Teater tradisional Jawa Timur

Lerok Ngamen (1907-1915)

Lerok ngamen dimulai oleh seorang petani, Pak Santik dari Jombang, Jawa Timur. Untuk menambah penghasilan, ia pergi mbarang seorang diri menggelar lawak dan balada yang diselingi bunyi gamelan mulut. Untuk menjaga rahasia jatidiri, ia memakai bedak dan tatarias tebal serta berpakaian seperti badut. Dari sinilah berkembang seni barangan ( pertunjukkan keliling ).

Seiring waktu, pertunjukkan tunggal menjadi bertiga, Monolog menjadi dialog yang “hidup”. Dan balada dinyanyikan dalam bentuk dialog.

[iklan]

Lerok Besutan (1915-1920)

Lerok ngamen yang dibawakan tiga orang dengan unsur lawak dan lagu yang begitu terkenal, sehingga sering diundang menghibur tamu pada perayaan. Mutunya terus meningkat dan ditambahkan gamelan hidup yang terdiri atas kendhang, saron, kempul, gong, dan siter berikut para penabuhnya.

Inti dramanya tetap dilakukan oleh tiga orang dengan peran masing-masing: Besut,rakyat jelata; wedokan (pria berperan wanita) sebagai Asmunah, istri Besut; dan Man Jamino, seorang lelaki tua.

Perubahan bentuk dari lerok ngamen menjadi lerok besutan sejajar dengan perkembangan adat upacara keagamaan di Jawa. Pemain memainkan perlambang watak yang digambarkan melalui busana. Besut menonjol karena busana aneh: peci Turki merah, celana panjang hitam, bebed lawon (sarung berwarna putih), dan bertelanjang dada, melambangkan rakyat kecil yang polos, dan pada dasarnya murni secara batin. Asmunah bergaya dengan kebaya dan kain batik, mewakili perempuan masa kini. Tokoh lelaki tua, Man Jamino, dengan cerdik memelihara keseimbangan di antara kedua kutup kehidupan.

Lerok besutan dipentaskan di halaman pemilik rumah pada malam hari. Besut muncul membawa obor, diikuti Asmunah yang kedua matanya tertutupoleh cadar putih dan mengunyah sirih. Man Jamino ikut di belakangnya. Dengan telapak tangan dikatupkan, ketiganya membungkuk ke empat penjuru (kiblatpapat).Asmunah membuka cadar dan membuang  di mulutnya; lampu dinyalakan, dan pertunjukkan dimulai. Besut merupakan cerminan orang yang berusaha menemukan pepadhanging urip, pencerahan. Perilaku sebelum sandiwara di mulai merupakan lambang kesadaran yang sedang  tumbuh.

Ludruk (1920- masa kini)

Ludruk adalah salah satu jenis kebudayaan asli dari daerah yang ada di Jawa Timur. Ludruk merupakan pementasan seni drama yang bersifat tradisional yang dimainkan oleh kelompok kesenian diatas panggung. yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki Cerita dari sebuah pementasan ludruk berasal dari kehidupan masyarakat sehari-hari, cerita perjuangan, dan lain sebagainya yang disertai dengan lawakan para pemainnya. Pementasan drama ludruk juga diiringi dengan iringan musik gamelan. Ludruk pada awalnya muncul dari kesenian rakyat ‘besutan’, yang biasa dipentaskan di lapangan dan ditonton banyak orang.

Dialog yang digunakan dalam pementasan ludruk sangat menghibur sehingga membuat para penontonnya tertawa. Dialog yang digunakan dalam pementasan ludruk menggunakan bahasa khas dari Surabaya. Bahasa yang sederhana para pemain ludruk membuat mudah dimengerti para penontonnya.
Ludruk berbeda dengan ludruk dari Jawa Tengah. Cerita ludruk sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita kehidupan sehari-hari (biasanya) masyarakat bawah.

Berbeda dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk menceritakan kehidupan sehari-hari rakyat jelata, yang seringkali dibumbui dengan humor dan kritik sosial, dan umumnya dibuka dengan Tari Remo dan parikan. Saat ini kelompok ludruk tradisional dapat dijumpai di daerah Surabaya, Mojokerto, dan Jombang; meski keberadaannya semakin dikalahkan dengan modernisasi.

Sejarah kesenian Ludruk. Kesenian drama tradisional ludruk Surabaya mulai terbentuk dari sebuah kesenian ngamen di jalanan. Kesenian ngamen ini berisi syair-syair dan pikulan music sederhana. Seseorang yang memulai terbentuknya kesenian ludruk ini bernama pak Santik. Pak Santik berteman dengan pak Pono dan pak Amir. Mereka mengamen berkeliling dari desa satu ke desa yang lainnya.

Pak Pono menggunakan pakaian wanita dan wajahnya dihiasi dengan coret coretan sehingga terlihat lucu. Pada saat itulah penunton mengucapkan kata “Wong Lorek”, karena variasi dalam menggunakan bahasa jawa akhirnya kata “Lorek” lambat laun berubah menjadi kata “Lerok”.

Karena keberadaannya yang lahir dari rahim kebudayaan rakyat jelata, Ludruk jelas lebih merakyat daripada seni tradisional (Jawa) lain, terutama yang berasal dari kalangan Keraton. Dengan bahasa daerah sederhana dan egaliter, sindiran dan kritik-kritik tajam, serta pemilihan cerita yang tidak terbatas, Ludruk memiliki kekuatan komunikasi yang sangat besar terhadap masyarakat. Kekuatan ini sejak lama disadari berbagai pihak, yang tentu saja bisa berarti positif maupun negatif bagi seni Ludruk itu sendiri.

Srimulat. Pertunjukkan Srimulat bersifat lucu dengan tekanan pada lawak. Kisah horor pun diarahkan menjadi lucu, bukan menakutkan. Cerita berjudul Mayat Hidup dan Drakula disajikan dengan cara menyindir tingkah laku manusia secara lucu, dan tidak dimaksutkan untuk membuat penonton ketakutan.

Ludruk dan srimulat merupakan dua bentuk teater populer Jawa Timur. Ludruk khusus terkenal di Jawa Timur. Jalan ceritanya bersumber pada perubahan tak terduga dalam kehidupan sehari-hari. Adapun srimulat didirikan di Surakarta tahun 1950 dan pindah ke Surabaya tahun 1961.

Glipang

Di sebuah desa yang ada di daerah Kabupaten Probolinggo bagian tenggara, tepatnya di Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, ada satu jenis kesenian tradisional yang bernama glipang. Konon, istilah “glipang” berasal dari bahasa Arab “goliban” yang mengandung makna suatu kegiatan keseharian yang dilakukan oleh para santri di dalam pondok. Kesenian yang menggambarkan tentang cerita kehidupan sehari-hari yang bernafaskan Islam ini disajikan dalam bentuk tari yang diiringi musik dan disertai dengan dialog dalam bahasa Jawa, Madura dan disisipi sedikit bahasa Arab.

Kesenian glipang dicipatakan oleh Sutrisno pada tahun 1935. Sutrisno adalah seorang pendatang dari Pulau Madura yang menetap di Desa Pendil. Mula-mula ia bekerja sebagai mandor penebang tebu di pabrik gula Sebaung, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Namun, karena sering terjadi pertentangan dengan sinder-sinder Belanda yang bertindak sewenang-wenang, maka Sutrisno memilih berhenti dari pekerjaannya sebagai mandor.

Setelah keluar dari pabrik gula milik Belanda tersebut, dengan daya kekreatifannya, Sutrisno menangkap keluhan-keluhan rekannya sesama pekerja pabrik terhadap sinder-sinder Belanda itu kemudian meramunya menjadi sebuah bentuk drama tari yang disebut kiprak glipang. Jadi, dahulu glipang adalah suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang disampaikan dalam bentuk drama tari agar jangan bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya. Dalam perkembangannya, saat ini kesenian yang telah menyebar ke Kabupaten Lumajang, Jember dan Pasuruan, hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan pelepas rutinitas keseharian.

 

Sumber gambar cnnindonesia

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *