Setiap puisi memiliki proses penciptaan yang berbeda-beda dari pengalaman penyairnya. Itulah mengapa puisi bisa dikatakan karya sastra yang komplek. Kedekatan puisi dan pengalaman penyairnya itu menjadi setiap larik dalam puisi terasa romantis, sendu, sepi, tajam, keras bahkan dingin. Seperti membaca puisi-puisi Titis Nariyah, setiap lariknya seolah tengah mendeskripsikan gejolak batinnya. Puisi-puisinya hidup dalam setiap orang ketika selesai membacanya, seolah apa yang dituliskan oleh Titis adalah pengalaman setiap manusia, khususnya perempuan dalam mengenal kehidupan dan cinta. (Redaksi)
[iklan]
Puisi-Puisi Titis Nariyah
Melankolia Hujan Dan Musik Bisu
Padahal aku sudah nyaman
berdansa di bawah rinai hujan
yang sejuk aroma tubuhmu
jika saja kutak kunjung sadar
pelangimu bukan lagi aku
Senda guaraumu serupa musik
dari piringan hitam
yang pelan-pelan sekali kusentuhkan
pada stylus
lalu kuputar berulang-ulang
;kini sengau
Aku betah berlama-lama
menyusuri jejak hutan teduh matamu
terbenam di sana selama-lamanya
;terjerat
Di luar hujan
mendera jatuh
banyak namun diam
seperti percakapan-percakapan kita
yang mirip simposium
tanpa menuai kata mafhum
Kakiku berhenti berdansa
Gramofon tak lagi bersuara
di hutan terlalu terik
aku berangkat dari semua sia-sia
tanpa mengoyak kata-kata
Seseorang Yang Kujabat Tangannya Dua Kali
Pertama
bertemu, berjabat tangan, kau menyeringai
Lalu aku mengernyit mirip orang mengadu ingat
; lucu
Sudah kusimpan satu kalimat sejak itu
sorot matamu jenaka, mulutmu lapar kata-kata
Perjalanan dimulai
kau tak sekalipun bicara tentang akumu
pun akuku
kita seperti sepasang sepatu yang keliru
tetap berjalan meski agak malu-malu
aku jelas ingin berkata-kata
tapi rangkaian kalimat menguap entah kemana
mungkin jadi kabut
Terakhir
kita berpisah di tepi jalan
tempat kau hendak makan
kembali berjabat tangan
mungkin (tidak) akan terjadi pertemuan kembali
Aku pulang
tanpa sadar namamu telah tertapa rapi di sisi hati
mampus aku dimaki-maki sepi!
Nyala Terang
Kepalaku pernah menyala seterang itu
Senyumku pernah selebar mulut badut berhidung merah
Sebelum satu kata darimu mewujud jelaga
Mengerak dalam dada
Nanti jika kita bertemu kembali
Aku sudah berangkat dari luka sebab kausayat
Tapi, kau tidak akan kuhapus dari puisi
Sebab kenangmu adalah bangku ruang kelas
Yang sengaja kucoret-coret agar membekas
Pelajaran yang jelas tak ingin kuulang
TITIS NARIYAH, lahir di Pekalongan. Selain hobi membaca, penulis juga gemar menekuni dunia pementasan. Bisa ditemui di Instagram @titis_n atau titisnariyah@gmail.com.