Patriotisme Garang Patriotisme Sendu dalam Puisi dan Lagu

Agus R. Sarjono

Pembuka

Jika mendengar kata lagu patriotik, maka ingatan kita segera tertuju pada lagu mars, setidaknya lagu   bertempo   cepat,  seperti:  “Maju   Tak   Gentar”,   “Bendera   Merah Putih”‘, “Bangun Pemudi Pemuda”, maupun “Dari Sabang sampai Merauke”/”Dari Barat Sampai ke Timur”. Lagu-lagu demikian berfungsi sebagai pembangkit semangat juang, khususnya saat baris-berbaris, baik menuju medan laga maupun medan latihan. Di medan laga sendiri, tentu tak ada yang sempat bernyanyi, baik lagu mars maupun lagu sendu.

Namun, bagaimana merumuskan patriotisme? Karena patriotisme selalu berkaitan dengan nasionalisme, maka jiwa patriot dan semangat patriotisme tidak dapat dipisahkan dari rasa cinta tanah air, alias nasionalisme. Dalam pada itu, nasionalisme sendiri kini tidak lagi diwacanakan secara “patriotis” sejak ia secara mendalam dibicarakan oleh Benedict Anderson, khususnya dalam bukunya Imagined Cummunities, serta Ernest Gellner, terutama dalam bukunya Nation and Nationalism.

Ada dua lagu, satu garang satu sendu, yang menggambarkan dengan baik rasa cinta tanah air dan nasionalisme itu. Keduanya patut menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Yang cukup gagah dan garang adalah “Indonesia Raya” dan yang sendu syahdu adalah “Indonesia Pusaka”.  Karena harus diandaikan bahwa segenap warga Indonesia hafal “Indonesia Raya”, maka di bawah ini hanya akan dikutip sebagian lagu “Indonesia Pusaka” karangan Ismail Marzuki.

[iklan]

Indonesia Pusaka

Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Tetap di puja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Tempat akhir menutup mata

Dalam semangat nasionalisme yang kental, lagu ini mengindentikkan Indonesia sebagai sebuah Rumah: tempat lahir, tempat tumbuh besar, tempat berlindung di hari tua hingga menutup mata. Indonesia adalah gambaran syahdu sebuah home sweet home.

Pepatah Inggris berbunyi “A house is built by hand but home is built by heart”. Dalam pada itu, rumah dan rasa betah (being at home) merupakan urusan pelik bagi Indonesia sejauh dilihat dari segi sastra, khususnya, dan budaya umumnya,

Sutan Takdir Alisyahbana dalam esainya “Semboyan yang Tegas”[1] mengemukakan bahwa budaya lama sudah mati semati-matinya, dan kita mesti menengok ke Barat. Esai ini memicu timbulnya Polemik Kebudayaan. Serangkaian karya sastra utama Indonesia modern –prosa maupun puisi– meneguhkan posisi tak berumah (homeless) yang akut bagi Indonesia.[2]

Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer adalah dua novel yang ditulis “semasa” dan mengenai revolusi kemerdekaan. Keduanya mencitrakan rumah yang berbeda, jika bukan justru bertolak belakang.

Di mata protagonist Keluarga Gerilya Pramoedya, Revolusi seperti panggilan suci yang tidak mengenal usia dan keadaan. Dan dibandingkan dengan keutuhan serta kebahagiaan keluarga, maka rumah tangga –keluarga, dan semacamnya– tidak tidak lain tidak bukan sekedar masalah sepele dan kecil dibanding negara, tanah air, kemerdekaan, dan revolusi.

Demi rumah baru, rumah ideal bernama nasion Indonesia, Sa’aman bersedia mengurbankan segala-galanya. Ia membunuh ayahnya sendiri demi nasion, karena sebagaimana dikemukakan Sa’aman, “Revolusi menghendaki segala-galanya –menghendaki kurban yang dipilihnya sendiri.”

Ketika direktur penjara menyela dengan: “Sekalipun begitu, bagaimana  mungkin tuan sampaihati membunuh bapak sendiri?”; Sa’aman menjawab,

“… Demikianlah hebatnya Revolusi. Kemanusiaanku kukorbankan. Dan sekarang ini –jiwa dan ragaku sendiri. Demikianlah paksaan yang kupaksakan pada diriku sendiri. Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan agar orang yang ada dibumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu –agar mereka itu dengan langsung bisa menikmati kemanusiaan dan kemerdekaan.”[3]

Bandingkan pandangan Sa’aman, yang adalah protagonis Keluarga Gerilya, dengan pandangan Guru Isa, yang protagonis Jalan tak Ada Ujung, di bawah ini:

Bagiku inividu itu adalah tujuan dan bukan alat mencapai tujuan. Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang-seorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain. Negara hanya alat. Dan individu tidak boleh diletakkan di bawah negara. Ini musik hidupku, Ini perjoanganku. Ini jalan tak ada ujung yang kutempuh. Ini revolusi yang kita mulai. Revolusi hanya alat memperkaya kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia.”[4]

Guru Isa tidak melihat revolusi dalam suatu mistifikasi. Revolusi hanyalah sebuah alat. Dan dalam posisinya sebagai sebuah alat, revolusi tidak bisa tidak bersifat generik. Ia bisa dipertukarkan dengan alat-alat lainnya sejauh mampu mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia-manusia. Secara sederhana, revolusi di mata Guru Isa adalah hanya sebuah alat untuk mencapai kebahagiaan dan kemuliaan penghidupan manusia yang sebenarnya keperluannya sederhana saja, yakni sedikit beras dengan lauk-pauknya, sedikit gula dan kopi, serta beberapa helai pakaian, yang kesemuanya pada dasarnya adalah elemen-elemen dasar yang sangat sederhana dan mesra bagi sebuah keluarga untuk berbahagia[5].

Dalam perspektif inilah kita melihat kembali semangat patriotisme dalam lagu-lagu dan puisi Indonesia sejak dulu hingga belakangan ini.

Puisi-puisi “garang” seperti karya Chairil Anwar di bawah ini

Diponegoro  

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

Dan sebuah lagi puisinya

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

Februari 1943

Maupun lagu A. Simanjuntak di bawah ini

Bangun Pemudi Pemuda

Bangun pemudi pemuda Indonesia

Tangan bajumu singsingkan untuk negara

Masa yang akan datang kewajibanmu lah

Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

Menjadi tanggunganmu terhadap nusa

Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas

Tak usah banyak bicara trus kerja keras

Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih

Bertingkah laku halus hai putra negri

Bertingkah laku halus hai putra negri

Kutipan di atas adalah contoh puisi dan lagu peneguh dan pengobar semangat di luar rumah. Namun, saat para serdadu berada di luar rumah (di medan laga, di kubu pertahanan, di hutan gerilya, di pengungsian), justru lagu-lagu yang sendu dan menyiratkan hubungan mereka dengan rumah seperti “Sapu Tangan dari Bandung Selatan”, “Sepasang Mata Bola”, “Rangkaian Melati” dan sejenisnyalah yang membuat malam-malam tegang sunyi di berbagai kubu itu dapat ditahankan oleh para serdadu.

Dengan “Sapu Tangan dari Bandung Selatan”, para serdadu merasa ada yang mencium ujung jari mereka sembari melantunkan doa keselamatan. Ada cinta, kenangan, dan tuntutan agar si gadis dan Bandung selatan jangan dilupakan. Bahkan, dengan lagu “Gugur Bunga”, seorang serdadu sedikit banyak merasa tentram karena jikapun ia tewas di medan laga, kematiannya akan bermakna karena ia percaya ada orang-orang yang kehilangan, ada yang mengelu-elukan sebagai pahlawan, ada yang meratapi. Dengan begitu, ia tidak mati iseng sendiri.

Meski Bung Karno, Sang Pemimpin revolusi, berkali-kali menekankan bahwa “Revolusi belum selesai”, masyarakat banyak akhirnya beranggapan bahwa revolusi kurang lebih akhirnya “selesai”. Ismail Marzuki sang penggubah lagu perjuangan itu mulai mengajak masyarakat ber-“Payung Fantasi”, juga mulai berlagu sendu tentang sang “Juwita Malam” yang selepas berpisah di stasiun Jatinegara, nama dan alamatnya ingin diminta agar dapat jumpa asmara lagi.

Bersama anggapan bahwa revolusi sudah selesai, pelan-pelan –baik diam-diam maupun terang-terangan– orang pun mulai menagih janji-janji revolusi. Sebagaimana kekasih yang tak setia, janji-janji itu kerap tak ditepati. Setidaknya, banyak yang merasa janji-janji itu tak ditepati. Lagu paling meledak pascarevolusi kemerdekaan adalah justru lagu “Patah Hati”, yang dilantunkan pria macho bernama Rahmat Kartolo.

Patah hati

Patah hatiku jadinya

merana berputus asa

merindukan dikau yang tiada

terbayang setiap masa

oh begini akhirnya

kasih memutus cinta

apakah aku berdosa aduh

derita menanggung rindu

bila ku terkenang

akan masa yang silam

air mata berlinang*

oh risaulah hatiku

dan musnah harapan

namun ku doa

kan dikau selalu

bahagialah hidupmu

o bila ku terkenang

akan masa yang silam

air mata berlinang

Lagu yang dapat dikategorikan cengeng ini tidak dilarang pada masa itu. Lagu jenis ini anehnya justru dilarang di masa Orde Baru.

Sekalipun begitu, madah-madah cinta tanah air masih terus ditulis baik dalam puisi dan lagu, baik penghujung Orde Lama maupun semasa Orde Baru. Puisi-puisi Saini KM di bawah ini, misalnya, memadahkan tanah air dengan penuh keharuan dan kecintaan,

Bendera Darah dan Airmata Kami

Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit

Berkibarlah s’lalu ! lambailah angkatan-angkatan yang akan datang

dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa

Bawah hujan darah, bawah taufan api !

Kami yang datang hari ini dan yangbernaung di kakimu

telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri

Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran

semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.

Bendera darah dan air mata kami, berkibarlah, berkibarlah !

Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa

dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu

sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.

(1968)

 dan

Nyanyian Tanah Air

Gunung-gunung perkasa, lembah-lmbah yang akan tinggal menganga

dalam hatiku. Tanah Airku, saya mengembara dalam bus dalam kereta

api yang bernyanyi. Tak habis-habisnya hasrat menyanjung dan memuja

engkau dalam laguku.

Bumi yang tahan dalam derita, sukmaku tinggal terpendam bawah puing-puing, bawah darah kering di luka, pada denyut daging muda

Damaikan kiranya anak-anakmu yang dendam dan sakit hati, ya Ibu

yang parah dalam duka kasihku !

Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka

kucari fajar semangat yang pijar bernyala-nyala

surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami

di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati.

Sementara Koes Plus menggubah lagu berjudul Nusantara yang kemudian melahirkan nusantara-nusantara berikutnya hingga “Nusantara VIII”.

Di sana, Tanah Air adalah rumah, sebagaimana syair Koes Plus “Di Nusantara yang indah rumahku/Kamu harus tahu,//Hutannya lebat seperti rambutku…dst” Sementara mengenai rumah Indonesia, Rhoma Irama melagukan para pengisinya sebagai berikut,

135 Juta

Seratus tiga puluh lima juta

Penduduk Indonesia

Terdiri dari banyak suku-bangsa

Itulah Indonesia

Ada Sunda, ada Jawa

Aceh, Padang, Batak

Dan banyak lagi yang lainnya

Seratus tiga puluh lima juta

Penduduk Indonesia

Terdiri dari banyak suku-bangsa

Itulah Indonesia

Janganlah saling menghina

Satu suku-bangsa dengan lainnya

Karena kita satu bangsa

Dan satu bahasa Indonesia

Bhinneka Tunggal Ika

Lambang negara kita Indonesia

Walaupun bermacam-macam aliran

Tetapi satu tujuan

Seratus tiga puluh lima juta

Penduduk Indonesia

Terdiri dari banyak suku-bangsa

Itulah Indonesia

Betawinya, Makassarnya

Bugis, Ambon, Dayak

Dan banyak lagi yang lainnya

Seratus tiga puluh lima juta

Penduduk Indonesia

Terdiri dari banyak suku-bangsa

Itulah Indonesia

Sejauh menyangkut lagu, patriotisme itu terasa berkobar kembali sebesar-besarnya dalam lagu-lagu Gombloh seperti “Dewa Ruci”, “Gugur Bunga”, “Gaung Mojokerto-Surabaya”, “Indonesia Kami”, “Indonesiaku, Indonesiamu”, “Pesan Buat Negeriku”, “BK”, dan terutama “Kebyar-kebyar” yang layak menjadi lagu kebangsaan itu. Saya kutipkan seutuhnya:

Kebyar Kebyar

Indonesia …

Merah Darahku, Putih Tulangku

Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia …

Debar Jantungku, Getar Nadiku

Berbaur Dalam Angan-anganku

Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Biarpun Bumi Bergoncang

Kau Tetap Indonesiaku

Andaikan Matahari Terbit Dari Barat

Kaupun Tetap Indonesiaku

Tak Sebilah Pedang Yang Tajam

Dapat Palingkan Daku Darimu

Kusingsingkan Lengan

Rawe-rawe Rantas

Malang-malang Tuntas

Denganmu …

Indonesia …

Merah Darahku, Putih Tulangku

Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia …

Debar Jantungku, Getar Nadiku

Berbaur Dalam Angan-anganku

Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Indonesia …

Merah Darahku, Putih Tulangku

Bersatu Dalam Semangatmu

Indonesia …

Nada Laguku, Symphoni Perteguh

Selaras Dengan Symphonimu

Kebyar-kebyar, Pelangi Jingga

Patriotisme Lain

Orde Baru tidak memberi perhatian besar pada para patriot yang memadahkan cinta Indonesia baik dalam puisi maupun lagu. Orde Baru sendiri tidak kelewat mengurus tema patriotisme maupun nasionalisme, dan lebih habis-habisan mengurus tema pembangunan dengan perusahaan-perusahaan multinasional sebagai soko gurunya. Sebuah pembangunan yang bagi Iwan Fals dkk dianggap penuh dengan Bento[6]. Pembangunan ini pula yang dikritik Rendra dalam banyak puisinya, terutama “Sajak Sebatang Lisong”

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

tanpa ada bayangan ujungnya.

…………………

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun.

Dan di langit;

para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun;

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

………………

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977

Patriotisme di Simpang Jalan

Patriotisme dan cinta tanah air tentu merupakan sesuatu yang harus ada dalam tubuh suatu bangsa. Tanpa itu, sebuah bangsa tak memiliki ketahanan apapun untuk tetap mengada. Namun, patriotisme bukan tanpa masalah. Pemerintahan diktatur atau pemerintah yang mengarah ke kediktatoran, kerap mempersamakan bangsa dan tanah air dengan pemerintah, sehingga patriotisme serta rasa cinta tanah air seringkali diidentikkan dengan cinta pada pemerintah, alias manut-patuh-nurut pada pemerintah. Setidaknya, setiap kritik pada pemerintah, kerap dicap sebagai kritik pada bangsa dan tanah air. Pemerintah Orde Baru yang tak apresiatif pada puisi dan lagu cinta tanah air itu, dengan segera melakukan reaksi pada puisi dan lagu yang mengkritik pemerintah.

 Patriotisme dan cinta tanah air akan menuntun penyair dan pemusik untuk cinta dan peduli pada bangsa dan tanah airnya. Dalam situasi dimana pemerintah   mencederai cita kebangsaan serta mencederai nasib dan harapan rakyatnya, maka   lagu dan puisi yang mengingatkan, mengkritik, serta menuntut keadilan pemerintah  –sembari membangkitkan kesadaran masyarakat akan nasib dan masa depan bangsa dan tanah airnya– dapat dianggap sebagai lagu dan puisi yang patriotis.

Penutup   

Jiwa kebangsaan dan patriotismee bukanlah sesuatu yang terberi. Ia membutuhkan juga upaya penanaman rasa kebangsaan dan patriotisme. Penanaman itu berjalan dengan dua cara: pewacanaan lewat pendidikan dan pengukuhan lewat pembuktian. Yang benar-benar harus dihindari adalah pemaksaan. Memaksa siswa untuk memakai emblem-emblem nasionalisme patriotis atau kewajiban menyanyikan lagu-lagu patriotis –baik garang maupun sendu– dapat membuat para siswa justru diam-diam trauma dengan kebangsaan dan bahkan membencinya, selain memberi kesan pada bangsa lain bahwa Indonesia adalah negeri fasis.

Penanaman rasa patriotisme dan cinta tanah air akan berdaya-guna manakala ia disajikan dalam konteks sejarahnya bersama wacana-wacana semasa dan unsur-unsur dramatiknya lewat sastra (puisi, prosa, drama), lagu, dan biografi-biografi para pendiri Indonesia bersama latar sejarahnya. Cara lain, tentu saja pesta, festival, dan lomba-lomba. Sikap kita terhadap hidangan bermenu patriotisme yang disajikan dalam pesta tentu berbeda dengan yang dijejalkan paksa ke mulut kita.

