SITU BAGENDIT
diceritakan kembali oleh Abah Yoyok
Diceritakan bahwa pada jaman dahulu kala, di daerah Garut, Jawa Barat ada sebuah desa yang sebagian besar penduduknya hidup bertani. Para petani tidak pernah mengalami kesulitan selama bertani , karena tanah tanah di desa ini sangat subur dan sawah-sawah tidak pernah kekurangan air. Hasil panen padi selalu melimpah ruah. Namun kenyataan yang terjadi adalah para penduduk di desa tersebut rata-rata hidup miskin dan serba kekurangan.
Keadaan ekonomi dalam kehidupan masyarakat desa yang menyedihkan ini adalah disebabkan oleh perilaku seorang tengkulang lintah darat yang serakah dan kikirnya setengah mati. Dia adalah seorang janda yang bernama Nyai Endit. Setiap kali warga datang meminta bantun, Nyai Endit selalu menolaknya dengan angkuh. Warga sangat tidak menyukai perangai Nyai Endit yang kikir itu.
[iklan]
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu pada saat panen. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu, jika kemudian persediaan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
Apabila musim panen tiba, lumbung padi dan rumah Nyi Endit selalu dipenuhi oleh hasil pertanian. Pada suatu ketika kemarau panjang melanda desa tersebut sehingga mengakibatkan kekeringan serta musin paceklik yang membuat warga desa jadi sengsara. Akibat kekeringan serta gagal panen yang melanda, banyak warga desa yang terkena penyakit busung lapar, hampir setiap hari ada saja warga yang dikabarkan meninggal dunia gara-gara terkena busung lapar. Sementara warga desa dilanda kekeringan dan kelaparan, hal yang sebaliknya terjadi dengan kehidupan Nyai Endit. Setiap pekan dia selalu mengadakan pesta bersama karib kerabat dan sanak saudaranya.
Siang hari itu, Nyai Endit sedang berkeliling memeriksa lumbung padinya serta para buruh dan centeng-centeng (tukang pukulnya) yang sedang bekerja. Kepada salah satu Centeng ia bertanya.
“Hei Barja, apakah semua padi hasil panen orang-orang desa sudah kamu beli semua?”
“Beres Nyai!” sahut centeng Barja. “Silahkan diperiksa lumbungnya Nyai! Sudah penuh semua, bahkan beberapa masih kami simpan di luar karena gudang dan lumbung sudah tak bisa menampung lagi.”
“Hik..hik.. bagus! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras, dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang berani membangkang!”
“Siap, Nyai.”
Nyai Endit tertawa dengan sombongnya, lalu berkata: “Malam ini kita rayakan pesta keberhasilan usahaku. Sekarang ayo kita makan-makan dulu,” katanya kepada para centeng dan buruh serta kepada sanak keluarganya.
***
Siang yang panas. Matahari seakan membakar di atas kepala. Di jalan pinggiran desa nampak seorang nenek berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan mata penuh iba. “Hmm… kasihan sekali hidup para penduduk ini. Mereka menderita karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek. Dia lalu berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Punten… permisi, Nyi, numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya nek, ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut.
“Dimana ya, rumah orang yang kaya di desa ini?” tanya si nenek.
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih.
“Iya. “
“Sudah dekat, nek. Nenek tinggal lurus saja sampai nanti ketemu perempatan jalan, nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah besar yang di depannya ada pohon beringin. Itulah rumahnya. Memangnya nenek ada perlu apa dengan Nyi Endit?”
“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah percuma saja nenek minta sama dia, nggak bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak usah Nyi,” jawab si nenek. “Nenek hanya ingin tau seperti apa sikap dia kalau ada pengemis yang datang minta sedekah. Oh iya, tolong nanti kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Ah, nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau?”
“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Karena itu segera mengungsilah, dan jangan lupa bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek. Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih terbengong-bengong.
Sementara itu, Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah bersama para centengnya, buruh dan sanak saudaranya. Ketika Nenek pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit, ia langsung dihadang oleh para centeng.
“Hei pengemis tua, ayo cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor karena terinjak oleh kakimu!” bentak centeng.
“Maaf, saya mau minta sedekah. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
“Sabodo teuing. Bodo amat!” bentak centeng. “Memangnya aku bapakmu? Kalau mau makan, ya beli jangan minta! Ayocepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek terlihat tenang-tenang saja di tempatnya. Ia justru berteriak memanggil Nyi Endit. Katanya: “Hei, Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!”
Centeng- centeng itu berusaha untuk menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
“Siapa sih itu yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit yang sedang asyik menikmati hidangan mewah bersama sanak famili dan keluarga. “Ganggu orang makan saja!” Dengan perasaan kesal ia lalu keluar menuju halaman rumahnya. Ternyata…
“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
“Saya hanya ingin minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya belum makan,” kata nenek.
“Eleuh… eleuh… nggak makan tiga hari koq sekarang mau minta sama aku? Di sini tidak ada makanan buat pengemis bau sepertimu. Ayo, pergi dari sini! Nanti banyak lalat datang ke sini karena mencium bau busuk di badanmu!” kata Nyai Endit.
Nenek Pengemis itu bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah, lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan. “Hei Endit..!’ katanya dengan garang, “Selama ini Tuhan telah memberimu rejeki yang berlimpah, tapi kau tidak bersyukur. Kau pelit, kikir, dan tak mau menolong pada sesama! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan. Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Hi hi hi … Hei Nenek Bau, kau mau menghukumku? Memangnya kamu ini siapa? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati. Ayo cepat pergi dari sini!” kata Nyai Endit.
“Tidak usah repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.” Si Nenek Pengemis lalu menancapkan tongkatnya ke tanah.
“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong. Lalu Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ugh…! ternyata tongkat itu tidak goyang sedikitpun. Dia coba lagi dengan dua tangan. Ugh…! Tongkat tak bisa tercabut juga.
“Belegug!” gerutu Nyai Endit. “Hei, Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Satu persatu para centeng itu coba mencabut tongkat si nenek, namun meskipun sudah ditarik sampai tiga orang, tongkat itu tetap menancap di tanah.
“He… he… he… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Sreet…! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Lalu… Byuuurrr…!!! Tiba-tiba dari lubang bekas tongkat menancap, menyembur air yang sangat deras ke atas.
“Endit! Inilah hukuman untukmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karena perbuatanmu. Kau dan seluruh hartamu akan ditenggelamkan oleh air ini!”
Bersamaan dengar muncratnya air dari lubang bekas tongkat menancap, nenek pengemis tua juga ikut menghilang entah ke mana. Tinggallah Nyai Endit yang panik karena air semakin lama semakin meluap dengan derasnya. Dia berlari-lari kesana kemari menyelamatkan hartanya. Akan tetapi air yang membanjir lebih cepat untuk kemudian menenggelamkan Nyi Endit beserta harta bendanya.
Maka, pada akhirnya di desa tersebut terjadilah sebuah danau kecil yang indah., dan masih ada sampai sekarang. Orang-orang menamakannya Situ Bagendit. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Dipercaya, bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Konon ceritanya, itulah penjelmaan Nyai Endit ,si lintah darat, yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
***
DST, Jan. 2020