MONOLOG “DUNIA IBU” & “RED SHOES
Di Panggung WOMEN ON STAGE
Resensi Heryus Saputro Samhudi
Foto Restiawati Niskala

Sekelompok wanita pecinta seni di Jabodetabek, membentuk wadah organisasi bernama Women On Stage (WOS), yang diluncurkan pada 28 Desember 2019 dengan menggelar Panggung WOS #1 di Kafe @Qmaree di Raya Limo, Kota Depok, Jawa Barat, sekitar 15 menit bermobil dari Pangkalanjati – Pondok Labu, Jakarta Selatan. Beberapa acara digelar, antara lain berupa 2 (dua) pertunjukan drama monolog bertajuk “Dunia Ibu” dan “Red Shoes”.

Ibu yang batal dikunjungi anak

Monolog “Dunia Ibu” ditulis dan disutradarai Herlina Sjafrudin, Direktur WOS yang (mengaku) pernah 20 kali bermonolog di berbagai ruang publik. Berkait Hari Ibu – 22 Desember, monolog ini berkisah tentang seorang wanita mandiri yang telah lama ditinggal mati suaminya, sementara anaknya seorang memilih tinggal terpisah di rumah tangganya sendiri.

Betapapun hidup dan bekerja di atas kaki sendiri, dan punya banyak teman, tapi namanya Ibu, selalu ada rasa kangen ngumpul bareng anak yang lahir dari rahimnya, menerima ASI dan ia timang ayun ambing sekian lama. Maka saat si anak menelepon dan bilang akan dolan ke rumah, wanita paruh baya itu segera menghentikan segala aktivitasnya sebagai sosialita Ibukota. Ia bergegas memesan jasa ojek on-line, minta diantar ke pasar, antara lain untuk membeli sepapan tempe. Ya, tempe, bahan pangan olahan tradisional Indonesia dari kedelai.

[iklan]

“Anak saya paling suka tempe, digoreng atau pun diolah sebagai sayur dan lauk-pauk. Apa pun masakan dari tempe olahan saya, ia selalu lahap menikmatinya,” ungkap Dewi Maharani yang akrab dipanggil Dema, pemeran monolog “Dunia Ibu”, pada sekelompok pengunjung kafe yang duduk meriung mengitari meja kayu panjang.

Ada panggung kecil di ujung dalam kafe, sengaja disiapkan pengelola buat tampilan para penghibur. Tapi monolog “Dunia Ibu” digelar dengan konsep teater tanpa penonton. Dema sebagai pelakon, bergerak ‘menguasai’ ruang yang ada, mengajak para pengunjung kafe menjadi bagian dari lakon yang tengah ia bawakan. Sebentuk tontonan yang cair dan diperankan Dema dengan cukup baik.

Siapa Dema? Dimana ia pernah berteater, dan dalam lakon apa ia pernah berakting? Pihak WOS tidak memperkenalkannya sebelum pertunjukan, seolah ini sesuatu yang tidak penting, menjadikan penonton tak benar-benar ‘in’ dengan sajian monolog tersebut. Saya sendiri baru melihat Dema sore itu menjelang pentas. Tapi melihat caranya berlakon, terkesan…Dema sudah cukup akrab dengan dunia akting.

monolog

Secuil info datang dari Mas Uki Bayu Sejati, aktivis Teater Bulungan – Jakarta, yang menyebut Dema pernah hadir dalam lingkar pertunjukan seni (drama) di “Pengajian Terang Bulan” yang rutin digelar Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di Jombang – Jawa Timur dan Jogyakarta. Selebihnya, apa dan siapa Dema, sekadar ‘tanda tanya’. Baru belakangan Herlina menyebut bahwa Dema seorang freelancer yang tak terikat pada grup teater, dan penampilannya malam itu juga merupakan pengalaman pertama bermonolog bagi Dema. “Saya yang menawarkan Dema berlakon. Mulanya ia menolak. Tapi saya punya feeling, ia mampu,” ungkap Herlina via Whats-App.

Nyatanya Dema memang potensial berakting. Bagai ‘gelas kosong’ yang siap diisi ‘materi’ oleh pengatur laku, Dema memang mampu melakonkan monolog Dunia Ibu dengan luwes dan meyakinkan. Dibalut kebaya Jawa bernuansa hijau pupus, ia bergerak mengisi ruang kafe, melangkah rilaks di antara pengunjung, menawarkan isi hatinya. Klimaksnya saat ia permisi pada pengunjung yang tengah diajaknya bicara, karena HP-nya berbunyi. “Anak saya menelepon,” katanya sumringah. Dengan gembira ia berlari naik panggung, sambil mendekapkan HP ke telinga. Tapi di panggung wajahnya berobah sedih, bahkan belakangan ia menyusut matanya yang basah, “Anak saya tak jadi datang, ada kesibukan bisnis…,” isak Dema.

Sepatu Merah pengikat langkah

Nyaris tanpa jeda, pada detik-detik berakhirnya drama monolog “Dunia Ibu”, seorang wanita berbusana malam bernuansa pink yang amat seronok, bersepatu high-heels warna merah, masuk ‘panggung’ seraya menyalami dan memeluk Dema dengan hati luluh. Monolog Red Shoes yang diperankan Karensa Dewantoro, pun dimulai.

