Di suatu siang yang terik, duduklah seorang anak di dalam bayang-bayang pohon kecapi: jemarinya menggenggam kertas dan sebatang pena. Di depannya terdapat sungai yang mengalir jernih; sesekali ikan menyembul, lalu tenggelam, kemudian melompat dan terjun lagi ke dalam. Orang-orang menyebut sungai itu Dermawan, dan memanggil si bocah dengan nama Sambara. Semalam, lelaki itu bermimpi didatangi seekor ikan bawal, tubuhnya sebesar pohon kecapi itu. Matanya menumpahkan air mata keruh yang beraroma sampah. Ia berteriak minta tolong pada anak itu, mengatakan bahwa seseorang akan membunuhnya dan menghancurkan lingkungan desanya.

“Gambarlah aku! Berikan pada orang bertudung hitam itu,” pinta Si Ikan. Di kulitnya yang abu-abu terpancar api berkobaran. Bola matanya terus mengalirkan cairan hitam nan kental.

“Apa aku bisa melakukannya?” tanya Sambara.

“Namamu Sambara! Kau adalah sang pembela kebenaran!” celetuk Si Ikan.

Sambara tersentak, dalam hatinya bertanya, “Bagaimana ia tahu?” Anak itu mengamati keadaan di sekitar: hanya tempat yang gelap. Bau busuk Ikan Bawal pun terus menyiksa rongga hidungnya.

“Kau heran? Bahkan aku juga tahu nama sungai di samping rumahmu. Pikirkan nasib warga jika sungai itu tercemar nantinya!” ujar Si Ikan, “sekawanan kami akan muntah, dan airnya membanjiri desa di musim penghujan.” Nyala api di tubuh ikan semakin besar dan hanya itulah cahaya di sana.

“Ajaib sekali! Ikan Bawal tahu banyak hal, dan api itu… oh, tidak! Mengapa ia tak padam meskipun di dalam perairan?” Sambara penasaran, “bagaimana kalau orang itu membunuhku?” tanya Sambara ragu.

“Lihatlah api ini, Sambara! Gas di dalam tubuhku sangat besar. Aku yang akan memberinya pelajaran,” tukas Ikan Bawal mantap.

Sambara menarik oksigen dalam-dalam dan mengeluarkan karbon dioksida pelahan. “Baiklah, akan kucoba. Kau bisa dipercaya kan, Ikan?”

“Hanya kau yang bisa membantuku! Kita harus menyelamatkan desa ini, Sambara!” ucap Ikan Bawal tegas, kemudian dalam sekejap tiba-tiba lenyap dari pandangannya. Sambara menoleh ke kanan-kiri mencari sosok makhluk aneh tadi. Tapi hanya suara ikan itu  yang menggema, “ingat Sambara! Kau harus menggambar wajahku dengan benar!” seru Ikan Bawal untuk yang terakhir kali, sebelum akhirnya anak itu kembali ke dunia nyatanya lagi.

Dan di sanalah Sambara sekarang—di tepi Sungai Dermawan—sedang mengingat-ingat wujud Si Ikan Bawal. Pertama kali ia menggambar lingkaran sebagai kepala. Kemudian, ia membuat badan dengan ujung yang kerucut, dan di ujung tersebut ditambahkan ekor yang lancip. Ia juga membuat sisik di sepanjang badan dan sirip di sebelah kanan-kiri tubuh ikan. Setelah itu Sambara menggambar insang berupa tiga garis lengkung, kemudian menambahkan mata dan lubang hidung yang cukup besar. Tapi begitu sampai di bagian mulut, ia lupa seperti apa bentuknya. Tangannya selalu mencoba berbagai bentuk, namun tak berhasil, dan terus mencoba dan dihapus lagi.

“Bagaimana ini?” Ia kesal. Ditatapnya air sungai dengan tajam. Bayangan pohon jambu, kecapi, dan bambu mengapung di sana. Kicauan burung cekakak yang hinggap di dahan pohon terdengar, kupu-kupu bersayap kuning keemasan beterbangan mengelilinginya.

Sambara melihat gemercik air yang jatuh di sudut sungai; ia pun jadi teringat saat mandi di sana bersama ketiga kawannya. Di antara bebatuan besar, beberapa ibu biasanya mencuci pakaian dan saling berbincang dengan sukacita. Kemudian ketika sore hari, ia bisa melihat pemuda-pemuda atau bapak-bapak memancing di sepanjang tepian sungai.

“Kalau tak ada ikan di sini, mungkin aku akan kekurangan gizi,” gumam Sambara. Semenjak Ayahnya meninggal tujuh tahun lalu, Ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Ia menyulap beragam tanaman di kebunnya menjadi makanan: dijualnya ke pasar setiap hari, atau, sesekali ada tetangga yang memesan. Kadangkala, Si Ibu membuat keripik bayam di musim penghujan. Tanaman itu suka berkerumun di atas tanah berhumus itu. Ia juga mengolah buah dan umbi-umbian menjadi cemilan yang menggugah selera. Perempuan itu jarang mengeluh; hari-harinya diliputi senyum dan membuat lelaki itu tumbuh menjadi anak yang patuh.

Sambara merenungkan pengaruh sungai tersebut, betapa banyak warga yang menggantungkan kehidupan padanya. Angin berdesir seketika, bocah itu bisa menghirup udara segar. Gelembung-gelembung air tiba-tiba bermunculan di permukaan sungai. Ia berpikir itu adalah gerakan ikan, dan mereka pasti juga berbahagia tinggal di perairan itu.

“Sambara!” Kali ini suara Ibunya memanggil dari arah rumah. Lelaki itu pun menoleh. Terlihat wajah perempuan yang rambutnya digelung melambai kepadanya.

“Iya, Bu!” jawabnya dengan suara yang tak sekeras perempuan itu.

“Tolong antarkan pesanan Pak Kades!”

“Huuh! Gambaranku belum selesai,” keluhnya pelan.

“Sambara!” Si Ibu berteriak lagi.

Anak itu tak pernah menolak permintaan Ibunya. Dengan terpaksa ia beranjak dari sungai lalu menghampiri perempuan itu. Sesampai di rumah, ia menyimpan gambar tadi di meja belajar. Tangannya lantas mengangkat tiga kardus dan sekantong plastik, masing-masing berisi ikan bakar dan keripik pisang. Ia mengayuh sepeda dengan semangat; melintasi jembatan; menindas kerikil-kerikil; menggilas tanah berpasir dan jalan setapak yang membelah persawahan. Namun ketika tiba di hamparan luas yang hijau itu, tiba-tiba ban sepedanya bocor.

“Waduh!” Sambara menuruni sepeda, “makanan ini harus segera disajikan, bagaimana ini?” Dipandangnya keadaan sekitar: tanpa sengaja ia menjumpai beberapa orang asing. Mereka mengelilingi sawah dengan ponsel di genggaman, dan salah satu di antaranya mengenakan tudung hitam. Ia pun terkejut.

“Apakah orang itu yang dimaksud Ikan Bawal?” Sambara mengamati mereka. Lelaki bertudung itu tampak galak dengan kumis tebal dan pakaian serba hitam. “Oh, tidak! Sepertinya memang itu orangnya.”

Keringat mulai bercucuran di kepala Sambara, sementara rumah Pak Kades masih sangat jauh. “Jangan-jangan merekalah tamu Pak Kades. Tapi mau apa mereka ke tempat ini?” Sambara pura-pura memperbaiki sepeda, lalu mendengarkan pembicaraan mereka.

Si Tudung Hitam itu sedang menelepon seseorang. Ia menyebut kata ‘perusahaan’ dan tertawa terbahak-bahak, sementara orang lainnya tampak sedang mengukur sawah. Sambara pun mulai paham, mereka akan mendirikan perusahaan di sana. Ia mencari cara agar bisa cepat pulang.

“Lebih baik terlambat mengantar pesanan daripada terlambat menyerahkan gambar. Tapi, bagaimana dengan sepedaku?” Bocah itu berpikir keras. Wajahnya semakin basah dengan peluh. Jantungnya berdebar kencang.

Di seberang sana, ia melihat sesosok bapak sedang berteduh di dalam gubuk. Ia pun berniat menitipkan sepeda kepadanya. Dan beruntunglah Sambara, karena Si Bapak mengizinkan. Sambara langsung berlarian pulang dengan napas terengah-engah. “Kuharap makanan ini baik-baik saja.”

Sampai di persimpangan jalan, ada seorang kakek dengan kendaraan roda dua tiba-tiba datang menyapanya. Ia berhenti tepat di samping Sambara.

“Mau ke mana kau, Nak?” tanya lelaki berusia tujuh puluhan itu. Sambara kaget menatap muka Si Kakek, dilihatnya sepeda motor yang juga sama tua dengan pengemudinya.

“Ayo kuantar! Atau … bawaanmu akan berantakan jika kau berlarian.” Wajah Ibu Sambara pun berkelebat. Senyumnya hilang karena masakan itu awut-awutan. Mendadak hati anak itu gusar. Tanpa berpikir panjang, ia pun menerima ajakan Kakek itu.

“Apa kau mau di depan?” tawar Si Kakek.

“Saya terbiasa mengayuh sepeda, Kek! Bocah seperti saya naik kendaraan, yang ada malah tercebur parit nanti!”

“Ha ha ha! Kau ada-ada saja! Baiklah, kalau begitu duduklah di belakangku! Tapi, siapa namamu?”

“Sambara.”

“Oh, Sambara. Kau mau ke mana?”

“Ke tepian Sungai Dermawan … rumah saya di sana. Sepeda saya bocor dan saya titipkan ke gubuk orang.”

“Oh, begitu! Ayo naik sekarang!” Sambara pun bergegas naik, ditaruhnya kardus dan plastik itu di tengah-tengah. Namun ketika Kakek itu mau menghidupkan motor, rupanya mesin tidak bisa menyala. “Yah, mogok lagi!”

“Kenapa, Kek?” tanya Sambara.

“Biasa, minta digenjot! Kau turun dulu ya?”

“Baiklah,” ucap Sambara. Si Kakek pun juga turun. Kemudian mulutnya berkomat-kamit, lalu kakinya mencoba menggenjot empedal. Dalam sekali tarikan, sepeda motor itu langsung berbunyi. Si Kakek menyapu wajah dengan kedua tangan dan Sambara memerhatikannya.

“Sekarang sudah nyala, ayo naik!” Anak itu mengikuti perintah Si Kakek. Di sepanjang jalan, Sambara bertanya-tanya tentang sosok lelaki di depannya. Di usia yang renta, Kakek itu masih berani mengendarai sepeda motor. Sambara pun melihat caping yang dipakai Si Kakek.

“Apa Kakek habis dari sawah?” tanya Sambara.

“Iya, Nak,” jawabnya, “apa lagi yang bisa kulakukan? Anak-anakku tak ada yang mau ke lumpur bersamaku. Sampai generasi ini habis, mungkin tak ada lagi yang mau jadi petani. Kau lihat kan, tadi? Orang-orang asing itu akan menjadikan tanah kita menjadi pabrik besar. Setiap hari asap dan limbah bertebaran di mana-mana.”

Sambara terenyuh mendengar pernyataan Kakek itu. “Barangkali perasaan Si Kakek lebih kusut dibanding keriput kulitnya. Jikalau lahan pertanian benar-benar habis dan tak ada lagi yang mau bercocok tanam, bagaimana manusia bisa makan? Apa mereka mau menelan uang?” Anak berumur empat belas itu mencoba memikirkan masa depan.

“Kakek, apa menurutmu tanah bisa menangis?”

“Menangis? Ia bahkan bisa mengamuk! Ha ha ha!”

“Sungguh? Lalu apa yang terjadi?”

“Mungkin … mereka akan menimbun orang yang telah merusaknya. Ha ha ha!” Kakek itu terus tertawa. Giginya yang tanggal dua tampak kekuning-kuningan. Sementara bara api mulai tersulut di hati Sambara, seperti kilatan di dalam tubuh Ikan Bawal.

“Perbuatan orang-orang tadi harus dihentikan,” kata Sambara lirih.

Tak terasa mereka pun tiba di rumah Sambara. Ia mengucapkan terima kasih pada Si Kakek. Selepas Kakek itu pergi, Sambara tergopoh-gopoh masuk mengambil kertas gambarnya. Ia merasa beruntung karena Ibunya sedang tak ada—mungkin jika ada—perempuan itu akan menghujani pertanyaan kenapa pesanan belum diantarkan.

Sambara kembali berpikir keras. Tangannya gemetar, detak jantungnya terasa lebih cepat dibanding detik jarum jam. Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat mulut ikan semalam, namun yang tampak malah wajah Kakek tadi. Tepat di saat Kakek berkomat-kamit seperti mengucapkan sesuatu. Sambara berpikir lagi hingga akhirnya ia menyadari sesuatu. “Oh, mungkinkah aku harus berdoa seperti Kakek itu? Barangkali aku perlu mencobanya.”

Anak itu kemudian meniru Kakek tadi. Bibirnya bergerak-gerak melafazkan sesuatu. Tanpa diduga, tiba-tiba bayangan huruf ‘B’ menghampiri benaknya. Ia jadi teringat jika mulut si ikan persis seperti itu. Dengan cekatan, ia menyelesaikan gambarnya, lalu bergegas mengantar pesanan.

Langit mulai gelap, angin berembus kencang: seakan-akan menerbangkan kaki Sambara untuk sampai di tujuan dengan cepat. Gayung pun bersambut, orang yang dicarinya sedang berada di depan rumah Pak Kades.

“Permisi, Tuan.” Sambara melangkah ke arah orang bertudung hitam itu.

“Siapa kau?” Si Tudung Hitam melotot, kumis tebalnya naik-turun.

“Saya sedang mencari kawan saya.”

“Kawan? Anak ingusan hanya berkawan dengan ingusan. Kau salah tempat!” gertak Si Tudung Hitam.

“Tapi, saya juga ingin mengantar pesanan Pak Kades, Tuan.” Sambara menunjukkan barang bawaannya. Orang itu terdiam. Tanpa menunggu lama, Sambara pun beraksi. Diperlihatkannya lukisan tadi tepat di depan wajah Si Tudung Hitam, “apa Tuan tadi melihat teman saya ini?”

Mendadak muka Si Tudung Hitam panas. “Apa-apaan ini! Lancang sekali kau!” Si tudung hitam mendorong Sambara, tubuhnya merangsek ke semak-semak bersama kertas gambarnya. “Tangkap anak itu! Pukul! Ia berusaha mencelakaiku!” Ketiga anak buahnya  berbondong-bondong menarik tubuh Sambara.

Buuuk! Buuuk! Buuuk!

Darah segar muncrat dari hidung Sambara. “Habisi ia!”

Buuuk! Buuuk! Dhuaak!

Tubuh anak itu menghantam tiang rumah. Ia sempoyongan. Dalam setengah sadar, ia kembali mengingat Si Kakek merapalkan doa, dan Sambara pun mengikutinya. Tiba-tiba … Buuus! Kertas di tangan Sambara terbang, berputar-putar mengelilingi Si Tudung Hitam dan ketiga anak buahnya. Gambar tadi menyemburkan api yang besar dan mengepung keempat orang itu.

Pak Kades dan beberapa orang pun berdatangan, mereka terheran-heran menyaksikan pemandangan di hadapannya. Keempat orang tadi kebingungan. Api semakin tinggi dan siap melahap tubuh mereka. “Tolong! Ampuni kami! Tolooong!” rintihnya, “akan kuberikan semua permintaanmu! Sekarung emas? Uang? Katakaaan!”

Sambara mengerahkan seluruh kekuatan, berdiri tegak dan berbicara lantang, “Pergi dari sini! Jangan rusak desa kami!”

Mereka tercengang; sementara sebagai seorang pemimpin, Pak Kades hanya bergeming. Seolah memberi isyarat jika ia tak bisa berbuat apa-apa. Si Tudung Hitam pun akhirnya menyetujui permintaan Sambara. Bagi orang bertudung itu, keselamatannya lebih penting dibanding kekayaan yang akan diraupnya. Seketika angin bergulung-gulung datang memadamkan api dan membumbungkan kertas tadi. Kertas melayang-layang di udara dan jatuh ke dalam sungai. Menyadari kekalahannya, orang asing itu pun bergegas meninggalkan desa. Mereka berjanji tak akan mengganggu warga lagi.

Dari kejauhan, sebuah cahaya bersinar dari Sungai Dermawan, merambat lurus ke atas menembus angkasa. Awan bergumpal-gumpal membentuk bayangan Ikan Bawal. Sambara tersenyum. Ia berterima kasih pada Si Ikan dan Sang Pencipta alam semesta. (*)

Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah dan pernah meraih juara 1 Lomba Karya Jurnalistik PKK tahun 2020 tingkat Provinsi Jawa Tengah.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *