Mundinglaya Dikusumah
Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok.

Diceritakan oleh yang punya cerita, pada jaman dahulu kala raja Pajajaran, Prabu Silihwangi, memiliki dua orang istri, yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu Pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Perbedaan umur antara pangeran Guru Gantangan dan Pangeran Mundinglaya lumayan jauh. Ketika pangeran Guru Gantangan ditunjuk menjadi Bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.

Dikarenakan tidak mempunyai anak, Pangeran Guru Gantangan tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anak. Ketika ia memintanya kepada permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri mengijinkan karena mengetahui kalau Pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi Pangeran Mundinglaya. Selain itu Pangeran Guru Gantangan juga mengangkat seorang anak lain yang diberi nama Sunten Jaya.

[iklan]

Ketika Pangeran Mundinglaya beranjak dewasa, Pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi Pangeran Mundinglaya daripada Pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter keduanya yang sangat jauh berbeda. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan Pangeran Sunten Jaya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri Pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi, ibunya juga sangat menyayangi Pangeran Mundinglaya.

Dikarenakan perhatian istri Pangeran Guru Gantangan kepada Pangeran Mundinglaya sangat berlebihan, hal ini membuat Pangeran Sunten Jaya cemburu. Akhirnya Pangeran Mundinglaya dijebloskan ke dalam penjara karena hasutan saudara tirinya itu dengan alasan bahwa Pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan masyarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan karena khawatir akan  terjadi kekacauan pada ketentraman kerajaan karena danya permusuhan antar saudara.

Pada saat suasana yang mengkhawatirkan ini berlangsung, terjadi sesuatu yang aneh yang dialami oleh permaisuri Nyimas Padmawati. Dalam tidurnya, permaisuri bermimpi melihat tujuh Guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Di antara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan Guriang yang membawa jimat tersebut: “Negeri Pajajaran hanya akan bisa tenteram jika ada seorang kesatria yang dapat mengambil Layang Salaka Domas dari Jabaning Langit.”

Ketika terbangun di pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu Silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk Pangeran Guru Gantangan dan Pangeran Sunten Jaya, berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpi permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul dan menceritakan mimpi permaisuri, raja bertanya: “Apakah ada di antara kalian,  para kesatria, yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang Salaka Domas?”

Suasana pertemuan jadi hening seketika. Tidak ada suara terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia tak berani untuk berhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung.

Setelah beberapa saat suasana hening berlalu, patih Lengser angkat bicara: “Mohon ampun, Paduka, setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka. Tak ada sambutan. Bukankah masih ada satu orang lagi yang belum mendengarkannya. Dia kini berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah Pangeran Mundinglaya.”

Mendengar apa yang disampaikan oleh patih Lengser, raja segera memerintahkan agar Pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin Pangeran Guru Gantangan untuk melepaskan Pangeran Mundinglaya.

Ketika Pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, apakah engkau sanggup untuk mengambil jimat Layang Salaka Domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari malapetaka kehancuran?”

“Ayahanda, karena Layang Salaka Domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya,” jawab Pangeran Mundinglaya dengan hati mantap.

Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban tersebut. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi Pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasannya jika dia berhasil mendapatkan Layang Salaka Domas. Sementara bagi Pangeran Sunten Jaya, ini berarti tanpa susah payah bisa menyingkirkan saingannya. Dia yakin sekali jika pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Pikiran jahatnya muncul, maka berkatalah ia kepada Prabu Silihwangi: “Kakek, sesungguhnya dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, apakah ada jaminan kalau dia akan kembali.”

“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?” tanya Prabu Silihwangi dengan bijaksana.

“Apabila dia tidak kembali setelah sebulan, maka kanjeng ibu Padmawati harus dipenjarakan dalam istana.” Masyarakat dan para bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi bertanya kepada Pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”

”Ananda akan kembali dalam waktu sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”

Selanjutnya, untuk beberapa minggu, Pangeran Mundinglaya diajari oleh Patih Lengser ilmu kanuragan dan cara menggunakan berbagai macam jenis senjata sebagai persiapan menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Setelah dirasa cukup bekal, Pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Oleh karena dia tidak pernah keluar dari ibukota Pajajaran, Pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang Pangeran keluar masuk hutan, naik turun gunung untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para Guriang.

Dalam perjalanannya, Pangeran Mundinglaya melewati sebuah kerajaan kecil bernama Tanjung Barat yang merupakan bawahan dari kerajaan Pajajaran. Di sana Pangeran singgah, bertemu dan jatuh hati kepada putri kerajaan yang bernama Dewi Kania. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah Pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu Silihwangi untuk mendapatkan jimat Layang Salaka Domas.

Pangeran Mundinglaya melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba, di tengah perjalanan, di tengah hutan, dia dicegat oleh raksasa Jonggrang Kalapitung yang berdiri menghadang di depannya. “Hei, manusia! Berani-beraninya kamu memasuki wilayahku! Apakah kamu ingin menyerahkan diri sebagai santapanku?”

“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi Pangeran Mundinglaya berkelit, mengegoskan badannya dengan luwes. Berkali-kali si Raksasa menyerang pangeran Mundinglaya dengan tangkapan dan tubrukan, tapi selalu berhasil dihindari dengan lincah oleh Pangeran Mundinglaya, sehingga akhirnya ia jatuh ngegrusak ke tanah karena kehabisan napas. Pangeran Mundinglaya mencabut kerisnya. Sambil menjambak rambut dan menempelkan ujung keris di leher lawan, ia mengancam musuhnya.

“Katakan di mana Jabaning Langit?”

“Di dalam dirimu,”  jawab Jonggrang Kalapitung

Karena berpikir kalau si Raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si Raksasa.

“Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”

“Jabaning Langit ada di dalam hatimu.” Jawaban Jonggrang Kalapitung tak berubah.

Pangeran Mundinglaya menghela nafas, lalu melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku akan membebaskanmu, tapi tolong, jangan pernah lagi kau berani mengganggu lagi rakyat Pajajaran!”

Jonggrang Kalapitung menurut dan berterima kasih kepada Pangeran Mundinglaya, lalu pergi meninggalkan bumi Pajajaran untuk selamanya. Ketika dia pergi, Pangeran Mundinglaya mencari tempat untuk beristirahat dan berdoa, mohon pertolongan kepada Tuhan yang Maha Kuasa agar diberi petunjuk jalan.

Alkisah pada suatu hari, ketika dalam hening dan konstentrasi berdoa, Pangeran Mundinglaya merasakan seolah-olah dirinya terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh Guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas. Salah satu dari tujuh Guriang itu bertanya kepada Pangeran Mundinglaya mengapa sampai berani datang ke Jabaning Langit.

“Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil pusaka Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai tumbal untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang yang menderita dan mati memperebutkan sesuatu yang tidak jelas.”

“Kami menghargaimu, Pangeran Mundinglaya, akan tetapi mohon maaf, kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ajimat ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau sesuatu yang lain saja aku berikan sebagai hadiah untukmu? Misalnya, seorang putri cantik atau kesenangan yang lain, atau kami dapat menjadikanmu manusia paling suci di dunia?”

“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran harus terlibat dalam perang saudara.”

“He he he… Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.”

Maka terjadilah perkelahian yang tak seimbang, satu lawan tujuh. Karena para Guriang itu sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan tewas. Akan tetapi, sesaat setelah Pangeran Mundinglaya jatuh tersungkur, tiba-tiba muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya segera bersiap kembali untuk bertempur dengan para Guriang.

“Tidak perlu ada pertempuran lagi, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh Guriang, “engkau jujur, tidak tamak. Engkau memenuhi syarat untuk membawa pusaka Layang Salaka Domas.”  Maka segera ia serahkan pusaka Layang Salaka Domas itu kepada pangeran Mundinglaya.

Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Selanjutnya, dengan dipandu oleh tujuh Guriang itu,  pangeran Mundinglaya kembali pulang ke Pajajaran.

***

Sementara itu di keraton Pajajaran, Pangeran Sunten Jaya, dengan segala cara berusaha untuk  mengganggu ketentraman Permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, ia mengatakan bahwa sebenarnya permaisuri tidak bermimpi, bahwa dia sengaja berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.

Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di kerajaan Tanjung Barat dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Ia membawa prajurit segelas sepapan hendak mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang bersamaan, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya (tujuh Guriang) telah sampai ke Pajajaran. Prabu Silihwangi beserta keluarga istana serta rakyat Pajajaran menyambut dengan sorak sorai kegirangan. Pangeran Sunten Jaya ketahuan belangnya. Bersama para pengikutnya ia diusir dari istana.

Beberapa waktu kemudian, Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikan dirinya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri.  Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman sentausa. (AY)

DST, Jan.2020

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *