Orin terus berlari ia kehabisan tempat untuk menghindar, akhirnya ia pun menghambur ke arah pantai, dengan kalap Betani terus mengejar. Rekan-rekan yang lain segera meletakkan piring mengikuti arah kejar mengejar itu.
“Ayo kejar! Ayo kejar! Tangkap dia!”
“Ha… ha… ha…!”
Betani mendengar sorak-sorai itu, diam-diam ia mulai merasa lelah, napasnya memburu. Orin telah berubah menjadi bayang-bayang jauh di depan seakan menyatu dengan kabut air, tak mungkin ia dapat menangkap ‘anak bengal’ itu, ia pun terduduk lunglai di atas pasir, kakinya mulai dijilati lidah ombak. Tak lama kemudian Bahtiar, Tian, Santri, Vera, Robert, Gini, dan Elmo bergabung. Mereka telah bersiap mandi-mandi bersama ombak, Betani masih terduduk mengatur napas. Ia benar-benar merasa gemas.
“Engkau tahu bagaimana rasanya tenggelam di lautan?” tiba-tiba Orin telah berada di dekatnya, dengan cekatan pemuda itu telah menggenggam pergelangan tangan Betani. Gadis itu benar tak berdaya ketika Orin telah menariknya di antara gulungan ombak. Tak berapa lama keduanya telah basah kuyup, sementara ombak bergelombang silih berganti.
“Oriiiin….!! engkau kelewatan!” Betani menjerit-jerit, di pihak lain Orin terbahak-bahak.
Suara itu menyatu bersama angin laut dan gelak tawa dari teman-teman yang lain, Betani menyerah, ia kehabisan tenaga, ia menyesal telah mengejek Orin dan kini harus membayarnya dengan mahal. Apa boleh buat? Iapun telah terlanjur basah, ia segera menghambur-hamburkan air laut dengan kedua tangannya ke arah Orin. Pemuda itu tak mau kalah, ia pun membalasnya.
“Tian bantu aku!” Betani menjerit meminta bantuan.
Tian mengambil langkah, ia segera membantu Betani menyemburkan air ke arah Orin hingga pemuda itu menjadi kewalahan dikeroyok dua orang gadis. “Sudah, sudah…. beta menyerah….” Orin menjauh, ia merasa telah cukup “mempermainkan” Betani, sekarang adalah saat bersuka cita, berenang mengejar ombak.
Tak lama kemudian Orin datang kembali menjelang Betani, “Sekarang kita damai…. damai….”
Maka suasana pun kembali damai, air laut bergelombang menimbulkan rasa cemas sekaligus kegembiaraan, camar-camar terbang rendah, matahari bersembunyi di balik sekalian awan, angin segar seakan berhembus dari suatu tempat yang penuh ditaburi bunga-bunga. Sekelompok remaja itu asyik bermain dengan air, Orin tak pernah jauh dari Betani, ia tahu gadis itu tak pandai berenang. Pasti ia tak akan pernah membiarkan Betani tenggelam.
Baik Orin maupun Betani tak menyadari, ada sepasang mata yang selalu mengawasi sikap keduanya dengan bermacam rasa berbaur menjadi satu, membersitkan sebuah kesadaran sekaligus menyakiti. Tian senang bergabung bersama rekan-rekan sekelas, ia pun menyayangi Betani, tetapi hati gadis itu tersayat ketika menyadari Orin mengistimewakan Betani lebih dari siapapun. Tian tahu, ia kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Orin, mestinya ia merasa benci, tetapi aneh ia tak pernah merasa berat bergabung bersama mereka. Kebencian itu bahkan tak pernah singgah di hatinya, ia cukup merasa terhibur pernah mengenal orang seperti Orin dan Betani. Keduanya adalah jawara kelas yang memang layak dibanggakan dan bukankah perjalanan hidup ini masih sangat panjang?
Entah berapa lama anak-anak remaja itu bersuka ria, berbasah-basah di dalam air sampai akhirnya mereka merasa lelah dan lapar. Dengan pakaian basah kuyup mereka berjalan beriringan menyusuri pasir putih, diselimuti angin laut, di atas sinar matahari masih terhalang gumpalan awan. Di kejauhan tampak gugusan pulau menghijau segar seakan untaian batu zamrud berserakan.
Mereka menghabiskan hidangan yang tersisa sambil memetik jambu air sebagai hidangan penutup. Perlahan-lahan pakaian yang basah mulai mengering diterpa angin, Orin tak pernah berhenti mencuri pandang ke arah Betani. Gadis itu semakin diliputi daya tarik dalam keadaan basah, ia demikian bernapsu mengunyah jambu biji tanpa rikuh. Betani memiliki pesona alamiah. Betani bukan tidak tahu Orin selalu memberikan perhatian istimewa, ia menyadari, dan entah mengapa ia merasa gembira. Sekilas Betani dapat menangkap tatap kecemburuan dari sepasang mata Tian, tetapi ia tak berpikir jauh. Ia masih terlalu kanak-kanak untuk berpikir tentang cemburu.
“O ya, minggu depan ada ibadah syukur rumah baru. Beta harap kedatangannya, yang beragama Nasrani bisa ikut beribadah, yang muslim datang saja,” Betani mengundang rekan-rekannya. Sudah menjadi rituil di tempat ini untuk mengadakan ibadah sekaligus mengundang handai tolan, meski mereka beragama lain. Ibadah syukur selalu ditutup dengan acara makan bersama yang melambangkan kebersamaan.
“Baik, beta pasti datang,” Orin langsung menjawab, siapa yang akan melewatkan acara makan-makan di kediaman gadis pujaannya.
“Beta juga yang lain menjawab.”
Jawaban itu memciptakan lesung pada sepasang pipi Betani. Ia adalah seorang siswi baru pindahan dari Ternate, sebuah kota bertanah subur yang berada tepat di kaki gunung Gamalama. Ia terbiasa dimanja beraneka hasil alam serta laut yang biru dengan bukit-bukit karang menjulang. Ia tercabut dari tempat kelahirannya menuju kota yang lebih kecil di Pulau Halmahera, ia harus menumpang speed boat selama setengah jam kemudian melanjutkan perjalanan dari Sidang Oli dengan menggunakan kendaraan darat dalam tempo delapan jam, melewati dusun-dusun kecil, hamparan kebun kelapa serta rimbun belantara tempat Suku Tugutil tinggal. Fasilitas di kota ini sangat terbatas bila dibandingkan dengan Ternate, ia pasti akan tersedu-sedu merindukan Ternate seandainya tidak memiliki sahabat yang menghiburnya sepanjang waktu. Kehadiran seorang sahabat pasti sebagai pertanda, ia telah diterima dan menerima pula kehadiran orang lain di dalam lingkungan pergaulan. Hal itu berarti bahwa ia telah menjadi bagian syah pada komunitasnya yang baru, dengan kehangatan sikap Orin di dalamnya.
Mereka masih bercengkerama hingga senja hari, ketika tiba saat berpisah ada yang terasa berat di hati Orin. Ia ingin secepatnya datang esok pagi supaya dapat bertemu dengan Betani kembali di sekolah, melewatkan saat-saat yang mengesankan dan mendebarkan. Orin tak cukup cermat mensikapi Tian, ia memang tak perlu bersikap cermat dalam hal ini, terlalu banyak gadis yang tergila-gila, tetapi ia hanya mengingat Betani. Sementara Tian meninggalkan kediaman Orin dengan berbagai perasaan berkecamuk, sungguh tak nyaman menjadi tersisih dari harapan yang membumbung tinggi. Akan tetapi Tian berkeyakinan, ia memiliki cukup banyak waktu.