Mensiasati “Kursi-Kursi” Ionesco

Pentas Teater Satu-Lampung

Ini kisah sepasang lelaki perempuan yang sudah lanjut usia. Konon, mereka tinggal di suatu pulau – dikeliling lautan – jauh dari pantai. Bertahun-tahun. Maka merek  terjebak dalam rutinitas, kegiatan kehidupan yang diulang-ulang. Dari kamar tidur ke kamar tamu, dapur, jendela, kamar tamu, beranda, jendela, dan seterusnya, dari jam ke jam, hari ke minggu ke bulan ke tahun. Pagi ganti siang ganti sore ganti malam, ganti pagi…. mereka tenggelam di dalam rumah, padahal bumi terus beredar.

Pasangan suami-isteri itu mirip tahanan, bukan hanya rumah tetapi segala yang ada tak lebih baik dari kondisi penjara, membuat mereka bingung, bego, linglung. Karena pengulangan itu membuat yang lelaki tak mampu membedakan apakah dia masih kanak-kanak, atau dewasa atau tua. Dalam satu kalimat: mereka menjalani siklus hidup bersama maut, mendekati kematian.

Dalam siklus yang terus berputar pasutri renta itu selalu mencoba menghadirkan pengalaman hidup masa lalu, sebagai tokoh, sebagai perwira, sosok yang dihormati meski lazimnya memiliki atasan jenderal bahkan kaisar. Mereka mencari cara untuk menciptakan kegembiraan sendiri, dengan menjadi badut, misalnya, atau pun tuan rumah yang ramah melayani tamu-tamu yang datang.

Dalam drama “Kursi-Kursi” karya Ionesco itu kita diminta menjadi saksi kisah pasutri yang menciptakan dunia ilusi agar mereka dapat melarikan diri dari dunia nyata alias eskapistik. Berhasilkah?

[iklan]

Penyangkalan ataukah Kejanggalan?

Apakah Eugene Ionesco menulis naskah berjudul “the Chairs” atawa “Les Chaices” alias “Kursi-Kursi” juga sosok seniman yang eskapistik? Boleh jadi ini saling keterpengaruhan dengan seniman/filsuf pada jaman itu yang hadirkan kejanggalan atau sesuatu yang tidak rasional, sebagai drama – yang lain dari kebiasaan dan kebisaan masyarakat.

Dicuplik dari internet, ada bahasan seperti ini. Ionesco adalah penulis naskah dan sutradara – dilahirkan di Rumania pada 26 November 1909, menetap dan kiprah di Perancis, dan meninggal pada 28 Maret 1994. Ia adalah satu dari sedikit pendiri Theatre of Absurd – gerakan teatrikal pasca perang Prancis.

Absurdis – begitu sebutannya – berbagi banyak ide dengan para filsuf eksistensialis, seperti  Kierkegaard, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Samuel Beckett, Jean Anoulih, Antony Artaud. Kaum eksistensialis percaya bahwa kondisi manusia di alam semesta tidak masuk akal — di luar rasionalitas manusia — dan karenanya tidak ada artinya. Hanya dengan berkomitmen untuk bertanggung jawab pada kebaikan yang lebih besar, pikir mereka, kehidupan bisa memiliki makna.

teater ftj

Tak hanya itu, pada saat yang sama menunjukkan bahwa mereka memiliki keterasingan lantaran hanya berkutat dan bergulat dengan pemikirannya sendiri dan menggenggamnya seolah persoalan itu hanya milik pribadi – nyaris tak boleh dimiliki manusia lain di luar dirinya. Penyangkalan terhadap hidup berkehidupan dengan sesama mahluk. Padahal, mereka lahir dari rahim Ibunya berkat kerjasama dengan Bapaknya, artinya ada manusia-manusia lain dalam kehidupan bersama (baca: bermasyarakat)..

The Chairs adalah sandiwara “tragis” absurdis karya Eugène Ionesco. Itu ditulis pada tahun 1952 dan debut pada tahun yang sama. Selain itu, ia menulis naskah di antaranya: Badak-Badak, Biduanita Botak, Pemimpin, Pelajaran, Macbett.

8 pemain + 1 orator

Di Indonesia “Chairs” atau “Les Chaices” bukan hanya diterjemahkan “Kursi-Kursi” namun juga diolah-gubah oleh Rujito (alm.) – skenografer terkemuka – yang tahun 60 s/d 90-an bekerjasama dengan, antara lain:  Rendra, Arifin C.Noer, Sardono W.Kusumo, Putu Wijaya, dengan judul “Kereta Kencana.”

Naskah gubahan Rujito.memang menghadirkan keterasingan pasutri di tempat dan waktu antah berantah. Namun, bedanya, bagaimana pun muskil, nggerundel, misuh, tawa yang pahit,  rasa getir yang meruyak kehidupan – masih tetap ada harapan. Filosofi “Ratu Adil,” atau pun ”Imam Mahdi,” dihadirkan pada akhir cerita melalui imaji datangnya kereta kencana menjemput pasutri itu – boleh jadi – menerbangkan mereka ke nirwana.

Beda dengan garapan Teater Satu Lampung, yang pentas pada pembukaan Festival Teater Jakarta ke 46, 12 Nopember 2019, di Teater Jakarta, TIM. Penata artistik coba mengisi panggung besar dengan potongan-potongan tembok dinding rumah: ada kamar, beranda, jendela , juga dilengkapi dengan kursi-kursi, sehingga hadirkan batas pandang yang memadai, apalagi arahan sutradara menempatkan pemain di posisi yang pas sehingga penonton dapat menyaksikan adegan-adegan yang dipertunjukkan.

teater

Yang unik, pada umumnya banyak yang tahu bahwa  pemain naskah “Kursi-Kursi” adalah dua orang : sepasang suami-isteri, tetapi yang muncul dan mainkan seni peran di panggung empat kali lipatnya, alias 8 pemain pasutri + 1 orator. Bagaimana mungkin?

Bagi siapapun yang acapkali menyaksikan pentas drama, dan suka berselancar di dunia maya, saat membuka ihwal Eugene Ionesco, terbacalah bahwa naskah ini terdiri dari 4 babak – lumayan panjang. Dan, dari beberapa drama karya Ionesco, rata-rata diwarnai dengan runtutan peristiwa yang saling bertautan – terlepas dari wajar atau tidak wajar, maupun dibumbui dengan dialog-dialog yang acapkali tidak memiliki arti alias gak nyambung. Teater Satu – Lampung mengolah-garap naskah terjemahan Yudiaryani – yang tampaknya mencoba setia pada naskah asli. Dengan kata lain, jika hanya dilakukan oleh seorang pemain pria dan seorang pemain wanita, tentulah mereka harus berlatih jungkir-balik untuk mampu memainkan sekian banyak dialog dan adegan. Tentu, sangat tidak mudah.

Maka kepiawaian Iswadi Pratama – sutradara – patut dipujikan. O yaa, apa itu? Ia memilih dan menetapkan dua pemain di setiap babak. Jadi 4 babak = 8 pemain. Siasat jitu. Dengan demikian masing-masing pasangan dapat berlatih, wa bil khusus hanya mengolah-peran di babak yang menjadi tanggungjawab mereka. Juga memudahkan sutradara lebih fokus mengarahkan pemain.

“Stand Up Comedy”

Karena pentas “Kursi-Kursi” jadi pembuka FTJ ke 46 – maka jika ada juri yang melakukan penilaian, tercatat bahwa pasangan pemain babak 1 belum memainkan peran secara maksimal, padahal mereka diharapkan mengajak penonton masuk ke dalam lingkaran persoalan – yang di luar nalar. Untunglah di babak ke 2 dan ke 3 pasangan pemain dapat mengatasi kejenuhan, karena memang berisi upaya pasutri beradegan macam badut, dan dialog-dialog yang memancing tawa layaknya “stand-up comedy.” Mungkin saja ini menjadi kiat sutradara – menyesuaikan situasi-kondisi sebagian perilaku nitizen masa kini, yang kena sihir budaya “instant,” mudah meleceh-tertawakan orang lain, saling bully, dan semacamnya.

Menutup babak 4 sutradara bersiasat lagi dengan cara menghadirkan ke enam pemain babak sebelumnya untuk menyemarakkan panggung. Dan, di akhir adegan dimunculkan orator menyampaikan pidato – sebutlah semacam pembelaan terhadap ketidak-wajaran/absurditas,  di antaranya menyatakan bahwa keterasingan memilah fokus karena  kebenaran bukan hanya satu, juga..” usahalah bersatu dalam setiap waktu, dalam keabadian apabila kita bisa menjadi mahluk semesta.”.

teater lampung

“Kursi-Kursi” memang merupakan karya awal Ionesco. Untuk menonton pentas naskah ini ada baiknya penonton mempersiapkan benak-bathin akan hadirnya “sesuatu” yang lain dari umumnya. Tak perlu heran, sebab pengarangnya sendiri menyatakan bahwa ia menolak plot logis, pengembangan karakter, dan pemikiran drama tradisional. Juga,  alih-alih menciptakan adegan komedi pasti dirusaknya sendiri untuk menyampaikan ketidakberartian keberadaan manusia modern di alam semesta. Demikian. (Uki Bayu Sedjati)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *