Jibril yang Jatuh dari Langit Enambelas

Nana Sastrawan

Suatu kebetulankah jika puisi bertemu dengan penyairnya, atau penyair bertemu dengan puisinya? Pertanyaan itu kerap muncul dalam setiap diskusi kecil di dalam komunitas atau diskusi besar berwujud seminar di kampus. Jawaban bermunculan, dan setelah mendengar jawaban-jawaban tentang pertanyaan itu selalu saja ada ketidakpuasan, atau bisa jadi suatu yang membingungkan. Ya, sering kali terjadi diskusi-diskusi tentang puisi dapat diambil intisarinya, atau malah tidak berfaedah sama sekali. Itu bisa dibuktikan dengan masih ditemukan orang-orang yang mempelajari sastra masih kesulitan menciptakan puisi, atau masih sulit membedakan metafora dengan diksi dalam puisi. Tetapi, patut dicatat juga, banyak bermunculan penyair muda yang menerbitkan buku puisi. Bahkan di antara mereka membaptis dirinya sebagai generasi penyair baru, atau penyair milenial. Gejala ini karena salah satu faktor mudahnya menerbitkan buku puisi di zaman sekarang yang disebabkan bermunculan jasa penerbitan yang menjamur di setiap daerah.

[iklan]

Beberapa kali, saya bertemu dan berbincang dengan penyair tentang puisi untuk menemukan hakikat puisi, selain pada buku-buku yang dibaca. Pada suatu kesempatan saya bertemu dengan Syarif. Harus saya akui dia memiliki kepribadian yang unik.

“Saya ini keponakan Jibril, yang turun dari langit keenam belas!” katanya.

Tentu saja, pernyataan itu akan membuat orang terperangah, dan mungkin akan beranggapan dia adalah seseorang yang gila. Tetapi, bagi saya ini bukan suatu hal yang baru, bertemu dengan orang-orang yang nyentrik, unik dan aneh sudah tergolong biasa dalam kehidupan saya sebagai penulis. Tidak hanya itu, pemikiran-pemikiran yang aneh pun sering saya dapatkan dari beberapa penulis atau penyair yang saya jumpai, pernah juga saya mendengar dari mulut seorang penulis tentang Nabi Adam itu dari Indonesia, Kapal Nabi Nuh dibuat di Indonesia, dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran ini tentu sering membuat kita merasa bahwa orang-orang yang melontarkan pernyataan itu adalah orang-orang tidak waras. Tapi, janganlah mengatakan buah itu busuk hanya melihat warna kulitnya, kupaslah! Maka, kita akan menemukan suatu kebenaran.

Dari setiap perbincangan puisi dengan Syarif, saya menemukan pernyataan-pernyataan lain tentang puisi, apalagi dia ternyata sudah menekuni dunia perpuisian sejak dia bersekolah, nyantri dan berpergian ke berbagai daerah, belum lagi pergaulannya di dunia perpuisian juga bukan tergolong baru, mungkin bisa dikatakan dia lebih dulu mengenal puisi daripada saya. Dari perbincangan-perbincangan itu, saya merasa bahwa saya sebenarnya yang tidak waras. Sebab bisa disimpulkan bahwa puisi seperti kalimat tauhid dalam agama Islam; Aku bersaksi bahwa tidak ada puisi selain puisi itu sendiri, dan aku bersaksi bahwa puisi adalah ayat-ayat kehidupan yang dituliskan oleh penyair.

Ya, puisi adalah perkara penyair. Seberapa jauh dia mengenal bahasa, seberapa dalam dia mengamati lingkungan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi, tekhnologi, agama dan lain-lain. Puisi tidak sekadar karya imajinasi. Puisi memiliki wilayah tersendiri dalam proses penciptaannya. Dia lahir dan berkembang lewat jalannya sendiri. Membawa nasibnya entah ke mana. Puisi memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan ragam sastra lainnya. Ia padat, kuat dan berkarakter hingga puisi hadir dalam ruang yang intisari semacam ekstraksi yang diperas dari berbagai pengalaman hidup. Tetapi justru karena itu pula, puisi punya peluang yang luas dan dalam ketika ia sampai pada penafsiran dan pemaknaanya. Oleh karena itu, suasana di dalam puisi kerap ditafsirmaknai sebagai kegelisahan penyairnya itu sendiri; suasana batin yang cenderung bersifat sangat individual ketika berhadapan dengan pengalaman eksistensial, menyebar sebagai pengalaman bersama. Maka, meskipun penyair mengangkat berbagai tema, kegalauan individual yang sangat personal itu, akan ditafsirmaknai sebagai problem sosio-kultural. Segalanya seperti dipulangkan kembali kepada diri, dan sekaligus dicantelkan pada hakikat kehidupan manusia yang berlaku universal. Jadilah yang muncul ibarat potret dirinya dalam proses memberi makna pada kehidupan manusia. Demikianlah puisi, ia memiliki kepribadian, gaya ucap dan bentuk estetik yang khas, tetapi menyimpan universalitas.