Siapa Karensa? Lagi-lagi pihak WOS sebagai penyelenggara lupa kasih masukan kepada hadirin di Kafe @Qmaree ihwal apa dan siapa aktrees satu ini, dan apa perlunya ia dihadirkan dalam pergelaran WOS #1 itu. Sehari setelah pertunjukan, Herlina cuma kasih secuil info bahwa Karensa …berasal dari Darah Rouge. Grup teater kah, Darah Rouge? Siapa saja peminat seni teater yang ikut aktif di dalamnya? Pernah pentas apa dan membawakan naskah apa? Tak ada kejelasan.

Sebagaimana perkenalan saya dengan Dema, sebagai pengemar pertunjukan seni drama di Indonesia, saya juga baru kali ini ‘kenal’ Karensa, saat ia menyiapkan pertunjukan, orientasi panggung dibantu seorang anak laki-laki, yang diinfokan beberapa teman sebagai putranya. Karensa yang sosoknya sedikit lebih tinggi dari saya (173 Cm), wanita paruh baya berdarah Eropa…yang lumayan lancar berbahasa Indonesia, dengan satu dua kata slank khas Jakarta terucap saat ia bicara. Bahkan sepanjang bermonolog, ia bersengaja memilih berbahasa Indonesia, tinimbang memamerkan kefasihannya berbabasa Inggris.

monolog

Seperti juga Dema, Karensa menyajikan monolog yang ia tulis dan sutradarai sendiri itu, dengan konsep teater tanpa penonton. Siapapun yang hadir di Kafe @Qmaree malam itu, ia ajak dan manfaatkan sebagai bagian dari pertunjukannya. Menyimak judulnya, jelas sekali bahwa drama monolog Red Shoe diadaptasi dari dongeng klasik bertajuk sama karya penulis dan penyair Denmark, Hans Christian Andersen (1805 -1875).

Meski produktif menulis drama, perjalanan, novel, dan puisi, Andersen paling dikenang sebagai penulis dongeng. Popularitas Andersen tidak terbatas pada anak-anak. Cerita-ceritanya mengungkap tema yang melampaui usia dan kebangsaan. Dongeng Andersen, yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 125 bahasa (termasuk di Indonesia), telah menjadi budaya tertanam dalam kesadaran kolektif Barat, mudah diakses anak-anak, tapi juga menyajikan pelajaran kebajikan dan ketahanan universal dalam menghadapi kesulitan untuk pembaca dewasa. Dongeng-dongeng Andersen banyak menginspirasi film (animasi maupun yang dilakoni manusia), drama panggung balet, dan pertunjukan lainnya.

Juga Red Shoes. (aslinya bertajuk Rode Sko) yang dipublis Andersen pertama kali di New Fairly Tales volume pertama yang terbit di Kopenhagen pada 7 April 1845. Intinya berkisah tentang gadis kecil yang “dipaksa” menari terus-menerus oleh sepasang sepatu kulit berwarna merah. Sebagaimana dongeng-dongeng HC Andersen lainnya, Red Shoes sudah diadaptasi ke berbagai media, termasuk film seri televisi untuk tontonan orang dewasa.

Di Indonesia, selain dalam bentuk komik anak, Red Shoe juga kerap hadir sebagai karya-karya adaptatif lain. Terakhir, tahun 2015, kisah ini menginspirasi wanita penulis Indonesia kelahiran Bulukumba – Sulawesi Selatan, 26 April 1989, yang menghasilkan novel laris bertajuk Take Off My Red Shoes.

Berdasarkan dongeng popular karya HC Andersen pula, Karensa Dewantoro menulis monolog Red Shoes. Ia juga menyutradarai sekaligus memerankan sosok wanita muda yang aktif di lorong-lorong kota di malam hari, dengan mengenakan sepasang Red Shoes. Ia bergerak kesana dan kemari, mengisahkan kepada dunia tentang siapa dirinya, yang tampak bahagia dalam glamoritas kehidupan malam, tapi sesungguhnya…yatim-piatu ini ditikam kesedihan yang dalam. Khususnya karena ia tak bisa lepas dari ‘arahan’ sepatunya untuk terus menari dan menari,

“Harus ada keberanian untuk mengakhiri semua ini,” kata Karensa. “Jangan mau terjebak pada rutinitas yang sebenarnya tak kita kehendaki.” Karensa tertawa, menangis dan tertawa. Klimaksnya, ia copot sepasang sepatu high heels warna merah itu, ia campakkan ke tengah jalan, dan ia coba menjadi dirinya sendiri…

Adegan copot sepatu ini sebenarnya bagian amat penting dalam drama monolog Red Shoes. Tapi sebagaimana monolog Dunia Ibu yang dibawakan Dema, tak ada pengantar apapun ihwal drama monolog ini, apalagi persoalan pokok yang melatarinya. Maka jangan kaget bila (sesungguhnya) banyak penonton yang nggak benar-benar faham, apa sebenarnya inti kisah tersebut. Tak heran pula bila adegan ‘copot sepatu’ berlalu begitu saja, tanpa kesan apapun dari penonton, hi…hi…hi…!

Dema dan Karensa. Selamat. Saya suka acting kalian. Semoga masih ada kesempatan menonton pertunjukan kalian lagi, dengan manajemen panggung yang lebih representatif. Salam budaya. (04/01/2020)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *