
Masum Alfikri
Mahasiswa Institute Studi Islam Fahmina
Di tengah menyengatnya hawa dingin tengah malam sembari menyusuri makam yang berada di samping kiri dan kanan, terbesit di pikiran tanda tanya yang cukup besar. “Bagaimana bisa banyak tempat yang konon katanya akan menjadi rumah terakhir bagi manusia menjadi sebuah desa, bernama Astana.
Semakin jauh melangkah semakin berhamburan pertanyaan mengerubungi isi kepala. Semakin banyaknya pertanyaan yang muncul nampak semakin jelas pula desa yang sekarang memiliki nama desa Astana.
Di tepi pelabuhan Muara Jati, perahu berisikan barang dagangan yang berasal dari berbagai negara nampak berlalu lalang dan hendak bersandar. Para pedagang terlihat saling bertukar cerita dan saling lempar tawar-menawar, tidak terlihat tembok tinggi di antara mereka. Hangatnya kondisi sosial tersebut tentunya bukan tanpa alasan, kondisi tersebut tercipta karena penguasa negeri pada saat itu Ki Gede Surasijaga dan syahbandarnya Ki Gede Tapa atau Ki Jujunan Jati bersikap toleran terhadap setiap pedagang yang singgah di wilayah kekuasaannya.
Para pedagang asing setiap hari, setiap tahun saling berdatangan, hingga pada akhirnya datanglah seseorang yang akan menjadi salah satu orang yang sangat penting di Cirebon. Hingga pada akhirnya rombongan pedagang dari negeri Timur Tengah yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi menyandarkan perahunya di tepi pelabuhan Muara Jati. Mereka memohon untuk diperkenankan mendirikan atap rumah dan menetap di sekitar perkampungan Muara Jati dengan dalih untuk memangkas jarak ke pasar di Kampung Pasambangan di sekitar Gunung Jati untuk memperlancar perdagangan.
“Wahai tuan, izinkan kami untuk mendirikan atap sementara di dekat pelabuhan Muara Jati, agar kami lebih cepat sampai ke pasar!”
Ki Surawijaya pun mengiyakan permohonan dari rombongan Syekh Idlofi Mahdi itu dan diizinkan tinggal di Kampung Pasambangan.
“Silakan, silakan buatlah tempat tinggal senyaman mungkin untuk kalian tinggali.”
Di samping berdagang mereka mereka juga aktif mengsyiarkan dan mengajak masyarakat mengenal agama Islam.
Lambat laun Islam pun mulai terdengar dan menyebar ke berbagai daerah. Akhirnya orang-orang terus berbondong bondong berdatangan dan menyatakan diri untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw dengan tulus ikhlas.
Membludaknya orang orang memeluk Islam dari hari ke hari membuat Ki Surawijawa terkesan dan akhirnya Ki Surawijawa memperkenankan Syekh Idlofi untuk mengambil tempat di Gunung Jati sebagai pengguron Islam yang diperuntukan bagi mereka yang ingin belajar Islam secara tenang dan mempelajari Islam lebih dalam.
“Aku lihat pengguronmu semakin ramai Syekh, senang sekali rasanya, karena wilayahku bisa dikenal lebih luas oleh orang-orang. Sebagai imbalannya, ambilah salah satu tempat agar orang-orang yang ingin belajar Islam bisa mempelajarinya secara lebih mendalam.” Perintah dari Ki Surawijawa pun disambut dengan gembira oleh Syekh Idolfi.
“Alhamdulillah tuan, ini juga semua berkat bantuan dari tuan yang telah mengizinkan kita untuk tinggal di sini. Baik tuan, terimakasih banyak.”
Tidak membuang waktu banyak, Syekh Idolfi pun memilih salah satu tempat untuk mendirikan pengguronnya.
Dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmat dalam mengajarkan agama Islam, dalam waktu relatif singkat pengikutnya semakin banyak dan tersebar sampai ke pusat Kerajaan Pajajaran, hingga akhirnya pengguron kedatangan Raden Walangsungsang dan adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang serta istrinya Nyi Endang Geulis yang bermaksud ingin mempelajari agama Islam.
Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang keduanya adalah putera-putri Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi dari perkawinanannya dengan Nyi Mas Subanglarang. Dengan demikian keduanya adalah cucu dari Syahbandar pelabuhan Muara jati. Kedatangan mereka ke Gunung Jati disamping melaksanakan perintah Ibundanya sebelum meninggal juga bermaksud sungkem kepada eyangnya.
“Putraku Raden Walangsungsang, Putriku Nyi Mas Ratu Rarasantang, sebelum ibu meninggalkan kalian, ibu pesan pergilah ke pengguron Gunung Jati temuilah eyangmu di sana dan pelajari lah tentang Islam darinya.” Keduanya pun memenuhi permintaan dari sang ibu.
Mereka berdua pun berangkat untuk memenuhi permintaan dari sang ibu. Akan tetapi, kepergian mereka ke pengguron Gunung Jati tanpa seizin ayahanda, karena Prabu Siliwangi kembali memeluk agama Budha setelah Nyi Subanglarang meninggal dunia, namun kedua putra -putra itu sudah didik dan diberi petunjuk oleh almarhun ibunya agar memperdalam agama Islam di pengguron Gunung Jati.
Setelah menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di pengguron Gunung Jati sesuai dengan apa yang dipesankan oleh ibunya. Setelah tiba, mereka pun pergi menemui eyangnya yaitu syahbandarnya Ki Gede Tapa atau Ki Jujunan Jati.
“Assalamualaikum eyang, kita berdua diperintah oleh ibu kita Nyi Mas Subanglarang untuk mendalami agama Islam dan menemui eyang.”
Ki Jujunan Jati pun menyambut kedua cucunya tersebut dengan wajah yang sumringah.
“Baiklah cucuku, kemarilah ikut aku…”
Tanpa berlama lama Ki Junjunan Jati membawa mereka ke pengguron Gunung Jati untuk dipertemukan dengan Syekh Idolfi.
“Assalamualaikum Syekh, perkenalkan ini kedua cucuku Raden Walangsungsang dan adiknya Nyi Mas Ratu Rarasantang putera-putri Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi dari perkawinanannya dengan Nyi Mas Subanglarang, mereka datang ke sini dengan maksud ingin mempelajari agama Islam di pengguronmu, Syekh…”
Dengan perasaan gembira, Syekh Idolfi pun mengiyakan dan mengajak mereka untuk masuk ke pengguronnya.
Kehadiran keluarga keraton Pajajaran tersebut, menjadikan Syekh Idlofi semakin giat menyiarkan dan mengembangkan agama Allah dan makin terkenal pula nama pengguron Gunung Jati. Sementara itu kegiatan dagang diserahkan kepada beberapa orang temannya, dimana seluruh waktunya dicurahkan untuk berjuang dijalan Allah.
Di antara kebiasaan yang sering dilakukan Syekh Idlofi di luar waktu dakwah yang selalu diperhatikan oleh santri-santrinya ialah tafakur, menyendiri di gua di puncak Gunung Jati. Karena itulah maka para santrinya memanggilnya “Syekh Dzatul Kahfi” artinya sesepuh yang mendiami gua. Selain sebutan itu, karena bersinar atau siarnya Gunung Jati di luar daerah disebabkan kemuliaan dakwahnya, masyarakat Pasambangan menyebutnya “Syekh Nurjati” artinya sesepuh yang menyinari atau mensyiarkan Gunung Jati.
Syekh Idolfi tak henti-hentinya menyerukan nasehat kepada santri-santrinya yang hendak angkat kaki dari pengguron gunung jati yaitu dengan kata “setana” yang memiliki arti pegang teguhlah semua pelajaran yang didapat dari pengguron ini dan jangan sampai lepas. Semenjak itulah orang-orang menamakan kampung Pesenangan Jati ini dengan nama Istana Gunung Jati, akan tetapi pada akhirnya Gunung Jati ini dijadikan pemakaman terutama makam Syekh Idolfi Mahdi sendiri. Maka penduduk Jawa Barat yang sebagian besar berbahasa Sunda, sebutan nama Setana diganti menjadi Astana yang artinya kuburan.