Dunia wayang, tidak sekadar cerita yang hanya dibaca atau ditonton. Tetapi, memiliki ‘ruh’ untuk menggerakan pikiran, perasaan sehingga mereka yang mendalami dunia wayang seolah merasakan hidup pada kenyataan, bukan menyaksikan suatu fiksi. Itulah yang bisa saja melahirkan puisi-puisi kali ini. Setiap larik yang dibaca menghembuskan peristiwa-peristiwa pewayangan dengan kekuatan falsafah. Sehingga membacanya seperti menyelam pada fakta-fakta fiksi atau fiksi-fiksi yang fakta. Ya, selamat membaca. (redaksi).

Rapsodi Cinta Rahwana

Bila kusebut namamu dalam sepi, Shinta
muram langit malam yang naungi masygul rindu
selegam dendam, sebentar tersirap, dan lalu
aku terkesiap melihat malaikat-malaikat bersayap,
turun memetikkan senar kecapi bagiku;
menjamasi gelap dadaku yang sesak
dihitam-kutukkan oleh bayangmu.

Kuingat, pada malang nasib Jathayu,
terpaksa musti kupatahkan sepasang sayapnya,
pun Wanara Seta yang telah kubakar gelepar ekornya,
Dosakah bila kuperjuangkan harkat-martabatku
yang seluruhnya telah jatuh dalam jeluk-matamu?
Bahkan, Kekasih, bila tersebab mencintamu,
dunia ini lantas mengutukku,
akan kutanggung segala pedih-perih
yang dicambukkan para dewa pada punggungku.

Di Taman Argasoka, tak pernah jemu
kuhaturkan legit gelegak nira yang mengelopak
dari mayang kasmaranku, untukmu.
Bunga kapu-kapu menyisih ke tubir kolam,
dan ikan-ikan nila merontokkan seluruh sisiknya.
Udara seperti henti sejenak dari riuh orkestra katak,
Bukankah sebenarnya, mereka gentar lantaran
mendengar denyar cinta yang maha besar ini, Shinta?
Kau, wangi bunga seruni yang mekar di bibirku,
yang lekat di hidungku, yang membayang di mataku,
yang menyelinap di sela jari-jemariku.

Sebuah puri dengan dampar kencana,
telah megah berdiri di puncak batinku, Shinta.
Setiap dindingnya diukir bunga aneka rupa,
setiap pilarnya dikelir emas, ditatah berlian dan permata.
Di sanalah kita akan tinggal berdua memadu kasih,
menukar debar dan menakar sedih.
Walau kutahu, hatimu semasih tabah tiang-tiang dermaga
menanti galiung yang mengangkut Rama
berikutserta bala tentaranya itu tiba,
menyangkurkan sauh kapalnya,
padamu hatiku telah jelma bentang-luas segara,
yang tak ‘kan henti menjerit-lantangkan debar-deburnya.

(2021)

Kemasygulan Di Dada Sugriwa

Ia mendongakkan wajahnya ke angkasa,
menakar nyala cahaya, mengukur tinggi matahari
sudah berapa penggalah demi melerai debar gelisah.
Ia melongok ke dalam mulut Gua Kiskenda,
dan memandang ke sepasang mata Dewi Tara,
lalu teringat pesan Subali, kakangnya
yang sedang di ambang hidup dan mati.

“Jika darah yang mengalir berwarna merah, itu berari
kemenangan telah kuraih dalam genggaman. Tetapi,
jika darah itu putih, pulang dan kenanglah aku sebagai pahlawan!”

Di hadapannya, rumput-rumput benggala dan semak-semak perdu,
bergoyang searah lenguh angin, seolah merayu
tugur batin agar tergelecik ke lumpur ingin.

Lalu ia lihat, darah merah dan putih berkelindan
mengalir dari dalam gua, membasahi kesedihan
yang meriap di helai bulu-bulunya.
“Kukenang kau sebagai pahlawan, Subali!”
ucapnya menabik takzim, sebelum ia tutup mulut goa
yang telah menelan jasad saudaranya.

Bersama Dewi Tara, ia pergi meninggalkan Kiskenda
yang terbengkalai, menanggalkan kesedihannya yang belum usai.
Hatinya yang masygul berfirasat, “Kisah ini belumlah tamat!”

(2020)

Nyala Api Di Mata Subali

Di punggung sebongkah batu, di gelap singup
lambung gua itu, dengan napas yang satu-satu,
ia duduk menikmati kemenangannya yang melelahkan.
Di hadapannya, dua bangkai denawa telah tergolek tak bernyawa.
Terbelah kepalanya ia adu kumba, pecah persis cangkang biji kenari.

Ia lantas beranjak, bergegas, berlari menuju pintu keluar,
dengan mata berbinar. Lelah di tubuh seolah luruh,
manakala ia bayangkan di luar, sepasang lengan yang menunggu
terentang lebar, dan seulas senyum bangga terpancar dari bibir Sugriwa.

Tetapi, binar mata itu seketika mati, berganti dengan nyala api
yang meletup-letup di mata Subali, ketika ia dapati, sebongkah batu besar,
telah menutup pintu keluar. “Kubunuh kau Sugriwa!” pekiknya meradang.
Dan sebongkang batu palang, hancur dalam seayun tendang.

Tebing-tebing hening, daun-daun jeruju tampak mengkuyu,
juga ilalang dan semak-semak perdu. Udara seolah berhenti,
lantaran ngeri menyaksikan lidah api berjilatan di mata Subali.
Ia lantas melesat pergi, setelah ia saksikan di sekeliling Kiskenda,
tak ia temukan sesiapa, tidak Sugriwa maupun Dewi Tara.

Dan, Sugriwa tercekat, melihat kakangnya masih berdiri
bergas di hadapannya. Air matanya berderai,
ia berhambur merengkuh tubuh Subali — saudara yang ia cintai.
Betapa Sugriwa tak tahu, sunggu tak tahu, kakangnya sudah sedingin batu
— yang siap melindih dirinya yang lugu.

(2020)

Lelaki Yang Menggugat Ibu Kunthi

Apakah aku pantas dilahirkan, Ibu?
Aku lahir sebab kesemberonoanmu
merapal mantera, hingga Sang Dewa Surya
terpaksa menitikkan cahaya ke dalam rahimmu.
Kendati aku jejuluk Putra Surya,
aku bukanlah cinta yang berbuah dari sebatang lingga
lelaki yang kau cintai, menancap di pusat kamamu yang suci
— lain dengan Puntadewa, Bratasena, atau Premadi.

Kunthi hanya berderai airmata.
Penyesalan begitu sukar dibahasakan lewat kata-kata.
Ia seolah tak lagi mengenali Karna.
(dan ia memang tak pernah mengenalinya)
Ketika ia tatap kedua bola matanya
sebuah api menyala, memercikkan bara-bara kebencian
yang menyabot tebing-tebing perasaan.

Mengapa kau menangis, Ibu?
Bukankah dahulu kau merasa malu mengandungku?
Di sungai Gangga, kaularung aku, Karna:
seorang bayi manusia yang sama sekali
belum terjamah lumpur dosa, juga belum mengenal apa-apa
selain hanya kedamaian telaga yang lengang di bola mata ibunya.
Tetapi mengapa justru kau buang aku?
Seolah, aku adalah takdir yang ingin kau anulir,
dan melahirkanku adalah sebuah dosa
yang muhal diampuni dewa bathara dan seluruh jagad raya.

Dan Kunthi, hanya berderai air mata.
Kalimat demi kalimat itu, seperti ratusan batu
tajam yang dilempar tuk merajam penyesalannya yang lugu,
serupa jutaan pasukan lebah yang siap menyengat
batinnya yang hampir di ujung sekarat.

Aku pamit, Ibu. Esok, di palagan Kurusetra,
kami, putra-putramu akan saling tikam,
baku ayun pedang dan gendhewa, demi membuktikan
siapa di antara kami yang sejatinya kesatria.
Usah kau cegah langkah yang kupilih.
Aku bukan Pandhawa, juga mungkin bukan Kurawa.
Namun, kau harus tahu, Hastinapura, dan seluruh Kadhang Kurawa
adalah sepasang lengan yang menyelematkanku,
yang membuatku kembali percaya, bahwa
hangat peluk cinta itu masihlah ada.

Dan Kunthi hanya tersedu, melihat Karna
begitu saja berlalu, lesap dari pelupuk matanya.
Sesal telah telah menjadikannya seorang Ibu yang terbuang,
dilarung oleh kebencian putranya, dan hanyut ke sungai dosa.

(2021)

Yohan Fikri M, lahir di Ponorogo, November 1998. Mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama, antara lain: Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2020 (2020) Perjamuan Perempuan Tanah Garam (2020), dan Yang Tersisa dari Surabaya (2020). Menjuarai berbagai kompetisi menulis puisi: Juara 1 Lomba Cipta Puisi Nasional 2020 Jagat Kreasi Mahasiswa, Universitas Negeri Malang, Juara 2 Lomba Cipta Puisi Asia Tenggara, Pekan Bahasa dan Sastra 2020, Universitas Sebelas Maret, dan Juara 1 Lomba Menulis Puisi Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang. Bukunya yang bakal terbit bertajuk “Tanbihat Sebuah Perjalanan.” Dapat disapa melalui akun instagramnya @yohan_fvckry.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *