Namaku Bon-Bon. Demikian yang kudengar setiap harinya. Meski sebenarnya, itu bukanlah nama pemberian dari kedua orang tuaku. Tapi, aku juga tak tahu nama apa yang sebenarnya Ayah dan Ibuku berikan padaku, dulu. Ah, aku sudah lupa.
Sungguh, dunia ini serasa dimulai ketika goncangan demi goncangan terjadi. Dibawa ke sana kemari. Hingga akhirnya, perjalanan yang melelahkan itu, mendaratkanku juga di tempat tersebut. Bukan di pengunungan Altay atau di provinsi Heilungkiang atau Hebei di Tiongkok Timur Laut, sebagaimana nenek moyangku dahulu berasal. Tapi itu adalah Indonesia. Di negeri yang orang bilang menanam batu tumbuh tanaman.
Aku tinggal di sebuah rumah indekos. Hidup bersama para mahasiswa. Bedanya, mereka punya kamar. Sedangkan aku hanyalah tinggal di sebuah kotak kaca bekas akuarium. Di luar kamar tentunya. Ukuran lebar dan tinggi sungguh tak masuk akal. Sehingga mustahil aku bisa memanjatnya. Aku paham, itu agar aku tak kabur seperti si Boni. Iya, namanya Boni. Ia kekasihku. Lebih tepatnya, calon mantan kekasihku. Malam itu Boni berhasil kabur. Triplek penutup rumah si Boni berhasil ia gerogot. Dan malam itu ia mengucapkan salam perpisahan yang menjengkelkan padaku. Ia bilang begini,”Sori, ya! Kayaknya kita nggak jodoh, tuh!” sembari menari, tralala-trilili, puas sekali.
Boni didatangkan tak lama setelah kedatanganku di tempat itu. Rasa-rasanya seperti spesial sekali. Ia sama sepertiku, dari jenis Campbell. Aku senang, karena memang pada saat itu birahi sedang tinggi-tinginya. Dan tak ada pelampiasan bagi makhluk seperti kami selain berhubungan dengan lawan jenis. Tapi konyol, Boni berhasil kabur entah ke mana di malam pertama keberadaannya di tempat itu. Meninggalkan duka dan keresahan yang berkepanjangan bagiku. Sial.
Kendati demikian aku bersyukur, karena ternyata para penghuni indekos suka padaku. Mereka selalu memanjakanku. Mengelus-elus serta memberi makanan beragam padaku. Walaupun terkadang yang mereka berikan tak selalu baik untuk kesehatanku. Ini sungguh penting. Di luar sana, di habitat kami, kami bisa mendapatkan makanan yang baik dengan memilih apa yang Tuhan sudah janjikan sebagai rezeki. Belum lagi jika kami sakit, ibu, juga para teman-teman kami, tahu bagaimana cara merawat kami. Tentu, kami bukan manusia yang bisa datang ke dokter untuk checkup bila diserang penyakit. Tapi Tuhan maha baik. Selalu punya cara terbaik untuk menjaga kami. Tak seperti para mahasiswa pemalas itu. Pernah sekali waktu aku diberi makan daun bawang. Kurang ajar, pikirku. Apa-apaan ini? Kami memang omnivor, tapi tak tahukah mereka bahwa beberapa makanan, seperti daun beracun dari tomat, bawang putih, menjadi makanan yang paling berbahaya untuk kesehatan hamster.
Tapi sudahlah, aku sudah melupakannya. Namun masalahnya, aku ini hamster yang jomblo. Oh kawan, betapa kau tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi jomblowan, dikerangkeng pula. Sekuat apa pun, aku hanya bisa menunggu Tuhan lagi-lagi berbaik hati dengan cara-Nya. Mungkin saja majikanku itu kembali terketuk hatinya untuk membeli seekor hamster betina untukku. Tapi kapan? Saban detik aku berdo’a, sekonyong-konyong yang hadir malah berbagai jenis burung. Hm, sedari dulu belum ada sejarahnya hamster menikah dengan burung, toh? Oh, betapa malangnya aku ini, hamster yang jomblo.
Tapi, lambat laun aku terhibur pula dengan kehadiran mereka di tempat itu. Tak lain, karena kami sama-sama hidup dikerangkeng. Saling mengolok adalah cara sederhana untuk menghibur duka lara. Si jalak itu contohnya. Muak sekali ia tinggal di kandangnya. Belum lagi kutilang gaek itu, jauh-jauh menyeberangi Selat Sunda, hanya untuk berdampingan dengan seekor jalak yang galak, yang kerjanya menyalak-nyalak. Sungguh, kutilang itu bagai hidup segan mati tak mau. Ia selalu menyesal pernah hinggap di sebuah dahan yang telah dilumuri oleh pulut, di mana tersaji berbagai makanan kesukaannya. Ternyata, pekatnya membuat ia hanya bisa pasrah. Sadar-sadar ia sudah di pulau Jawa. Meninggalkan anak istrinya nun jauh di sana. Memilukan sekali.
Dan, jika kami harus iri, tentu kepada lovebird-lah hal itu tertuju. Bagaimana tidak? Mereka selalu berpasangan. Tak ada istilah lovebird jomblo dalam kamus ornitologi. Dan itu juga yang dirasakan oleh si jalak dan kutilang gaek. Mereka tak pernah punya jodoh. Merana sekali hidupnya. Andai di alam bebas mungkin saat itu mereka sedang bergenit ria dengan kekasihnya. Binatang seperti kami memang tak pernah masuk hitungan. Namun, lagi-lagi, bahwa jeritan-jeritan kami adalah lagu nan merdu bagi mereka. Bulu-bulu kami yang menggemaskan adalah berlian. Tingkah polah kami adalah sirkus suka cita.
Seperti itulah. Mau tidak mau kami harus mau. Seandainya Nabi Sulaiman masih hidup, kami akan melapor padanya untuk hal ini, agar para manusia itu gantian dikerangkeng. Meski, sungguh, lambat laun benar bila waktu yang menjawab semuanya. Tahukah kau kawan, satu-satunya manusia di indekos itu yang sangat tidak kusuka? Ia adalah lelaki berjanggut itu. Bagaimana tidak? Tak pernah sekali pun ia mau membelaiku. Alih-alih membelai, menengok pun tak mau lah kiranya ia. Ah, macam mana pulak. Kesalnya aku. Akhirnya aku berkeras hati untuk mengeluarkan keganasanku sebagai jenis Campbell padanya. Lihatlah jika suatu saat ia tergoda padaku, mendekati, bahkan membelaiku, akan kugigit ia sejadi-jadinya. Biar berdarah-darah tangannya, masa bodo teuing, ora urusan, cuiih!
Syahdan, mungkin itulah akhir manis dari sebuah penantian panjangku. Setelah lama menanti untuk menggigit pria berjenggot itu, akhirnya, tiba juga waktunya. Kami bangsa pengerat, memang lebih aktif di malam hari. Bisa dibilang nokturnal. Dan di malam itu, di mana semua orang sudah tertidur, tiba-tiba pria berjanggut itu keluar dari kamarnya. Kupikir ia akan menuju kamar mandi, ternyata malah mendekatiku. Aku gugup luar biasa. Takut bercampur senang. Inilah saatnya, pikirku. Celingak-celinguk, ia pun perlahan membuka bagian atap kandangku yang bekas akuarium itu. Tapi, seketika saja ia memberi isyarat padaku. Ia menegakkan jari telunjuknya menempel di bibir. Sebuah tanda bahwa kurang lebih artinya ”jangan berisik!”. Aku pun galau karenanya. Maka, kuurungkan niatku tuk menggigit. Lantas ia genggam aku perlahan. Ia belai kepalaku, lalu membisikkan sesuatu,”Pergilah kau! Kejar mimpimu sampai ke Negeri Cina!” Lantas, ia letakkan perlahan tubuhku di luar kotak dan memberi sebuah farewell yang manis. Kutengok kembali ia, wajahnya tersenyum indah sekali, dan seketika dengan girang aku pun berseluncur. Malam itu aku menari ke sana kemari. Berdansa dengan kecoak, cicak, tokek, celurut, dan lainnya.
Aku senang bisa bebas. Lantas kutekadkan membuat lorong bawah tanah sepanjang-panjangnya sampai ke Altay atau provinsi Heilungkiang juga Hebei di Tiongkok Timur Laut di mana di sana kami bisa menikmati hidup dengan paripurna. Lantas kutulis sebuah kisah tentang perjalanan panjangku. Juga akan kucari sebanyak-banyaknya pria berjanggut tuk jadi sahabatku. Sebagai tanda terimakasihku pada pria berjanggut di indekos itu.
Akulah sang pengerat, bukan lovebird atau Kucing Persia. Aku si Bon-Bon, hamster yang kini berbini tiga.
”Oh, senangnya dalam hati! Kalau beristri tiga.”
Anggi Nugraha. Lahir di Batumarta 2 Kab. OKU, Sum-Sel. Alumnus Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di : Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia, Tribun Sum-Sel, Lampung Post, Malang Post, Padang Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, Radar Mojokerto, Koran Berita Pagi, Radar Cirebon, Lampung News, Kedaulatan Rakyat, Majalah SUAKA, dll. Kini bekerja di Nurul Fikri Boarding School Lembang sebagai seorang pustakawan. Buku pertamanya “Kunang-kunang Dini Hari” kumpulan cerpen, (2021).