Ocehan 4

Dasar orang kampung, ndeso! MBah Samin berdiri terbengong-bengong memandangi Tugu Monas yang sudah berkali-kali menggodanya dalam mimpi dan baru sekarang ini bisa dilihatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, mulutnya tak henti-hentinya berdecak tanda kagum.

“Ada apa, Mbah?” tanya Fulan bermaksud untuk menggoda.

“Fulan, logam warna kuning yang ada di puncak itu emas betulan, ya?”

Ya iya lah. Logam kuning yang bentuknya seperti lidah api itu melambangkan semangat juang bangsa Indonesia yang menyala-nyala. Tingginya 14 meter, terbuat dari logam perungu seberat 14,5 ton yang dilapis emas seberat 50 Kg.”

“Ck..ck..ck.. orang Jakarta memang kaya raya. Hebat. Gedung-gedungnya tinggi, mobilnya banyak. Sampai-sampai jalan rayanya nggak cukup untuk menampung. Hmmm… emas 50 Kg hanya jadi tontonan. Mubazir!”

Nah lo, mulai kumat dah samin-nya si Mbah. Apa hubungannya Monas dengan orang Jakarta, gedung tinggi dan mobil-mobil?

“Yang bikin Monas itu bukan orang Jakarta tapi Pemerintah, Mbah.”

“Berarti Pemerintah kita kaya raya, dong?”

Ya iya lah. Tanah air kita kan memang kaya raya. Subur makmur gemah ripah loh jinawi.”

“Tapi mengapa masih banyak orang miskin, pengangguran, maling, copet, rampok, korupsi, anak putus sekolah, kekurangan gizi, kerusuhan dan… “

Tau ah gelap!” Segera Fulan memotong celoteh Mbah Samin. Tugu Monas itu mulai dibangun tanggal 17 Agustus 1961 selesai tanggal 12 Juli 1975. Tugu melambangkan Lingga-Yoni atau Alu dan Lesung sebagai simbol kesuburan. Tingginya 132 meter atau 433 kaki. Arsiteknya adalah bangsa kita sendiri yaitu Frederich Silaban dan RM Soedharsono.”

Mbah Samin memandang Fulan dengan serius. Seperti ada yang ingin dia tanyakan.

“Jadi Tugu Monas itu tingginya mencapai 132 meter? Apa benar yang bikin tugu itu asli orang Indonesia?”

“Apa ada orang Belanda yang namanya Silaban atau orang Amerika namanya Soedharsono?” jawab Fulan agak sewot.

“He he he… Fulan ndagel. Saya mah nggak percaya kalau Silaban dan Soedharsono itu orang Indonesia.”

“Koq bisa?”

Ya iya lah. Tinggi orang Indonesia itu paling banter rata-rata 1,70 meter. Nggak sampai 2 meter.  Mana mungkin bisa membangun Tugu Monas yang tingginya hampir 100 kali tinggi tubuhnya. Gimana caranya bisa memasang lidah api dari emas di puncaknya. He he he… “

Sembari tolak pinggang sebelah tangan, Mbah Samin menyalakan rokoknya yang tinggal separuh dan sejak tadi nyelip di bibirnya.  Setelah memasukkan korek api gas ke saku celana komprang motif batiknya, ia manggut-manggut memandangi puncak Monas.

“Jadi Mbah belum tahu ya, bagaimana proses pembuatan Tugu Monas itu?”

“Memangnya kamu tahu?”

“Bapak saya dulu ikut bekerja sebagai kuli bangunan. Waktu itu umur saya 7 tahun.  Dengan mata kepala sendiri saya melihat bagaimana caranya monas didirikan.”

“Caranya gimana?”

“Rokok dulu sebatang. He he he…”

Mbah Samin mengeluarkan bungkusan rokok dan menyerahkan pada Fulan.

”Ambil buat kamu semua,” katanya.  Dia kelihatan begitu antusias untuk mendengarkan cerita Fulan. Maka Fulan pun mulai membual.

”Begini ceritanya, Mbah…”

”Gimana?”

“Sebelum berdiri tegak seperti sekarang ini, tugu Monas itu sebenarnya membuatnya di bawah. Ditidurkan dulu di atas tanah. Baru setelah selesai, tugu itu diberdirikan ramai-ramai. Begitu caranya, Mbah Samiiin… Paham?”

Mbah Samin hanya manggut-manggut.  Dari mulutnya selain keluar asap juga keluar suara.

”Ooo, gitu ya caranya?”

Dalam hati Fulan berkata. Lu yang bego apa gue yang sableng. He he he…

 

***

 

Dapoer Sastra Tjisaoek, Okt. 2021.

Ocehan sebelumnya (3): https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-3/
Ocehan Berikutnya (5): https://mbludus.com/mbah-samin-ngoceh-5/

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *