
Kegelisahan mikro pada seorang penyair dapat mengungkapkan sesuatu yang makro. Itulah mengapa puisi menjadi sesuatu yang penting untuk dimaknai ketika membacanya. Ada semacam dan penyair yang baik selalu menuangkan gagasan, atau perasaannya melalui diksi yang estetik, rapi dan berkarakter. Semua itu, terasa pada puisi-puisi yang tayang kali ini. Selamat membaca. (redaksi).
Puisi yang Lahir dari Penyambutan
agustus merayakan sepi
di sebuah mata bening
melepaskan kepura-puraan
yang lebih sempurna dari riwayat kota
banyak jiwa berteduh pada nasib
sambil membaca ritual penyambutan
orang-orang berduyun menjual bendera
menaruh keringat dalam kedamaian
tiada yang dapat terangkai
dari kerinduan atas penyambutan
selain puisi yang dipandang sayu
lewat luka-luka pada bumi
detak jantung berhenti
sebelum puisi menjadi nyawa
bagi yang pergi melewati sebuah nama
pada kota asmara penuh bunga
baitnya adalah serangkaian tanya
orang-orang pinggiran yang pasrah
dengan kebimbingan atas petaka
bersama mantra dalam doa
dibaca pada lamunan-lamunan sakral
agustus; ada penyambutan
yang belum sempurna
setelah kedatangan tamu tak diundang
menaburkan kematian pada bumi
sebelum pujangga menyelesaikan puisinya
Bekasi, 14 Agustus 2020
Agustus: Sampai ke Kota Rantau
perjalanan menyisakan sebuah purnama
dipersembahkan pada kekaguman agustus
jantung menerjemahkan luka dan sepi
lewat sudut kota penuh kegelisahan
pada akhirnya sampai pada perantauan
dengan hasrat yang berkilau di mata
hanya saja ada tikungan terjal
membelenggu napas dengan rahasia
ada gemuruh air mata di setiap langkah
merangkai riwayat agustus dalam pilu
oh, atas nama kota
yang disinggahi rasa rindu
cinta melahirkan kepasrahan
ketika tanah tak berdamai dengan kabar
oh, kota di negeriku hanyalah mata
tempat merahasiakan kuasa petaka
membiarkan jantung berlapis kemarau
yang gersang di tanah perantauan
amboi, agustus telah menamai kemerdekaan
dalam cerita yang diriwayatkan keanehan
Bekasi, 15 Agustus 2020
Setengah Hari di Bulan Agustus
matahari jatuh di jantungmu
merekam seluruh sunyi antara luka
membendung kebebasan kota
yang membelah matahari di agustus
ada perayaan kemerdekaan setangah hari
dalam rahasia riwayat bunga
saat ditabur pada pusara pahlawan
setelah mewariskan negeri dengan darah,
dengan tulang, dengan air mata di tanah gersang
–cinta menjadi harap pada setiap jiwa
Bekasi, 16 Agustus 2020
Sirah Tersirat dalam Surat Agustus di Perantauan
ada slogan kematian di tanah perantauan
terabadikan dalam perayaan agustus
kita ini masih mengibarkan bendera
ketika rakyat tertindih tanda tanya;
siapa di balik bara yang berkobar
dan terkadang menghilangkan arah
pada jalan yang ramai huru-hara
dalam perayaan kemerdekaan negeri?
padahal, tanah ini masih belum
merdeka dari kecemasan tubuh
sejarah–ketika dibacakan sirah pahlawan
ada yang berpiuh pada celoteh
di dunianya sendiri
saat agustus hanya merayakan kemerdekaan
di atas nasib orang-orang
di jantung yang lelah
mereka hanya mempunyai tangis
tanpa belaian kenikmatan
di seluruh tubuh yang didera
kegaduhan dalam nada kota
di antara kegelisahan sebelum pulang
setelah puisi ini selesai dengan ceracau
seperti nyanyian awal kemarau
dengan suara yang parau
ai, masih saja agustus menyebarkan
surat-surat kemerdekaan dikibarkan
pada bendera yang melupakan kecemasan
saat kota mesti tunduk pada derita
dan hanya mampu bergumam di petaka
ai, derita kami, bahagia mereka
Bekasi, 21 Agustus 2020
LY. Misnoto, seorang perantau lahir di Pulau Giliraja, Sumenep yang saat ini tinggal di Kota Bekasi. Mulai menulis puisi ketika aktif di Sanggar Aksara dan Forum Intelektual Santri (FITRI) di PP. Nurul Islam, Karangcempaka, Bluto, Sumenep. Buku antologi puisi tunggalnya berjudul Memori Juli (Vista, 2018) dan Mayang (Kali Pustaka, 2019).
Saya menyukai sastra dan karya karyanya