Pada puisi Istiqlal misalnya, Syarif menumbuhkan kegalauan pribadinya yang dapat dimaknai sebagai pengalaman batin yang mungkin memiliki hubungan dengan yang lain.

Di beranda rumah bunda
kumerasa engkau berada di sebelah kiri
sejuk menatap ceremai yang dingin
menanti kehangatan di sisi
menyemai lamunan
 
Dan engkaulah
yang di sana
dalam sapa

Sebagaimana diketahui bahwa Istiqlal adalah bahasa Arab yang mempunyai arti ‘merdeka’ dalam bahasa Indonesia. Dia hendak menyampaikan sikap merdeka, bebas tanpa tekanan. Lalu, merdeka seperti apa yang dimaksud oleh Syarif? Jika kita amati perjalanan Syarif dalam mencipta puisi tentu bukan sesuatu yang tiba-tiba saja tercipta atau, kata-kata itu jatuh dari langit seperti hujan. Syarif hampir menghabiskan hari-harinya dari pesantren satu ke yang lainnya, sehingga hubungan emosional dalam dirinya terbangun dari wilayah keagamaan. Puisinya semacam candu yang dia sendiri mabuk dibuatnya, atau untuk media dakwah kepada umat. Kemerdekaan yang hakiki, adalah ketika jiwa dalam diri kita menyapa dengan Tuhan, atau saling bertegur sapa.

Dia pun mempertegas sikap yang merdeka di puisi ‘Taroji’ yang dapat diartikan ‘berharap atau sesuatu yang mungkin’

Bertumpang tindih
            segenap angan
            melanda rencana
            sehingga pada puncak
            ledakan tanpa apa
 
            mari heningkan
            sejenak ke dalam diri yang fana
            tentang kesiapan kembali
            ke tanah harapan
            menuju akhirat
            yang abstrak
 
            hanya doa yang kupinta,
            semoga anak-cucu kita bermakna dan berguna
            dengan kemerdekaan di jiwa

Di sini, Ia hendak menafsirkan harapan. Terasa nuansa yang sepi dalam keramaian yang berkelidan dari pikirannya dan kehidupan. Misalnya, Bertumpang tindih/segenap angan/melanda rencana/sehingga pada puncak/ledakan tanpa apa/mari heningkan/sejenak ke dalam diri yang fana. Sebuah paradoks yang bagi Carl Gustav Jung (1998) sebagai bentuk dari salah satu fungsi positif Anima yang terdapat dalam jiwa laki-laki: “Kapan pun akal manusia selalu gagal mendeteksi tindakan tersembunyi dari ketidaksadaran”. Puisi ini membuka kemungkinan pikiran berdamai dengan dirinya sendiri; dengan nilai-nilai batin yang justru nyata. Dengan pengakuan khusus ini, penyair memainkan peran sebagai pemandu dan mediator antara “aku” dan dunia “batin”. Sehingga harapan tentang kemerdekaan terwujud pada jiwa.

Tidak hanya itu, sikap Syarif terhadap prilaku manusia yang tidak sesuai dengan ilmu yang dimiliki, ucapan yang dilontarkan tentang kebaikan tercermin dalam beberapa puisinya, seperti pada ‘Maha sia-sia’.

Sedari sekarang
melebihi cukup
dari sudah
bagiku berbicara
mengenai cerita
yang semakin menjauh
dari realita
dan kasat mata
memandang fakta
 
kepada mereka
dan kalian semua
siapa saja yang sudah
dan rajin diskusi
serta mencatat
berbagai macam
disiplin ilmu
namun tanpa amaliyah
yang meresap
ke dalam diri sendiri
sehingga membumi
sambil melepaskannya
dari segenap tendensi
dan pamrih duniawi
 
Cukup sia-sia.

Jelas tersirat dari larik puisi di atas bahwa sesuatu yang terlihat, terucap dari siapa pun yang memiliki disiplin ilmu tak mencerminkan kualitas prilaku yang baik dan benar. Mudahnya, ucapan tak sesuai dengan perbuatan, gelar tak cocok dengan prilaku. Tentu saja, fenomena seperti ini kerap terjadi dalam lingkungan kita dalam kehidupan sehari-hari. Sikap kritis Syarif pun dituliskan di puisi ‘Dalam Sebuah Rapat’.

Sesak merapat menuai
jajak pendapat
tanpa tindak
sangatlah kurang bijak,
kalau hanya mengendap
dalam otak
yang terkotak-kotak
sampai jidat mengkilap
 
Demi pertimbangan
banyak orang mengawang-ngawang,
sedangkan kebutuhan
tak kenal kompromi dengan kata nanti
dan kita berdalih sambil menunggu
terpenuhi
tanpa sambil mengisi
 
Sangat ironis
sebuah kebijakan diambil
karena takut pada caci-merca,
cemooh dan mencari aman dari sesama
padahal kebutuhan tak terperi
di setiap hari
dan menanti adalah teori mati

Puisi ini seperti menggambarkan sikap ketidakadilan atau lebih tidak manusiawi lagi, yaitu kesewenang-wenangan dan keserakahan. Bisa jadi orang-orang di lingkungan sekitar kita, para pemimpin, wakil rakyat dan lainnya. Syarif, hendak menyampaikan suatu sikap yang benar secara gamblang, bahwa hubungan antar manusia yang baik dan benar, dapat mewujudkan hubungan yang lebih suci, kepada Tuhan.

Syarif memberikan penerangan pada orang-orang yang berprilaku seperti itu pada puisi ‘Tanpa Ampun atau Kata Maaf Iku Maujud’.

Cukup sudah dengan menyimpan biji kesumat kepada
siapapun, niscaya engkau dilupakan hati oleh Tuhan untuk
selalu berbagi nikmat bersamanya.

Syarif yang dikenal sebagai wartawan, tukang potret, guru bagi santri-santrinya, tidak ingin kegelisahan yang ada dalam dirinya selesai dan menguap begitu saja. Dia memberikan pesan singkat pada puisi-puisinya yang dapat dimaknai sebagai upaya ikrar dalam hati untuk tetap konsisten di jalur kepenyairan.

Simaklah puisi berjudul ‘Mencatat Puisi’, dia tidak ingin hari-hari dalam kehidupannya menjauh dari puisi.

Pada hari-hari
yang tak nampak jauh berbeda,
langit selalu bocor

begitu deras,
 
Aku masih setia dengan kealpaannya
meraba-raba kehilangan kertas
dan pena di beranda
 
Padamu juga kalian
aku berkesan-pesan

Tentu saja, puisi-puisi Syarif ditulis dengan pengolahan pikir dan rasa yang tidak cepat meskipun terbaca dan terasa begitu gamblang dimaknai. Tetapi, penyair sejati tidak terjebak pada pengalaman pribadinya, dia mesti memiliki kemampuan berbahasa dengan baik dan benar. Tidak juga sempit dalam mengolah tema, pikirannya luas sehingga memiliki sudut pandang yang berkarakter. Diksi, metafora dan gaya bahasa lainnya tidak terlalu tampak pada puisi-puisi Syarif. Bisa jadi, dia memang sengaja untuk menghasilkan puisi-puisi yang jelas, bukan puisi gelap yang sulit dimaknai, atau memang lingkungan pesantren yang membentuk keilmuannya dalam mengolah tema menjadi bahasa puisi yang tampak sederhana. Apapun itu, saya sangat mengapresiasi pencapaiannya, dari dirinya saya dapat menyakinkan diri bahwa puisi tidak kebetulan menemui penyair, begitupun sebaliknya.

Mengutip ungkapan Sitor Situmorang yang ditulis dalam esainya tentang Angkatan 45 di tahun 1949. “Kegelisahan tanda hidup”. Pernyataan itu menegaskan bahwa para penulis akan tetap berkarya sepanjang usianya, jika ia dapat memelihara kepekaannya pada kehidupan sekitar. Itulah yang dimaksud Sitor sebagai kegelisahan. Ia marah, benci, cinta, dan entah apalagi, ketika gejolak sosial memaksanya untuk tak sekadar jadi penonton. Ia mesti menyuarakan panggilan kebudayaannya. Di situlah peran penyair mengejawantah dalam puisi. Maka, sebagai penyair, mereka tidak akan pernah pensiun memelihara semangat hidup untuk mencipta. Kegelisahan itulah yang akan selalu menghidupi kreativitasnya. Dan kreativitas itu memancar dari berbagai indera yang menangkap peristiwa.

Syarif telah membuktikan. Tidak hanya ucapan-ucapannya saja yang unik dalam keseharian, pikirannya pun jernih. Dia terus belajar menjadi manusia yang berprilaku yang ‘handap asor, suatu sikap rendah hati yang jarang dianut oleh sebagian besar orang di muka bumi. Dia tampil sebagai manusia sederhana, apa adanya, berbicara blak-blakan tanpa ditutup-tutupi, tanpa dikurang dan dilebihkan. Seperti Jibril, hamba Allah yang tidak mengurangi dan melebihkan firman-firman yang dipercayakan kepadanya untuk diturunkan kepada para Nabi. Jibril yang jatuh dari langit enambelas, atau mungkin dari langit yang keseratus, seribu, dan seterusnya.

Januari 2019.   

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *