkutat-ketat dengan laporan-laporan kerja harian. Maklum saja aku hanyalah ekor kerbau yang manut atas perintah atasan. Meski setiap hari keringat-keringat begitu deras, muncul seperti biji jagung, aku masih tetap menjadi kacung.

“Hari minggu adalah hari bercinta dengan kasur. Hari melenturkan urat-urat yang tegang.” Ucapku sambil membayangkan betapa puasnya tidurku nanti. Mengingat besok tanggal yang tertera di kalender berganti warna menjadi merah, semerah bibir perawan yang sedang kasmaran menanti kecupan kekasih pujaan.

Malam itu aku berjalan melewati gedung-gedung yang menjulang tinggi, mirip harapan dan mimpi-mimpi anak manusia yang haus akan pencapaiannya di dunia. Kaki-kaki lelahku menyusuri lorong-lorong sepi, riuh kios-kios yang sibuk menjajakan dagangan juga rumah-rumah warga yang damai. Namun anehnya, entah mengapa tiba-tiba malam itu jalanan yang biasa kulalui terasa menggelapkan mata dan hati, seperti ada yang menusuk-nusuk nurani dengan kegelisahan, mengetuk-ngetuk kesadaran yang entah datangnya dari mana. Aku hanya sibuk mereka-reka dengan napas tertahan di dada.

Aku merasakan ada hal lain yang tiba-tiba saja mengetuk hati nurani, hingga pada akhirnya, ketika aku melewati sebuah mushola: yang biasa dijadikan tempat pengajian Ibu-Ibu. Tak sengaja hatiku berdebar-debar, mendengar samar suara yang menggema dari geliat tanya yang membuncah isi kepala. Sesaat telingaku mencuri dengar dari mulut seorang Ustad yang sangat dikagumi di kampungku ini. Beliau tengah bertausiah dengan kalimah-kalimah thoyibah begitu indah. Mungkinkah itu menjadi jalan masuknya hidayah?

Seingatku Beliau meriwayatkan kembali sabda-sabda Nabi yang di antara kalimatnya menghampiri telingaku, lalu jatuh ke dalam hatiku. Mengoyak alam bawah sadarku menjadikan benakku sesak oleh pertanyaan-pertanyaan batin, menggugah rasa yakin.

Beliau berkata “Sesungguhnya kemiskinan itu mendekati kekufuran.”

Sepenggal kalimat ini yang menggetarkan kalbuku. Kalimat sederhana yang biasa kudengar. Tapi mengapa malam itu membuat hatiku berdebar-debar. Seluruh kesadaranku seperti terhempas ke batu cadas, begitu keras hingga segenap keangkuhanku lenyap tak berbekas. Kalimat ini benar-benar menceritakan aku, menggambarkan aku, iya, itu aku. Aku yang miskin dan sangat papa, benar-benar tak punya apa-apa bahkan untuk sehembus nafaspun kalau bukan karena RidhoNya maka aku tak akan pernah punya.

Aku miskin, miskin ilmu, miskin iman dan keyakinan, yang ada di benak hatiku hanya ada uang, uang dan uang. Bagiku uang menjaminkan bahagia, meski memang bukan segalanya, tapi tanpa uang aku tidak akan mampu membeli segala yang ada, tak jarang uang juga mampu membeli nyawa seseorang dan uang bisa jadi alat perang.

Uang pun tanpa sadar sering dijadikan Tuhan, disembah-sembah, dielu-elukan. Tanpa uang, aku kerap kebingungan. Karenanya juga banyak manusia yang kesetanan, lupa daratan, tak perduli halal, haram, baik, buruk, yang ada di perasaan mereka hanyalah kepuasan.

Sementara kepuasan itu berada di titik kebahagiaan yang hanya berdenyut melalui bebunyian koin-koin yang jatuh dari keringat-keringat yang mereka peras dengan beringas.

Aku pernah mengira  di mataku kebahagiaan dapat diukur dari lipatan-lipatan kertas bernominalkan rupiah berwarna biru dan merah.

Aku si miskin yang bukan hanya mendekati kekufuran tetapi sering kali mengkafirkan perasaan sendiri. Di mana aku masih menuhankan hal-hal lain selain menuhankan Tuhanku, Allah!!!

Aku dekat, sangat-sangat dekat hingga kedekatanku dengan kekufuran lebih dekat dari perasaan seorang ibu yang sedang memeluk anaknya. Kedekatanku dengan kekufuran menjadikan urat-urat, tulang sendi serta darah yang mengalir ditubuhku terasa ringan saat berbuat maksiat, tak ada setitik pun perasaan yang memberati penat, juga bisikan-bisikan yang dapat mengikat syahwat. Meski kadang aku berpikir bukan kemiskinan harta yang mendekatiku kepada kekufuran tetapi kemiskinan hati dan ilmu yang mendekatkan lalu memperkenalkanku kepada kekufuran. Kufur nikmat dan kufur rasa syukur.

Aku sangat miskin akan ilmu pengetahuan agama bahkan tak pernah berbaur dengan segala hal yang berbau agama, karena dalam batinku, orang yang pintar agama, lebih berani melakukan dosa. Tak percaya lihatlah di televisi, dengarlah radio dan bacalah majalah atau belilah koran. Maka bacalah, tela’ahlah dengan mata dan hatimu semua warta berita menceritakan kebejatan-kebejatan para pemuka agama, ada yang saling mengkafirkan, yang hanya membenarkan satu golongan, ada yang sibuk mengkorupsi dana negri ini, di mana para oknum pelaku mayoritas berkopyah haji, berwajah seri namun hati busuk tak terperi. Meski tak semua pemuka agama gila akan hasrat dunia. Tapi di media masa, pemuka agama jadi pemuja hasrat birahinya semata. Mereka tunduk takluk begitu kemaruk mengeruk harta dunia. Seakan memiliki segunung emas masih kurang luas dan puas.

Jujur aku muak dengan wajah-wajah yang sok suci, bahkan tak jarang ada yang mengkultuskan diri, seakan diri adalah calon penghuni surgawi.

Tapi?

Siapalah aku?

Apa untungnya juga bagiku?

Mengapa juga aku membenci mereka?

Apa hakku memvonis mereka, seakan kesalahan kutimpakan semua kepundak mereka?

Mereka yang bersalah, mengapa keyakinanku yang harus dihukum, dan mengapa keyakinan terhadap agamaku yang harus kupenjarakan, kusangsikan?

Bagiku agama tak pernah mengajarkan kesalahan, kesalahan hanya terletak bagi para penganutnya.

Biarlah mereka melakukan apa yang mereka lakukan karena aku percaya. Bukankah Tuhan tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Segenap pertanyan batin menusuk-nusuk kesadaranku. Aku terkapar di bawah langit biru yang tiba-tiba menurunkan hujan begitu deras. Tubuhku kebasahan, entah basah oleh tangis penyesalan atau basah oleh hujan yang sepertinya sedang membersihkan pikiran-pikiran kotorku dan hasrat dalam hatiku yang begitu mencintai dunia sampai lupa tugas utamaku di dunia.

Pukul 4.30, pagi. Matahari masih tertidur di peraduannya. Sunyi masih mendekap suasana. Namun tidak bagi sepasang mataku yang semalaman terjaga.

Malam itu aku tak bisa tidur. Benakku terus melayang-layang, membayangi apa yang akan terjadi kelak saat jasadku sudah dipeluk bumi. Subuh itu aku berjalan, berputar-putar keluar masuk pintu kamar, lalu duduk, berdiri, begitu seterusnya yang tanpa sadar, entah sudah berapa kali aku melakukannya. Sementara mulut sudah kuhangatkan dengan batangan-batangan rokok dan bergelas kopi tandas menyisa ampas. Tapi tetap saja hatiku merasa dingin, masih haus akan segenap jawaban-jawaban batin, seperti ada yang menusuk-nusuk nurani hingga menyesap ke sum-sum nadi. Selimut dan kasur paling empuk tak mampu memeluk hatiku yang remuk. Dihantam perasaan-perasaan sesal masa silam yang kelam.

Azan subuh mulai terdengar. Aku segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi, sebagai ritualku sehari-hari setiap bangun dari tidur. Kemudian aku bercermin lama sekali, menatap jauh ke dalam mataku sendiri, mencari-cari yang hilang dari dalam diriku sendiri, yang tak pernah kuajak bicara untuk waktu yang sangat-sangat lama.

Beberapa menit kemudian aku keluar dari kamar mandi, langsung menyalakan televisi, tak sengaja remoteku menekan tombol yang memunculkan acara tausiah pagi. Kembali aku dikagetkan dengan tausiah-tausiah yang menggetarkan jiwa, menggugah rasa.

Celakalah bagi orang-orang yang sholat, yaitu orang yang lalai dalam sholatnya.

Aku kaget, batinku kembali dihujani pertanyaan-pertanyaan abstrak, begitu sesak.

“Yang sholat saja celaka bagaimana yang tidak sholat? Lalu Sholat yang bagaimana yang tidak melalaikan diri sendiri?”

“Sholat yang seperti apa yang tidak lalai dan tidak melalaikan segala kewajiban dalam kehidupan?”

“Ya, Allah!”

“Apa maksud dari semua ini, Inikah jalan hidayah-Mu, agar aku kembali menyembah-Mu?”

 

BSD 2014

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *