
Oleh Kek Atek
Sekilas Tentang Amir Hamzah, dan Satu di antara Puisinya
Menukil dari laman ensiklopedia, kemdikbud,dikatakan bahwa[1]: Amir Hamzah lahir di Binjai, Langkat – Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911, kemudian dia menamatkan sekolah MULO di Batavia pada tahun 1927, selanjutnya berangkat ke Solo dan mendaftar pada sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) Solo, Jurusan Sastra Timur.
Amir Hamzah bekerja pertama kali sebagai guru di Perguruan Rakyat – Taman Siswa, di Jakarta, dan mulai berkenalan dengan sastrawan seperti: Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.
Amir Hamzah juga melibatkan diri dalam majalah Poedjangga Baroe. Dia juga menulis karya sastra di dalam majalah Timboel, Pandji Poestaka, dan Poedjangga Baroe.
Dalam dunia kesastraan Amir Hamzah adalah seorang sastrawan yang sangat penting. Dari tangannya telah lahir puisi-puisi yang indah, maupun prosa yang menarik.
Puisi-puisinya dipenuhi rangkaian kata khas Melayu.
Buku karyanya yang sudah terbit antara lain: Nyanyi Sunyi (1937), Buah Rindu (1941), Sastra Melayu Lama denganTokoh-Tokohnya (1941), serta Esai dan Prosa (1982). Sedangkan terjemahannya, yaitu: Bhagawad Gita (dimuat di Poedjangga Baroe, 1933-1934), dan Setanggi Timur (terjemahan puisi Jepang, Arab, India, dan Persia1939).
H.B. Jassin menghimpun berbagai karangan yang tersebar dari Amir Hamzah dalam Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Mungkin karena itulah Amir Hamzah juga dikenal sastrawan Indonesia sebagai: “Raja Penyair Pujangga Baru”.
Tentu sudah banyak publikasi karya Penyair Amir Hamzah, baik di buku cetak, buku elektronik, maupun di laman internet. Satu diantaranya terdapat pada buku Kumpulan Puisi Amir Hamzah, dan di laman KepadaPuisi.
Menelusuri Puisi Doa Karya Amir Hamzah
Penelusuran Puisi pada umumnya berupa upaya menelusuri misteri yang terkandung di dalamnya, baik berdasarkan perkiraan apa maunya Sang Penyair, maupun prediksi pembaca terhadap bagaimana dan mengapa kata kata meluncur dari pikiran Penyair, yang kemudian diawetkan dalam bait bait Puisi. Adapun persepsi pembaca terhadap puisi yang dibaca tidak harus sesuai dengan perkiraan apa maunya Sang Penyair [4].
Sedangkan bagi Sang Penikmat puisi, ada yang berpedoman pada: yang penting nikmati saja. Sambil berharap bisa melahirkan inspirasi untuk mendapatkan: pikiran, sikap, dan tindakan, serta keindahan rasa dan logika Puisi yang dinikmati, selanjutnya bisa menjadi rujukan menuju usaha mencapai hidup dan kehidupan yang lebih baik.
Demikian juga termasuk Sang Penikmat puisi di dalam menikmati puisi yang berjudul /Doa/ besutan Penyair Amir Hamzah.
Sebagai langkah awal usaha penikmatan puisi, maka puisi yang berjudul /Doa/ besutan Penyair Amir Hamzah di atas, disusun terdiri dari tiga bait, masing masing jumlah barisnya berbeda beda, seperti di bawah ini.
/Doa/
1.
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?(1)
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, (2)
Setelah menghalaukan panas terik. (3)
2.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung (1)
Rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu. (2)
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya. (3)
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam (4)
menyirak kelopak. (5)
3.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan (1)
cahayamu, biar bersinar matakus endu, biar berbinar gelakku(2)
rayu! (3)
Pada bait 1, baris (1) tertulis /Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?(1)/. Baris (1) ini seolah memberikan isyarat bagi pembaca bahwa tokoh/ku/ lirik telah bertemu dengan sosok lain yang telah disebutkan sosoknya di dalam bait puisi, yang diwujudkan dalam kata /kita /sebagai tokoh lirik.
Siapakah tokoh /kita/lirik ini?,tidak lain adalah dua orang yang terlibat dalam pertemuan, dan pembicaraan; yaitu tokoh /aku/ lirik dan tokoh /kekasihku / lirik. Pengertian diksi /kita/ ini sejalan dengan arti kata kita menurut KBBI [5], yaitu pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain,termasuk yang diajak bicara.
Sedangkan pronomina merupakan kata atau frasa yang digunakan untuk mengganti kata benda, orang, atau tempat dalam suatu kalimat [6].
Pertanyaan berikutnya: “Siapakah tokoh /kekasihku/ lirik ini?”, sehingga bisa menyebabkan tokoh /ku/ lirik perlu menyampaikan pertanyaan kesebandingan atas pertemuan antara tokoh /kita/ lirik melalui gaya bahasa retoris berupa tanya yang tidak perlu jawaban, tetapi lebih kepada penekanan akan capaian makna tertentu di luar pengertian biasanya [7].
Pemaknaan seperti ini memungkinkan untuk menafsirkan diksi /kekasihku/lirik bukanlah bermakna sebagai kekasih pada umumnya yang berlaku bagi sesama manusia, tetapi lebih kepada rasa transenden yang bersifat non-manusia, dan non-materi. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan judul puisi /Doa/. Makna doa dalam prespektif Islam, diantaranya adalah [8]: cara manusia berkomunikasi dengan Allah SWT., untuk memohon permintaan, dan mengungkapkan segala yang diinginkan, sekaligus untuk mendekatkan diri kepada NYA. Maka rasa transenden dalam memaknai /kekasihku/ lirik ini, semakin nyata adanya.
Namun demikian jika mengacu pada pedoman beragama di dalam Islam, terlebih jika masih menyangkut ajaran pokok tauhid, diantaranya dalam arti diyakini bahwa Allah SWT secara zat bersifat tidak ada satu pun yang menyerupai NYA [9]. Sehingga agak relatif kesulitan jika diksi /kekasihku/ tidak dimaknai sebagai makna kekasih sesama manusia pada umumnya, dalam arti /kekasihku/ bukanlah metafora dari kata Alloh SWT. Sebab seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa keyakinan tauhid dalam prespektif Islam menyatakan tidak ada satu pun yang menyerupai Allah SWT., meskipun diksinya ditingkatkan menjadi kata /kekasih/ sekali pun; baik dalam ranah rasa, logika maupun makna.
Dengan demikian frasa /pertemuan kita/ dalam arti sebenarnya sebagai pertemuan fisik antara tokoh /ku/ lirik dengan tokoh /kekasihku/ lirik, atau pun pertemuan abstrak di pikiran, maka kedua pertemuan tersebut dipandang tidak akan pernah ada, sebab Maha suci Allah SWT dari segala keserupaan wujud fisik atau pun abstrak di pikiran manusia. Sebagai konsekwensinya maka baris ke (2) dan (3) dianggap tidak pernah ada, karena kesebandingan pertemuan dengan Allah SWT di dunia ini tidakakan pernah terjadi. Dengan alasan kembali pada keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada satu pun yang menyerupai Allah SWT.
Oleh karena itu ada yang sedikit bijak dalam memaknai baris ke (1) tersebut bukan pertemuan antara tokoh ku /lirik/ dengan tokoh /kekasihku/, tetapi sebatas pada suatu keinginan yang mendalam dari tokoh /ku/ lirik sebagai ungkapan kerinduan untuk mencapai kedekatan spiritual pada tokoh /kekasihku/ yang bisa dimaknai sebagai Tuhan [10].
Berdasarkan bekal uraian penikmatan puisi di atas, langkah penikmatan dapat dilanjutkan ke bait 2 yang cenderung berisi pernyataan dari tokoh /ku/ lirik. Bait ke 3 berisi permintaan atau doa dari tokoh /ku/ lirik ke tokoh /kekasihku/ lirik.
Bait 2 dibuka oleh deskripsi yang memotret suasana malam: /Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung (1)/ sehingga melahirkan rasa, dan angan yang meliputinya, yaitu / Rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu. (2). Kemudian tokoh /ku/ lirik menyampaikan kesaksian akan penerimaan hati dari tokoh /ku/ lirik terhadap hadirnya /kata/ dari tokoh /mu/ lirik yang membuatnya terang bagai bintang, dan setia menunggu datangnya /kasihmu/ lirik, seperti dalam ungkapan di baris (3), (4), dan (5), yaitu:
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya. (3), Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam (4), menyirak kelopak. (5).
Sedangkan di bait terakhir, yakni ke 3, dapat dikatakan bahwa baris barisnya merupakan esensi dari doa pemintaan tokoh /ku/ lirik ke tokoh /kekasihku/ lirik melalui gaya ungkap sebagai berikut: Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan (1) cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku (2), rayu! (3)
Semoga terkabul segala doa yang disampaikan, terutama doa doa dari sesiapa yang membaca artikel penikmatan puisi. Aamiin
Daftar Pustaka
- —, Amir Hamzah (1911—1946), Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Amir_Hamzah
- Amir Hamzah, terbit pertama 1941, Nyanyi Sunyi, Cetakan XV tahun 2008, ISBN :978-979-523-047-6, Dian Rakyat, Jakarta
- —-, 2013,Amir Hamzah: NYANYI SUNYI, Blog Kepada Puisi http://kepada puisi.blogspot.com/2013/06/nyanyi-sunyi.html
- Fadhil Rafi’ Uddin, 2019, Rahim Ayat, Sebagai Umat Saya Menggugat, Genta FKIP , Universitas Jambi, 22 November 2019. https://genta.fkip.unja.ac.id/2019/11/22/rahim-ayat-sebagai-umat-saya-menggugat/
- —, Arti kata kita, KBBI, https://kbbi.web.id/kita
- –, Arti kata pronommina, KBBI,https://kbbi.web.id/pronomina
- Firman Septihadi, Mulyanto Widodo, dan Kahfie Nazaruddin, 2018, Gaya Bahasa Retoris dalam Kumpulan Puisi Mantra Sang Nabi dan Rancangan Pembelajarannya, Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) April 2018, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung.
- Ida Parwati, Naf’an Tarihoran, Machdum Bachtiar, Wasehudin, Rifyal Ahmad Lugowi, 2023, Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid Pada Generasi Z Melalui Aplikasi Tiktok Di PPAmmu Banten, Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran,Volume 6 Nomor 3, 2023, P-2655-710X e-ISSN 2655-602, http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/jrpp
- Muhammad Hamba, 2020, Pendidikan Tauhid dan Urgensinya bagi Kehidupan Muslim, TADARUS: Jurnal Pendidikan Islam, Issn: 2089-9076 (Print), Issn: 2549-0036 (Online) http://journal.um Surabaya.ac.id/index.php/Tadarus
- Alanafsi Wahdini Hilma, Fajrul Falah, 2020, Perbandingan Puisi “Doa” KaryaChairil Anwar dan Puisi “Doa” Karya Amir Hamzah, Sabda, Volume 15, Nomor 2, 2020 ISSN 1410-7910 E-ISSN 2549-1628