Kita sering merasa bahwa kecintaan pada tanah air –patriotisme itu– sudah makin menipis di kalangan masyarakat. Mungkin benar, mungkin tidak benar. Ternyata, begitu tim sepak bola usia muda kita memenangi pertandingan di mana-mana, segera saja dengan tanpa ragu tua muda membeli kaos aku cinta Indonesia. Saat tim bulu tangkis kita bergerak ke final untuk meraih juara, nyaris semua masyarakat berdebar-debar menonton dan mensupportnya.

Mungkin yang sangat kurang di masa kini bukanlah rasa cinta tanah air, melainkan alasan-alasan untuk mencintai tanah air. Yang mungkin kurang adalah prestasi-prestasi yang membanggakan yang membuat segenap bangsa Indonesia bisa merasa bangga dan patut mencintai Indonesia. Prestasi-prestasi itu bukan tidak ada, tapi kebrengsekan yang bertubi-tubi dari politisi yang diliput media dengan menggebu nyaris tiap hari itu, nyaris menenggelamkan segala prestasi yang memang tidak pernah mendapat publikasi yang berarti di negeri ini.[]

 

Agus R. Sarjono adalah penyair, esais dan sesekali menulis lakon teater. Bukunya terbaru adalah kumpulan puisi Gestatten, mein Name ist Trübsinn (terjemahan Berthold Damshäuser, 2015); naskah lakon The Theatre/Thesaster (dwibahasa Inggris-Jerman, terjemahan Jerman oleh Cornellia Enger, 2015); dan Sprachfeuer: Eine Anthologie moderner indonesischer Lyrik yang dieditori bersama Berthold Damshäuser (2015). Bersama Berthold Damshäuser juga mengeditori dan menerjemahkan Seri Puisi Jerman dan menghasilkan 8 buku puisi terjemahan dari Rilke sampai Hesse. Mantan Ketua Komite Sastra DKJ (1997-2003) dan salah seorang Ketua DKJ (2003-2006) ini mendapat Hadiah Sastera Mastera dari Malaysia untuk buku puisia Lumbung Perjumpaan (2012); dan Sunthorn Phu Award dari Thailand untuk lifetime achievement-nya di bidang sastra (2013). Selain menjadi dosen Jurusan Teater Istitut Seni Budaya (ISBI) Bandung, ia menjadi Pemimpin Umum Jurnal Sajak dan Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik.

[1] Dalam skala kecil gema pemikran ini terlihat pada esai Goenawan Mohamad “Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang”, yang ingin menggosok-gosokkan punggungnya agar sisa masa lalu yang seperti daki bisa terkikis. Pemikian STA mengalami perkembangan, namun sikap budayanya kurang lebih adalah tetap. Lihat Ignas Kleden, Goenawan Mohammad, Taufik Abdullah (ed.). 1988. Kebudayaan Sebagai Perjuangan: Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisyahbana. Jakarta: Dian Rakyat

[2] Lihat novel-novel Indonesia modern mulai dari Siti Nurbaya Marah Roesli maupun Salah Asuhan Abdul Moeis hingga Merahnya Merah Iwan Simatupang maupun Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, serta novel-novel selepasnya. Nyaris semuanya tak berumah, tak kunjung at home. Masalah ini pernah serba sedikit saya bahas. Lihat Agus R. Sarjono. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang Budaya.

[3] Pramoedya Ananta Toer. 1950. Keluarga Gerilya. Bukit Tinggi, Jakarta: Yayasan Pembangunan (1950:152-153).

[4] Mochtar Lubis. Jalan Tak Ada Ujung. Jakarta: Pustaka Jaya. (1952: 43).

[5] Harapan ini jauh lebih sederhana dibanding harapan hidup dalam kehangatan rumah desa yang sederhana sebagaimana dibayangkan Ebiet G. Ade dalam lagu populernya: Jauh dari kota, hidup sederhana, namun toh sebagai kepala desa.

[6] Lagu Iwan Fals “Bento”. Dengar juga lagu Iwan Fals “Bongkar” dsb.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *