Halmahera, 1985
Sekelompok anak remaja itu tampak melarut dalam kegembiraan suasana Idhul Adha, mereka sibuk membakar sate kambing di halaman belakang rumah paling megah di kampung ini. Asap mulai mengepul, menebarkan bau harum dari bawah pohon jambu yang berdaun rindang dan berbuah lebat. Sehelai tikar dibentangkan, sebakul nasi, setumpuk piring besera sendok, dan satu kartun air vit disiapkan, bumbu kecap bercampur rempah-rempah juga telah ada. Dari arah pantai samar-samar terdengar gelombang kecil memecah. Air laut teduh, permukaannya jernih laksana kaca yang membentang, memantulkan cahaya. Ada lagi yang kurang?
Orin, tuan rumah itu tampak gelisah, berulang kali pandang matanya menatap ke arah pintu pagar, ia tengah menunggu seseorang, Betani. Siswi baru berkulit hitam manis, berambut ikal panjang melampaui bahu dengan lesung pipit yang mengesankan manakala gadis itu tersenyum. Betani bukan hanya manis, ia adalah siswi yang cerdas dan memiliki hati lembut bak agar-agar, perangainya halus, karena ia berasal dari keluarga terpelajar. Gadis itu berjanji akan datang untuk meramaikan suasana Idhul Adha di rumahnya setelah selesai kebaktian di gereja, ia seorang Nasrani yang taat dan mengutamakan kasih sayang dalam berpikir, bersikap, dan bertutur kata. Tentu, kehadiran Betani seakan bunga mekar yang segera mengharumkan suasana di kelasnya. Siswa mana yang tidak tertarik pada Betani?
Gadis itu lebih dekat dengan Orin, karena posisi Orin sebagai ketua kelas, mereka bersaing untuk meraih predikat ranking pertama dan kedua. Sementara Orin adalah bintang di lapangan sepak bola, ia pencetak gol dan pembawa kemenangan pada kesebelasan di sekolahnya. Kabarnya Orin adalah kandidat ketua OSIS pada tahun berikut, setelah ia duduk di kelas dua, menggantikan ketua OSIS lama yang akan mengakhiri masa tugas. Gadis-gadis menyingkir dengan kecewa ketika menyadari, bahwa Orin lebih tertarik kepada siswi baru dari pada kehadiran mereka. Akan tetapi, mereka tetap berkawan dengan kompak.
“Beta tahu, engkau pasti tengah menunggu siswi idaman bukan?”
Bakhtiar, sahabat dekat Orin mulai mengganggu, ia tahu isi hati tuan rumah atas kegelisahannya. Dari seluruh yang ditunggu, hanya Betani yang belum menampakkan batang hidungnya.
“Ia sudah berjanji untuk datang setelah pulang kebaktian, Betani tak pernah ingkar janji.”
Bakhtiar mengunyah sate dengan nikmat sambil tersenyum simpul, ia dan Orin sudah berkawan sejak kanak-kanak, mereka bertetangga, dan beribadah di dalam masjid yang sama. Satu hal yang membedakan adalah, bahwa Orin anak seorang saudagar kaya, sementara Bakhtiar hanya anak seorang petani dengan kekayaan sepetak kebun kelapa. Dan satu hal yang mengagumkan antara keduanya adalah persahabatan antara mereka teramat tulus tak melihat perbedaan status yang ada.
Kata-kata Bakhtiar membuat wajah Orin bersemu merah dadu, Orin berniat menjawab, akan tetapi tiba-tiba bayangan seorang gadis hitam manis berkelebat mendekat, dengan senyum yang menggores lesung pipi. Betani datang sesuai dengan janjinya, gadis itu mengenakan rok model klok berwarna coklat dengan blouse warna kuning bermotif kupu di bagian dada, rambutnya yang ikal terurai, dijepit pada sisi kiri kanan. Dan kalung salib dari emas putih itu berkilat-kilat, mengukuhkan keimanannya.
“Hai Orin, selamat Idhul Adha.”
Betani mengulurkan tangan. Orin menjabatnya, ia merasakan gumpalan lembut kapas terkulai di dalam genggamannya, dadanya bergetar. Degup jantung segera memberontak dari geraknya yang patuh, berubah menjadi deburan ombak lautan.
“Hai Betani, beta kira engkau tidak datang.”
Orin merasa kehangatan menjalari seluruh urat nadi, tiada hari yang lebih cerah kecuali Betani berada di dekatnya. Gadis itu memancarkan rasa damai pada sikap dan tutur katanya, tatapan matanya lembut, suaranya merdu seakan lantunan lagu nina bobo. Siapa pun pasti merasa seperti terbuai menuju alam mimpi manakala bercakap-cakap dengan gadis itu.
“Beta sudah kata mau datang, tapi selesai misa. Bagaimana? Sate sudah masak?”
Betani mengerling dengan nakal ke arah tikar yang dipenuhi hidangan, tiba-tiba perut gadis itu berkeruyuk, ia benar-benar merasa lapar. Bau harum dari sate kambing itu menggoda seleranya, ia ingin segera melahap sate itu dengan sekenyang-kenyangnya. Betani datang sebagai tamu, karena undangan dari Orin, ia melepaskan diri dari acara keluarga yang juga menerima undangan perayaan Idhul Adha dari famili dekat. Akan lebih asyik beramai-ramai bersama Orin dan teman-teman satu geng dari pada duduk kaku dalam acara ‘protokoler’ keluarga. Betani sadar Orin amat menyayanginya, pemuda itu tidaklah setampan Arnold yang suka merayu gadis-gadis dan dijuluki sebagai laki-laki mata keranjang. Akan tetapi Orin memiliki kemampuan memimpin, wibawa yang menyebabkan ia memiliki sebuah daya tarik dan kharisma. Apakah ia juga menyayangi Orin? Entahlah.
“O ya, beta punya hadiah khusus untuk engkau,” Orin mengulurkan sekeranjang kecil jambu biji yang ranum dan menggemaskan yang segera diterima Betani dengan jeritan kecil, karena suka cita.
“Baru, mana hadiah untuk beta?” Tian, teman karib Betani pura-pura menampakkan wajah kecewa, karena tak mendapatkan hadiah khusus dari tuan rumah.
Tian dan semua siswa tahu, betapa akrab hubungan juara pertama dan kedua itu. Akan tetapi, sedekat apa pun hubungan itu, mereka tak pernah menutup diri terhadap kehadiran siswa dan siswi yang lain. Maka jadilah kumpulan remaja itu sebuah geng yang hiruk-pikuk.
“O, ini bukan hanya hadiah buat beta, ini buat kita semua,” Betani menggigit sebutir jambu dan mengunyahnya dengan sangat bernapsu kemudian membagi-bagikan kepada rekan yang lain. Sekeranjang jambu biji itu pun segera habis tandas tanpa sisa.
Mereka semua ada sembilan orang, ada yang beraga Islam ada pula yang Nasrani. Perbedaan keyakinan itu telah disadari secara bersama-sama sejak mereka mulai kanak-kanak dan mengenal antara yang satu dengan yang lain. Sehingga mereka tak merasa adanya suatu keanehan. Ada kalanya dalam sebuah keluarga terjadi kawin campur, pihak laki-laki beragama Islam sedangkan pihak perempuan beragama Nasrani atau sebaliknya, pihak laki-laki beragama Nasrani sedangkan pihak perempuan beragama Islam. Salah satu pihak itu kemudian akan mengalah, membaurkan diri di dalam satu agama, sehingga sering terjadi, bahwa orang dapat memiliki fam sama dengan agama yang berbeda.
“Ayo, sekarang kita lahap habis sate sebelum dingin, baru kita orang pergi mandi-mandi di pantai, mumpung libur. Iya tho?” Santri, si juru masak mempersilakan semua ‘hadirin’ santap bersama.
Siswi itu memang mempunyai kegemaran memasak, badannya sedikit tambun, karena terlalu senang mencicipi aneka hidangan lezat. Santri disenangi teman-temannya, karena keahliannya, tiada kehadiran Santri tanpa acara masak memasak. Anak remaja mana yang tidak senang disuguhi hidangan lezat?
Maka sekelompok remaja itu segera lahap dengan bagian nasi sate masing-masing, angin lembut bergulir bagai hembusan napas sang bidadari. Sinar surya memudar, bergumpal-gumpal awan tanpa bentuk memadati langit, tetapi tak ada tanda bahwa hujan akan jatuh. Di tepian pantai pasir putih menghampar, seperti yang telah berlangsung hingga sepanjang waktu, gulungan ombak silih berganti berpacu, menjilati pesisir. Buihnya memecah menjadi gelembung kecil tanpa pernah berhenti.
“Bicara-bicara, tapi kapan kita mendayung ke pulau?” Bahtiar membuka pembicaraan, ia memang amat gemar mendayung. Sebulan lalu mereka pernah melewatkan hari Minggu di pulau seberang, membakar sagu dan ikan. Ah! Senangnya.
“Nanti saja setelah ujian semester, Minggu depan ada pertandingan sepak bola, kita lawan SMA dua, dan tidak boleh kalah!” Orin menjawab, tak ada yang lebih menggembirakan hati remaja itu, kecuali kemenangannya di lapangan hijau.
Ia pemain andalan, sementara sorak sorai dari rekan satu geng serta tepuk tangan Betani semakin memacu semangatnya. Orin pernah dipanggul beramai-ramai keliling lapangan sepak bola, karena ia berhasil mencetak tiga goal. Lawan kembali dengan lunglai, tanpa goal sama sekali. Siapa tidak bangga menjadi ‘pahlawan?’ Bukankah hidup harus dipacu dengan kebanggaan?
“Benar, kalau menang, kita pergi bakar sagu dan ikan di pulau.” Santri, sang juru masak menimpali.
“Kalau kalah, kita benamkan Orin ramai-ramai di lautan!” Betani berkomentar, ia tahu kata-katanya akan membuat pemuda itu marah. Kemarahan yang dibuat-buat, karena ia cuma bercanda.
“Boleh kamu orang benamkan beta ke dalam air, tetapi engkau Betani harus ikut serta,” Orin mendelik, ia tahu sedang dipermainkan. Jauh di dalam hati ia merasa demikian bahagia melihat senyum nakal Betani.
“Engkau tahu bagaimana rasanya terbenam di dalam air?” Orin bertanya.
“Beta belum pernah tenggelam.” Betani menjawab tenang, ia sungguh merasakan hidangan dan suasana yang nikmat hari ini.
“Rasanya seperti ini…”
Orin mendekat ke arah Betani.
“Coba tutup mulutmu!”
Betani menutup mulut, tak lama kemudian gadis itu megap-megap kehabisan napas, karena Orin memencet kedua lubang hidungnya. Ia bahkan terlupa untuk membuka mulutnya, karena merasa panik. Ekspresi wajah Betani yang gugup seketika membuat tawa meledak, maka riuh rendahlah suasana di bawah pohon jambu itu. Tak lama kemudian ketika dengan terpingkal-pingkal Orin melepaskan pencetan tangannya, Betani tampak seperti orang pandir. Akan tetapi kepandiran itu tak berlangsung lama, karena ia sadar Orin telah membayar ejekannya.
“Oriiiiin…. beta bisa mati!!”
Betani bermaksud mencubit Orin, tetapi dengan gesit pemuda itu menghindar, senyumnya masih jenaka. Betani sungguh merasa gemas, ia segera mengejar Orin, tetapi siapa bisa menangkap sang pemain sepak bola andalan? Semakin Betani mengejar, semakin gesit Orin menghindar.
Mereka berkejaran di seputar halaman dengan sorak sorai dari anggota kawan-kawan yang lain. Kedua orang tua Orin terkejut mendengar suara hiruk-pikuk di halaman belakang rumah, tergopoh-gopoh keduanya berjalan ke halaman belakang untuk melihat apa yang tengah terjadi. Ketika melihat Betani mengejar Orin berputar-putar di sekeliling halaman dengan disoraki oleh rekan-rekannya. Kedua orang itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Oh anak muda, mereka hanya dapat merasakan senang, mereka belum menyadari rumitnya hidup, atau memang belum saatnya mereka tahu.
Suatu saat mereka akan mengerti….
Bersambung, klik di sini https://mbludus.com/selendang-pelangi-bagian-2/