Asal Mula Danau Toba
Diceritakan kembali oleh Abah Yoyok

Dahulu kala, ada seorang pemuda pengembara. Ia mengembara ke berbagai tempat di bumi Nusantara ini, sampai akhirnya ia menemukan tempat yang alamnya indah dan subur di daerah Sumatera Utara. Di sekitar tempat itu ada sungai yang jernih airnya yang membuat ia tertarik untuk menetap di tempat itu. Akhirnya, ia pun membangun sebuah rumah sederhana tidak jauh dari sungai. Rumah yang terdiri dari sebuah kamar tidur dan sebuah ruang dapur untuk memasak.

Setelah selesai mendirikan rumahnya, pemuda itu segera mencari sebidang tanah yang subur untuk bercocok tanam. Akhirnya ia menemukan juga tanah tak jauh dari rumahnya yang dianggapnya cocok. Ia lalu mulai membuka lahan dengan menebangi pohon-pohon besar dan membabat semak belukar. Kayu-kayunya ia kumpulkan untuk persediaan kayu bakar di rumahnya. Selain berladang, setiap hari  pemuda itu menyempatkan diri pergi ke sungai untuk memancing ikan.

[iklan]

Pada suatu siang, sehabis pulang dari ladangnya, pemuda itu pergi mancing ke sungai. Sudah cukup lama ia memancing, tapi tak seekor ikan pun yang menyentuh umpannya. Berkali-kali ia mengangkat dan melemparkan kembali pancing ke sungai, tetapi belum juga ada ikan yang memakan umpan pancingnya.

“Aneh!” pikirnya dalam hati, “ Kenapa tidak ada  ikan yang menyentuh umpanku? Biasanya setiap kali aku melemparkan pancingku ke sungai, langsung disambar ikan. Apakah ikan di sungai ini sudah habis?”

Setelah mencoba untuk menunggu beberapa saat lagi tapi pancingnya tak juga disentuh ikan, akhirnya si pemuda memutuskan untuk berhenti memancing dan pulang saja. Akan teapi, ketika ia hendak menarik pancingnya, tiba-tiba seekor ikan menyambarnya. Setelah beberapa saat membiarkan pancingnya ditarik ikan ke sana kemari, ia pun menariknya pancingnya perlahan-lahan. Pancingnya terasa berat.

“Aduuuh, berat sekali! Ini pasti ikan besar yang menarik pancingku,” pikir pemuda itu.

Ternyata benar. Setelah dengan susah payah pemuda itu menarik pancingnya, tampaklah seekor ikan besar tergantung dan mengelepar-gelepar di ujung tali pancingnya. Dengan cepat, ia mengangkat pancingnya agak jauh ke darat agar ikan tidak terlepas lagi ke sungai. Alangkah senang hati pemuda itu, karena baru kali ini ia mendapatkan ikan sebesar itu.

Ketika si pemuda melepaskan ikan dari mata pancingnya, ikan itu menatapnya dengan penuh arti. Entah mengapa, si pemuda merasa kalau tatapan mata ikan itu bagai tatapan mata seorang gadis yang jatuh hati kepadanya. Tetapi, akal sehat pemuda itu berpikir bahwa tidak mungkin seekor ikan bisa jatuh hati kepadanya.

Dengan perasaan gembira, ia segera memasukkan ikan itu ke dalam keranjang tempat ikan, lalu segera pulang ke rumahnya sambil membayangkan betapa lezatnya kalau daging ikan besar itu dipanggang. Sesampainya di rumah, si pemuda langsung membawa ikan ke dapur. Ketika hendak memanggang ikan itu, ternyata persediaan kayu bakar telah habis. Ia segera keluar mengambil kayu bakar di belakang rumah. Alangkah terkejutnya ia setelah kembali ke dapurnya ternyata ikan yang tersimpan di keranjangnya sudah tidak ada lagi.

“Oh, di mana ikanku? Perasaan tadi masih ada di keranjang ini?” gumam pemuda itu dengan heran sembari memegang keranjang wadah ikannya. Ketika kemudian ia memeriksa wadah ikannya, ia melihat ada beberapa keping uang emas. Ia pun semakin heran dan bingung.

“Aneh! Kenapa ada kepingan uang emas di sini? Uang siapa ini?” gumamnya lagi.

Dengan perasaan heran dan bingung, si pemuda segera mengambil kepingan uang emas yang ada di dalam keranjang tempat ikannya dan hendak menyimpannya ke kamar. Ketika ia membuka pintu kamarnya, betapa terkejutmya ia. Ia melihat ada seorang gadis sedang berdiri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang terurai. Manakala gadis itu membalikkan badan dan memandangnya, hati sang pemuda langsung bergetar melihat kecantikan si gadis. Selama bertahun-tahun mengembara ke berbagai tempat, baru kali ini ia melihat ada gadis secantik dia.

“Hai, kamu ini siapa? Mengapa berada di kamarku?” tanya pemuda itu heran.

Si Gadis tak segera menjawab pertanyaan, begitu balik badan ia mendekati si Pemuda dan mengajaknya ke dapur. Si pemuda hanya menurut saja bagai kerbau dicocok hidungnya. Sesampainya di dapur, si Gadis langsung mengambil beras untuk dimasak. Sambil menunggu nasi matang, si Gadis bercerita.

“Maafkan saya, Tuan, apabila kedatangan saya ke sini telah mengganggu ketenangan Tuan. Sesungguhnya saya dalah penjelmaan dari ikan yang Tuan bawa dari sungai tadi. Adapun kepingan uang emas yang ada di keranjang wadah ikan itu adalah penjelmaan dari sisik saya,” cerita Gadis itu dengan wajah memelas.

Selesai si Gadis bercerita, si Pemuda menghela nafas panjang, menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan tak percaya pada cerita si Gadis. Tetapi apa yang dihadapinya adalah kenyataan. Bukan sekedar mimpi! Karena hatinya masih merasa ragu-ragu, ia ingin bertanya. Baru saja ia membuka mulut ingin bertanya, si gadis kembali angkat bicara.

“Jika Tuan berkenan, bolehkah saya tinggal bersama Tuan di sini?” pinta Gadis itu.

“Dengan senang hati. Silahkan, Putri!” jawab Pemuda itu.

Singkat cerita, si Gadis tinggal di rumah si Pemuda. Tak sampai satu bulan lamanya hidup bersama dengan seorang Gadis, si Pemuda pun melamarnya untuk dijadikan istri. Si Gadis menerimanya dengan syarat. Katanya: “Saya terima lamaran Tuan, akan tetapi saya ada satu permintaan.”

“Apakah permintaanmu, Putri?” tanya si Pemuda.

“Saya mohon dengan sangat agar kiranya Tuan tidak akan menceritakan asal usul saya sebagai penjelmaan dari seekor ikan, kepada siapa pun juga,” pinta Gadis itu.

“Baik, saya terima permintaanmu. Saya bersumpah, tidak akan pernah menceritakan asal-usulmu kepada siapapun,” janji sang Pemuda.

Setelah si Pemuda mengucapkan sumpahnya, keduanya lalu menikah. Setahun kemudian mereka dikaruniai seorang anak lelaki yang tampan. Mereka merawat anak itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Akan tetapi karena kasih sayang yang berlebihan, anak itu menjadi anak yang manja dan pemalas.

Suatu ketika, saat anak itu beranjak dewasa, ia disuruh oleh ibunya menghantarkan sebungkus nasi dan ikan panggang untuk ayahnya yang sedang bekerja di lading, anak itu menolak. Sang Ibu memaksanya karena ia sedang dalam keadaan sakit. Dengan perasaan kesal si anak menghantarkan makanan untuk ayahnya. Di tengah perjalanan si anak merasa lapar. Ia segera berhenti di bawah sebuah pohon lalu duduk dan membuka bungkusan nasi yang harus ia sampaikan untuk ayahnya. Dengan lahapnya ia lalu memakan sebagian nasi dan lauk pauknya hingga yang tersisa sedikit nasi dan daging ikan yang masih menempel di tulangnya. Setelah merasa kenyang, ia pun membungkus kembali sisa nasi dan lauk pauknya, dan melanjutkan perjalanannya menuju ke ladang. Sesampainya di lading ia segera menyerahkan bungkusan nasi itu kepada ayahnya.

“Hmm… kamu memang anakku yang baik dan pintar,” puji sang Ayah sembari menerims bungkusan. Karena memang sudah merasa lapar, si Ayah segera membuka bungkusan. Betapa kagetnya ia ketika melihat isi bungkusan yang hanya sisa nasi dan tulang ikan. Hatinya yang semula senang, mendadak jadi kesal dan marah.

“Hei, mengapa isi bungkusan ini hanya sedikit. Tinggal sisa-sisa?” tanya sang Ayah dengan kesal.

“Maaf, Ayah! Nasi dan lauknya sudah saya makan tadi. Saya lapar, jadi saya…..”

Belum sempat si anak melanjutkan kata-katanya, telapak tangan sang Ayah sudah melayang, menampar pipi sang anak sambil mengumpat.  “Dasar anak tak tahu diuntung! Kamu memang benar-benar anak keturuan ikan!”

Sambil mengelus-elus pipinya dan menahan rasa sakit, anak itu bertanya kepada ayahnya, “Apa maksud Ayah? Mengapa Ayah mengatakan aku anak keturunan ikan?”

“Hei, anak tak tahu diuntung. Ketahuilah, nak. Ibumu itu adalah penjelmaan dari seekor ikan.”

Mendengar jawaban ayahnya, anak itu segera berlari pulang ke rumah sambil menangis. Sesampainya di rumah, ia langsung mengadu kepada ibunya.

“Hu hu…Ibu… Ibu…! Aku dipukul Ayah. Kata Ayah aku ini anak keturunan ikan. Hu hu hu… Apa benar begitu, Bu?” kata si anak.

Tentu saja sang Ibu jadi sedih hatinya ketika mendengar pengaduan anaknya, karena suaminya telah melanggar sumpah dengan kata-kata cercaan yang mengungkit asal asulnya. Seketika itu juga ia menyuruh anaknya agar segera naik ke puncak bukit.

“Anakku, segera naiklah kamu ke puncak bukit di belakang rumah kita, lalu panjatlah pohon yang paling tinggi!” seru sang Ibu sambil meneteskan air mata.

Tanpa banyak tanya lagi, dalam keadaan bingung si anak segera berlari ke atas bukit yang tidak jauh dari belakang rumah mereka. Ketika anak itu sampai di lereng bukit, sang Ibu segera berlari menuju ke sungai. Ketika ia sampai di tepi sungai, cuaca yang semula cerah, tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita. Langit bergemuruh dan sesekali diselingi petir yang saling menyambar-nyambar. Hujan pun turun sangat deras. Pada saat itulah, sang Ibu melompat ke dalam sungai dan tiba-tiba berubah menjadi seekor ikan besar. Tak berapa lama kemudian, sungai banjir dan airnya meluap ke mana-mana, sehingga tergenanglah lembah tempat sungai itu mengalir. Lama kelamaan, genangan air itu semakin meluas dan akhirnya berubah menjadi sebuah danau yang sangat besar. Oleh masyarakat setempat, danau itu dinamakan Danau Toba.
*****

DST.AY.nop 2019

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *