Pada masa pembangunan Masjid Demak, beberapa orang dari Wali Sanga mendapat tugas mencari batang pohon kayu Jati untuk tiang masjid. Di antara wali yang mendapat tugas itu adalah Sunan Kalijaga.

Dengan beberapa orang pengikutnya yang setia, berangkatlah Sunan Kalijaga mencari pohon Jati. Sesampainya di suatu tempat, mereka menemukan sekumpulan pohon Jati. Sunan tertarik dengan pohon-pohon Jati yang batangnya lurus-lurus, cocok untuk tiang masjid.

“Saudara-saudaraku, lihatlah pohon Jati itu. Batangnya lurus-lurus, cocok untuk tiang masjid,” kata Sunan Kalijaga kepada para pengawalnya.

“Oh iya, iya betul, Sunan,” jawab para pengawalnya serempak.

“Nah, sekarang tebanglah pohon itu,” perintah Sunan kepada para pengikutnya.

Para pengikut Sunan Kalijaga kemudian menebang pohon Jati itu. Tetapi terjadi sesuatu yang aneh. Setelah selesai ditebang, pohon Jati itu tidak tumbang, tetapi berpindah tempat dengan posisi tetap berdiri tegak berdiri. Para pengikut Sunan segera mengejarnya. Namun setiap dikejar, pohon Jati itu selalu berpindah tempat (ngaleh: bahasa jawa).

Melihat kejadian aneh tersebut, Sunan Kalijaga berkata: “Wahai saudara-saudaraku, dengarkanlah. Kelak di kemudian hari, bila tempat ini sudah ramai dihuni manusia, daerah ini aku beri nama Jati Ngaleh.”

Sendiko dawuh kanjeng Sunan,” jawab para pengikut Sunan, “Kami menjadi saksi atas ucapan Sunan.”

Setelah itu para pengikut Sunan Kalijaga kembali mengejar pohon Jati yang lari berpindah tempat. Pengejaran sampai di suatu daerah yang terletak di kaki sebuah gunung. Di daerah ini Sunan Kalijaga dan para pengikutnya kehilangan jejak pohon Jati. Mereka semua diam membisu, tanpa kata tanpa suara sampai kemudian meninggalkan tempat itu. Kelak di kemudian hari daerah itu dikenal dengan nama Cepoko, yang merupakan kependekan dari ‘Cep, ora ana apa-apa’ (bahasa jawa: Diam, tak ada apa-apa.)

Pengejaran dilanjutkan. Dari Cepoko mereka terus berjalan sampai di daerah perbukitan yang cukup tinggi. Dari tempat ini mereka dapat melihat kembali pohon  Jati yang mereka cari. Sunan Kalijaga dan  para pengikutnya merasa senang. Mereka bersuka-suka beramai-ramai. Di kemudian hari daerah ini disebut Suka Ramai.

Sunan Kalijaga dan para pengikutnya terus menerus mengikuti dan mengawasi pohon-pohon Jati yang baru saja mereka temukan itu. Mereka tak ingin kehilangan jejak lagi. Perjalanan mereka sampai di sebuah hutan Jati yang sangat lebat. Pohon Jati yang mereka kejar berada di tengah-tengah hutan Jati tersebut. Agar pohon-pohon Jati itu tidak lari berpindah tempat lagi, para pengikut Sunan menggali tanan, membuat batas berupa lingkaran atau kalang. Daerah ini kelak di kemudian hari dikenal dengan nama Jati Kalangan.

“Saudara-saudaraku, agar supaya pohon-pohon Jati yang kita awasi itu dapat terlihat jelas, tolong, tebanglah sebagian dari hutan ini,” perintah Sunan kalijaga kepada para pengikutnya.

Para pengikut yang juga sahabat Sunan Kalijaga kemudian menjalankan perintah Sunan. Mereka menebang sebagian hutan Jati yang lumayan lebat itu. Usaha Sunan dan para pengikutnya, yakni dengan melingkari dan menebang sebagian hutan yang lebat itu ternyata membawa hasil. Pohon Jati yang mereka kejar terlihat kembali dengan jelas. Mereka segera menebangnya kembali. Pohon-pohon Jati itu pun roboh dan tak bisa berdiri kembali untuk kemudian lari, karena sudah ada lingkaran (kalang) yang membatasi.

Meskipun pohon-pohon Jati itu sudah roboh, Sunan Kalijaga dan para pengikutnya tidak bisa begitu saja membawanya ke Demak. Untuk memudahkan, pohon-pohon yang sudah ditebang itu lalu dibersihkan cabang-cabang rantingnya sampai setiap pohon menjadi batang-batang yang lurus dan rapih. Batang-batang Jati itu mereka hanyutkan melalui sungai. Sementara itu mereka mengawalnya dengan berjalan kaki menuju Demak.

Perjalanan pada mulanya berjalan lancar. Akan tetapi ketika sampai di sebuah air terjun yang curam, perjalanan pohon Jati itu terhambat. Batang-batang pohon Jati itu tersangkut sesuatu. Para pengikut Sunan berusaha untuk menariknya, tapi sampai cukup lama tidak berhasil.

Sunan Kalijaga meminta para pengikutnya untuk istirahat, melakukan ibadah Sholat dan makan. Mereka memilih tempat istirahat di sebuah Goa yang berada di hutan dekat dekat air terjun itu. Goa itu kemudian diberi nama Goa Kreo. Dalam Goa tersebut terdapat satu peralatan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai mustaka Masjid Demak. Selain itu di dalam goa juga terdapat meja dan kursi yang digunakan untuk beristirahat oleh Sunan Kalijaga dan para pengikutnya.

Ketika beristirahat di dalam Goa, rombongan makan malam. Untuk keperluan makan malam itu, ada pengikut Sunan yang memotong kambing untuk membuat sate. Ada juga yang memotong ayam dan menangkap ikan di sungai.

Konon katanya, setelah mereka makan sate, tusuk satenya mereka lemparkan ke luar Goa. Tusuk sate itu berubah menjadi pohon Bambu. Jika pohon Bambu itu dipotong dapat mengeluarkan aroma sate kambing.

Para pengikut Sunan yang makan daging ayam melemparkan tulang-tulang ayamnya ke tumpukan bulu-bulu ayam yang ada di Goa itu. Tulang-tulang dan bulu-bulu ayam itu tiba-tiba berubah menjadi Ayam Tukung. Dahulu banyak Ayam Tukung berkeliaran di sekitar Goa Kreo.

Sementara itu para pengikut Sunan yang menyantap ikan sungai sungai, melemparkan kepala ikan dan duri ikan dari sisa yang mereka makan ke dalam sungai. Kepala dan duri ikan itu berubah menjadi ikan.

Konon katanya, pada jaman dahulu, jika musim kemarau tiba, di sungai yang mengalir dekat Goa Kreo itu sering terlihat ada ikan tanpa daging, hanya kepala, duri, dan ekor saja.

Setelah cukup beristirahat, Sunan Kalijaga dan rombongan kembali berusaha menarik batang-batang Jati yang tersangkut.Usaha mereka berhasil. Batang-batang pohon Jati itu dapat hanyut kembali mengikuti arus air sungai. Sunan Kalijaga beserta para pengikutnya mengawal batang-batang pohon Jati itu sampai ke Demak.

***

Dapoer Sastra Tjisaoek, 30/11/23/

Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *