Minggu, 20 Oktober 2019 adalah Malam Puncak Perayaan Hari Puisi Indonesia yang sudah 7 tahun berturut-turut dilaksanakan oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Biasanya pada malam puncak perayaan ini akan diumumkan para pemenang sayembara buku puisi dari karya para penyair se-Indonesia.
“Seperti juga perayaan hari puisi tahun-tahun sebelumnya, perayaan hari puisi ke-7 kali ini, kami mengusung tema “Puisi sebagai Digniti dan Intelektualisme”. Penentuan tema ini didasari pada pemikiran, bahwa puisi, sejak awalnya, bukanlah sekadar curahan hati atau permainan bahasa yang lalu melahirkan bahasa figuratif yang berupa metafora, simbolisme, analogi, personifikasi, atau majas lain, tetapi juga menjadikan bahasa (Indonesia) kaya daya-ungkap, cerdas dalam mencipta kiasan, atau piawai dalam melahirkan kata-kata bersayap. Di belakang itu, puisi juga menyimpan informasi tentang pengetahuan dunia, pesan-pesan filosofis, dan menawarkan gagasan tentang masa depan sebuah bangsa.” Ucap Maman S Mahayana di Pidato pembukanya.
[iklan]
Namun, kali ini ada yang menarik. Dalam acara tersebut ada peluncuran prangko Seri Penyair yang sudah sejak tahun 2018 digaungkan di media sosial oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia, baik itu melalui Youtube Hari Puisi TV dan media sosial lainnya.
“Pada 15 November 2018, Saya, Pak Maman dan Asrizal Nur mewakili Yayasan Hari Puisi Indonesia diundang rapat oleh pihak Kominfo untuk membahas penerbitan seri prangko penyair Indonesia. Pada kesempatan itu, Pak Maman mengusulkan enam nama penyair. Lalu, pada 5 Desember 2018, kami mengunjungi para ahli waris, satu di antaranya ke kediaman putri Chairil Anwar di Bekasi untuk meminta restu penerbitan prangko seri penyair,” jelas Nana Sastrawan yang kami wawancarai di tempat terpisah.
Pada peluncurannya di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki yang dihadiri perwakilan dari ahli waris dari para penyair dan Bapak Eko Wahyuanto, Kasubdit Prangko dan Filateli Kominfo digelar penandatanganan peluncuran oleh Sutardji Calzoum Bachri sebagai perwakilan penyair.
“Untuk kali ini, pihak Kominfo baru menyetujui dua penyair besar kita, yaitu Raja Ali Haji, Bapak Bahasa Melayu, pemelihara dan penjaga marwah bahasa Melayu, dan Chairil Anwar, kreator yang menjadikan bahasa Indonesia begitu trengginas, lincah, dinamis, luwes, dan modern. Jadi, tepatlah bangsa ini memilih dua penyair—pejuang bahasa itu untuk diabadikan dalam seri prangko.” Kata Maman S Mahayana.
Selain itu, Maman S Mahayana juga menjelaskan makna pengabadian kedua nama penyair itu dilakukan oleh Kominfo sebagai representasi negara. Itulah apresiasi negara pada dunia literasi. Di Negara-Negara lain apresiasi tertinggi diberikan kepada para pujangga atau penyair, sebut saja Iran yang membangun Taman Makam Penyair di Tabriz. Di sana, ada museum dan perpustakaan yang disulap jadi Taman Wisata. Negara Turki juga setiap tahun di makam Rumi diselenggarakan ajang pertemuan sastrawan, penyair, budayawan se-Dunia. Tentu saja Rumi yang sesungguhnya penyair sufi agung Persia, telah menyumbangkan “wisata religi” bagi kaum intelektual dunia. Satu lagi perlu disebutkan di sana: Azerbaijan. Di pusat kota Azerbaijan, berdiri megah patung Nizhomi, penyair besar lewat mahakaryanya, Laila Majnun. Patung itu tegak menghadap sebuah museum besar yang di sekelilingnya berdiri patung dan foto para sastrawan. Itulah Museum Sastrawan, dibangun di tengah kota Baku, ibukota Azerbaijan.
Penghargaan yang diberikan oleh Negara tersebut dapat menciptakan generasi yang percaya diri pada kekayaan intelektual bangsanya; tidak mudah diinfiltrasi budaya dari luar; dan menempatkan pengetahuan sebagai sumber kekayaan yang tiada akan habis seumur hidup.
Bagaimana dengan nasib sastrawan dan intelektual Indonesia. Di negeri ini baru makam Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji yang jadi objek wisata religi dan edukasi. Bagaimana pula dengan Jakarta? Bagaimana pula dengan makam Chairil Anwar? Itulah sesungguhnya tugas dan kewajiban pemerintah daerah menghargai—sekaligus memanfaatkan—popularitas tokoh penyair. Dapat kita bayangkan jika makam Chairil Anwar dipugar dan disulap jadi tempat wisata edukasi, tempat baca puisi, tempat diskusi anak-anak muda?
Diakhir pidatonya, Maman S Mahayana meminta Gubernur DKI Jakarta merealisasikan sebuah taman yang nyaman, indah, dan bermarwah di makam yang dicintai para sastrawan, dihormati kaum intelektual mancanegara: Chairil Anwar!