
BATU MALIN
jika aku durhaka, menjadi batu adalah sengsara
jika aku kaya, menjadi durhaka adalah siksa
usahlah mencari dermaga
perahu bergantung pada laut
pada arah angin dan bintang
usahlah pulang
ombak dan badai ialah rumah
di sini, angin dan bau garam
menjadi pakaian untuk tubuh pengembara
tapi alangkah malu menjadi lelaki
jika tak berani berjalan di atas tanah
tapi alangkah hina menjadi pria
jika tidak berharta benda
maka, laut ini adalah alamat tak berpintu
menyimpan waktu yang tabu
andai kampung halaman tidak memberiku
kemiskinan dan kemelaratan
biar kutanam kaki ini bersama hujan
hutan tropis dan bau nasi bakar
biar kucintai tanah kelahiran
bersama darah-darah perbukitan
yang hijau bersawah
yang biru berombak
yang ramai rempah
maka, kupilih tidak kembali pada lumbung derita
menjadi sejati di laut rantau
maka, kupilih pulang pada gelombang
kutinggalkan batu-batu yang diam di tepi pantai
yang bersujud pada kesombongan
yang tunduk pada keangkuhan
jika aku durhaka, menjadi batu adalah sengsara
jika aku kaya, menjadi durhaka adalah siksa
DUKA BATU
dari gunung
kau menulis di tanah
tentang duka batu
yang diam
yang gemetar
yang terguyur hujan
yang gigil sepanjang malam
dari hutan
kau mendengar erangan
suara-suara besi
percikan api
menyayat tubuh-tubuh batu
terbelah
dari dasar gedung-gedung tinggi
kau menangis
tulang-tulangmu
remuk
menahan dosa-dosa peradaban
BATU-BATU HITAM
telah lama aku menunggu banjir
mengalirkan batu-batu hitam
dari sungai yang panjang
dari semadi bertahun-tahun
menuju perjalanan yang jauh
yang jatuh di jaring kota
yang tertanam di tanah peradaban
batu-batu hitam membuka jawaban
bahwa sebatang tubuh ini
kelak berubah putih
menempuh berkilo-kilo jarak
seperti sebuah usia yang berjalan
pada tali kehidupan
kelak menjelma kewarasan
dari hitam dosa
dari pekat sesat
batu-batu hitam perjalanan
di hati diguyur hujan
yang jatuh dari langit
segala menjadi basah dan biru
BANGKAI BATU
ia temukan bangkai batu
di tepi rumah
terbelah berlumut
licin berbau busuk
sudah berpuluh tahun sekarat
ia ditinggalkan oleh keramaian
oleh tangan-tangan kuli bangunan
ia melihat dirinya miskin
dan gagal
ia ketakutan di saat hujan
ia kelaparan di saat kemarau
ia tak sanggup bergerak
berpindah dari masa ke masa lainnya
ia menjadi tua
tanpa melakukan sesuatu
tanpa menjadikan dirinya
menjelma batu-batu
di lantai gedung-gedung
di taman-taman kota
di kolam hias
ia menjadi sepi
karena ulahnya sendiri
ia temukan bangkai batu
menunggu untuk dijamah
Nana Sastrawan seorang penulis yang telah melahirkan beberapa buku puisi, di antaranya Tergantung di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2011), Kabar untuk Istana (2020), Jangan Kutuk Aku Jadi Penyair (2022). Ia juga pernah mendapatkan penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI tahun 2015.