Perjumpaanku dengan Nenek Tua

Agus Indra Gunawan 

Bunyi alarm menyalak dengan keras. Aku terbangun dari lelapnya tidur siangku. Aku menggeliat. Mataku masih sepet untuk bisa terbuka sepenuhnya. Samar-samar kulihat jam di Handphoneku yang menunjukkan pukul 13.20 WIB. Kontan aku tersentak. Seingatku sebelum tidur tadi, aku men-set alarmnya tepat pukul 13.00 WIB. Hemm…mungkin alarmya tadi telah berbunyi berkali-kali namun tak mampu menggugah kesadaranku.  Hari ini, tepat pukul 14.00 WIB akan ada rapat di sekolah. Aku mulai berhitung berapa waktu yang kubutuhkan untuk mandi, sholat dhuhur, makan siang lantas perjalanan menuju sekolah. Tentu saja aku akan telat. Perjalanan munuju sekolah biasanya membutuhkan waktu paling tidak setengah jam.

Segera aku menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku menunaikan kewajibanku lantas beringsut ke meja makan. Aku lahap semua makanan dengan buru-buru, sebab aku tidak ingin telat terlalu lama.

Setelah kuselesaikan semuanya, lekas aku menstarter motor dan memacunya secepat mungkin. Di luar, udara sangat panas. Matahari bersinar begitu terik. Namun aku berlagak seakan tak peduli dengan tantangan surya yang cahayanya sungguh perih menyengat. Meski, semburat sinarnya dengan mudah menerobos pakaianku, membuat peluh-peluh berpendar di seluruh tubuhku.

Beberapa saat kemudian, aku sudah keluar dari desaku. Laju motorku sedikit kuperlambat lantaran jalan yang kulalui sekarang tidak begitu bersahabat. Jalan ini merupakan jalan poros yang menghubungkan desaku dengan desa tetangga. Akan tetapi, kondisinya sungguh memprihatinkan. Hanya berlapiskan batu pedel yang terjal, permukaanya bergelombang dengan beberapa cekungan disana-sini. Pada musim hujan, jalan ini menjadi sangat becek dan licin, dan akan sangat berdebu pada musim kemarau seperti saat ini. Aku segera menutup kaca helmku sebab debu-debu jalanan berterbangan liar diterpa angin yang cukup kencang. Tubuhku terus tergunjang-gunjang layaknya orang yang sedang naik kuda, tapi aku berusaha tetap fokus dalam menyetir.

Ditengah konsentrasiku, aku melihat pemandangan yang sungguh miris tepat beberapa meter di depanku. Seorang nenek tua yang berusia sekitar 70an tahun berjalan tertatih. Ia bergerak selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati. Sangat pelan, dan seolah-olah hampir jatuh. Badannya gemetaran. Kedua kakinya yang ringkih, tak mampu menyangga berat badannya dengan sempurna.  Ia berjalan bungkuk dengan bantuan sebatang tongkat yang digenggamnya dengan erat. Bukan hanya itu, sebuah bakul cukup besar bertengger di punggungnya yang telah renta. Sehelai selendang menyilang dari bahu kiri ke perut sebelah kanan. Selendeng itu membebat erat tubuh tubuhnya, menjaga agar bakul di punggungnya tetap di tempat. Aku dapat menerka bahwa isi dari bakul tersebut adalah botol-botol berisi racikan jamu tradisional jawa. Dengan beban yang demikian berat, ia menelusuri jalan ini. Sebenarnya aku sudah tahu bahwa nenek tersebut adalah nenek penjual jamu gendong yang sering menjajakan jamu di desaku. Tapi, baru kali ini aku melihatnya berjalan sendirian. Terbersit keinginanku untuk menolongnya, akupun menghampirinya dan menghentikan motorku tepat di sampingnya. Ia tampak tak kaget dengan kehadiranku. Ia menoleh ke arahku dengan sesungging senyum.

Mbah, monggo sareng kulo mawon”. Aku menawarkan bantuan dengan sopan kepadanya.

“Iya, nak”. Balasnya dengan mata berbinar-binar. Sepertinya ia memang kecapekan dan merasa tertolong dengan kehadiranku. Segera kubantu dia untuk naik ke motorku. Jemariku lalu meraih tangan kanan nenek itu, sementara tangan kirinya memegang lekat sebatang tongkat yang merupakan teman setianya dalam perjalanan. Ia demikian rikuh menaikkan tubuh beserta bakul besar yang berada pada punggungnya. Nafasnya terengah. Beberapa menit kemudian barulah ia dapat naik motor pada posisi yang tepat. Terdengar desis kelegaan dari bibirnya. Dengan amat hati-hati, lekas aku menjalankan sepedaku yang tentu saja kali ini aku berjalan lebih pelan. Aku tidak lagi berfikir bahwa rapat di sekolah akan segera di mulai.

Tatkala motorku merambat, jemarinya menggenggam lebih erat paha kananku. Sempat teraba betapa keriput dan layu telapak tangannya. Ada rasa penasaran yang menyelinap dalam bilik kalbuku tentang latar belakangan nenek ini. Akhirnya aku mencoba membuka percakapan dengannya.

“Nenek, rumahnya dimana? Kok berjalan sendirian?”, tanyaku kepadanya.

“Desa Pajangan, nak. Tadi baru menjajakan jamu. Jika ada tumpangan, ya nenek ikut. Jika tidak ada, terpaksa nenek harus jalan sampai ada tumpangan lain di jalan”. Ujarnya sembari tersenyum

“Desa Pajangan kan jauh, apalagi panas begini, apa nenek tidak capek?” tanyaku lagi.

“Haha..ya capek nak. Biasanya nenek cuma minum jamu asam urat. Selepas itu, badan nenek akan baikan lagi” ungkap nenek itu seraya tertawa lepas. Mungkin menurutnya pertanyaanku lucu atau barangkali pertanyaanku retoris yang seringkali dia dengar dari orang lain juga.

“Ooo..Kenapa tidak berjualan di desa Pajangan atau sekitarnya saja, Nek?kan, tidak usah berjalan terlalu jauh seperti ini”selidikku penasaran.

Dia tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya.

“Di desa nenek, hampir semua warganya berjualan jamu. Nenek sudah tua, kalah dengan penjual yang masih muda-muda. Suami nenek saja dulu berjualan sampai ke jawa tengah, tapi sekarang dia sudah wafat. Alhamdulillah, belum lama ini nenek bisa mengadakan selamatan 1000 harinya, meski cuma kecil-kecilan saja”. Paparnya.

Aku bisa merasakan desis rasa syukur dalam nada bicaranya. Sejenak kutercenung. Kemana anak-anak dari nenek ini? apakah mereka tak peduli, dan begitu tega membiarkan orang yang telah melahirkannya dengan susah payah lalu membesarkannya dengan penuh kasih, mengorbankan segala curahan cinta-Nya ketika mereka tak berdaya dalam gendongan? kemana mereka? terlalu sibukkah dia sampai lupa pada orang tuanya sendiri? atau memang tak peduli sama sekali? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Aku tak lagi berdaya menahan rasa penasaran, meski ada rasa kuatir akan melukai perasaannya jika aku menanyakan hal tersebut kepadanya. Dengan sangat hati-hati, aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Terus, anak nenek kemana?” tanyaku dengan nada agak pelan.

“Nenek tidak punya anak, nak” Jawabnya seketika tanpa beban.

“Berarti nenek tinggal di rumah sendirian?” kejarku kian penasaran

“Iya, di rumah sendirian saja.”

Hatiku berdesir. Aku ingin bertanya lagi, tapi segera aku tahan. Sementara sinar matahari tetap terik menyengat. Kendati sekarang aku berkendara di dalam kampung, tapi jalanan cukup lengang. Pasti orang-orang lebih memilih berada di dalam rumah, menghidupkan kipas angin sambil menonton televisi atau tidur siang untuk menghilangkan penat. Tentu mereka enggan keluar rumah jika tidak ada keperluan yang penting. Menurut prakiraan cuaca dari BMKG, wilayah jawa timur dan beberapa wilayah di Indonesia memang sedang diliputi cuaca ekstrim. Kadang udara terasa panas, dan kadang terasa dingin seketika. Perubahan cuaca tersebut berlangsung secara drastis.

Tampaknya nenek itu berhasil membaca pikiranku, akhirnya ia berbicara lagi,

“Meski tidak punya anak, tapi nenek tetap bersyukur. Allah memberi kesehatan kepada nenek sehingga nenek jarang sakit. Nenek masih kuat untuk bekerja dan beribadah kepada Allah. Nenek masih sanggup untuk menjalankan sholat lima waktu, sholat malam dan kadang puasa”

MasyaAllah, hebat sekali nenek ini, gumamku dalam hati.

“Memangnya nenek dapat berapa dari jualan jamu ini?”, tanyaku sekenanya.

“Tidak mesti, nak. Nenek jualan 3 hari sekali. Biasanya dapat 20-30 ribu tiap jualan”, sahutnya diiringi suara tawa khasnya. Hemm..20-30 ribu untuk 3 hari, aku tak dapat membayangkannya. Tentunya uang tersebut juga akan dipakai sebagai modal untuk membuat jamu selanjutnya.

“Apa uang itu cukup, nek?”

InsyaAllah, sudah cukup. Kebutuhan nenek sekarang hanyalah makan dan obat-obatan saja. Apalagi, tetangga juga baik kok, nak. Mereka sering membantu nenek, kadang mengantarkan makanan ke rumah”

 “Lha, kalau nanti nenek sudah tidak kuat bekerja lagi, gimana? tanyaku dengan nada bercanda

InsyaAllah, Nenek akan ikut keponakan. Sebenarnya mereka sudah lama ingin mengajak nenek untuk tinggal bersama, tapi nenek tidak mau. Nanti malah akan merepotkan mereka. Biarlah nenek tinggal sendiri dan terus bekerja sampai raga ini benar-benar telah renta”, tukasnya tulus.

Aku tertegun. Kata-katanya sederhana. Tersirat kejujuran tak terencana. Kendati demikian, ada vibrasi kuat dalam nada bicaranya yang masih sukar untuk aku selami sepenuhnya. Yang pasti, aku sangat terharu dengan ketulusan hati dan semangat hidup nenek ini. Rasa syukur dan keikhlasanya telah menopang kehidupannya, membuatnya tegar untuk menjalani nasibnya saat ini. Sama sekali tak ada keluhkesah yang terlontar dari bibirnya. Bahkan, tiap pertanyaan yang kuajukan selalu dijawab renyah oleh sang nenek. Seolah tanpa beban dia mengungkapkan semuanya. Aku sendiri merasa heran, sama sekali tak ada rona kesedihan yang tergurat di raut mukanya. Padahal menilik kondisinya saat ini, ia pantas bersedih. Nenek setua ini seharusnya tinggal menghabiskan waktu dan sisa hidupnya dengan penuh kebahagiaan.

Akupun membandingkan dengan kondisi nenekku saat beliau masih hidup dulu. Ia selalu didampingi anak dan cucunya. Tak pernah nenekku bekerja keras. Tiap hari beliau hanya menemani cicit-cicit kecilnya bermain. Sesekali dia mencoba membantu membersihkan rumah, tapi bapak atau ibuku segera akan melarangnya. Manakala hari raya tiba, semua anak, cucu, cicit, saudara dan keluarga besarku akan bertandang ke rumah. Semuanya akan menghaturkan permohonan maaf ke hadapan nenek. Raut wajah nenek pasti berseri-seri lantaran banyak bingkisan yang diterimanya. Baik berupa uang, makanan, baju, kain jarik maupun yang lainnya. Sementara nenek yang sedang aku bonceng saat ini amat berbeda jauh keadaannya. Ia masih harus bekerja susah payah untuk menyambung hidupnya.

Dialog-dialog kami selanjutnya kian mengalir lembut. Ia pun berkisah tentang kehidupannya dulu bersama almarhum suaminya. Mereka telah berjualan jamu sejak sebelum menikah. Tak pernah terbersit untuk alih profesi. Meski pundi rupiah yang terkumpul tak seberapa, Ia merasa pantas bersyukur sebab suaminya benar-benar menyayanginya. Sempat ia di dera kegalauan, kala buah hati yang diharap bertahun-tahun sejak pernikahan tak jua tiba. Tak pernah lelah berusaha dan berdoa, tapi tuhan memang tak berkenan memberikan titipan. Ia juga bercerita tentang pelanggan-pelanggannya yang kebanyakan adalah para ibu rumah tangga. Terkadang ada beberapa orang yang memberikan uang cuma-cuma, tapi ia tolak dan ia tetap memberikan jamu sebagai penukarnya.

Beberapa kali aku menoleh kearahnya sebagai tanda bahwa aku masih intens dengan ceritanya. Suara seraknya terus berirama.  Sekilas-kilas terlihat bibirnya terkembang menampilkan barisan gigi yang tak lagi putih. Rasa ibaku rebah, berganti decak takjub. Aku yang kerap tercekat pada obsesi-obsesi fana serasa malu. Malu pada nenek ini dan malu kepada tuhan. Riak-riak hasrat duniawi terkadang memang menggelegak, membuat batinku terasa sesak. Sulit rasanya menghembuskan nafas keikhlasan dan syukur disetiap derap kehidupan. Nenek ini mungkin tak pernah belajar teori keikhlasan, tak pernah membaca buku tentang kekuatan rasa syukur.  Walaupun demikian, ia sanggup menerapkan kekuatan syukur dan ikhlas itu dalam kehidupannya. Hingga aura yang terpancar dari dirinya hanyalah kebahagiaan. Entah bagaimana, mungkin memang tuhan telah membunuh segala rasa kesedihan dalam hatinya dan menggantinya hanya dengan kebahagiaan. Atau mungkin tuhan sudah mencabut semua akar kekufuran dan merubahnya menjadi pohon kenikmatan. Hatiku bergemuruh. Aku mendapatkan banyak pelajaran berharga hari ini.

Tanpa terasa sampailah kami dipertigaan jalan dekat dengan jalan raya, ia memintaku untuk berhenti. Kutawarkan padanya untuk mengantar sampai ke rumah, tapi dia menolak sebab perjalanan kami sekarang memang berbeda arah.  Katanya, Ia akan menunggu tumpangan lain seperti yang biasa ia lakukan. Akhirnya, aku menurunkan sang nenek. Berkali-kali dia mengucapkan terima-kasih dan tak lupa memanjatkan doa untukku. Aku tersenyum mengamini. Lantas, aku kembali menjalankan motorku. Dikejauhan, aku sempat menoleh kearahnya dan berbisik dalam hati. Terima kasih, nek. Engkau telah mengajari aku cara bersyukur kepada tuhanku. Mataku berkabut. Embun yang sedari tadi menyembul di kelopaknya, benar-benar luruh.

Agus Indra Gunawan. Penulis tinggal di Lamongan, Jawa Timur.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *