Mayat di Tempat Tidur Yulia
Johara Masruroh
Pagi itu dingin sekali. Hujan semalam masih menyisakan rintik-rintik gerimis. Yulia belum sepenuhnya sadar dari tidur. Dengan mata setengah terpejam ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06.00. Saat berusaha bangun, Yulia menyadari ada sesuatu yang ganjil. Ia menjerit seketika. Sesosok mayat dengan luka di sekujur tubuh terbaring di sampingnya.
Yulia melompat dari tempat tidur. Ia masuk ke kamar mandi dan terduduk lesu dengan wajah ketakutan. Sesosok mayat itu tak dapat dilihatnya dengan jelas karena sebagian besar wajahnya telah hancur. Namun, ia dapat memastikan mayat itu seorang perempuan.
Yulia bangkit dan mencuci muka. Ia sendirian di rumah sewanya yang sempit dan cukup berjauhan dengan tetangga. Bisa dipastikan tak satu pun tetangga yang mendengar jeritannya. Ia berpikir untuk segera melapor polisi. Namun sial, ponselnya tertinggal di kasur bersama mayat yang sama sekali tak ia ketahui asal-usulnya.
Yulia memberanikan diri melangkah ke kamar. Dari balik pintu ia mengintip. Aneh, tidak ada apa-apa di atas tempat tidur. Yulia meraba kasurnya dan hanya menemukan remah-remah keripik kentang yang berceceran bekas ia ngemil semalam. Setetes noda darah pun tak menempel di spreinya, padahal mayat yang dilihatnya penuh luka.
“Sialan, mungkin ini karena aku terlalu sering nonton film horor,” umpat Yulia. Meski sangat menyukai film-film horror, tak sekali pun Yulia pernah mengalami kejadian semacam ini sebelumnya. Ia juga tidak bisa melihat penampakan jin atau pun setan. Waktu SMA, seorang temannya pernah mengajak melakukan sebuah ritual agar ia bisa melihat hal-hal gaib. Namun, Yulia menolak karena memang sama sekali tak tertarik.
Tiba-tiba ponsel Yulia berdering. Tangannya segera meraih ponsel yang memunculkan foto profil ibunya di layar. Sudah sebulan lebih Yulia tidak menghubungi keluarganya di desa. Padahal ibunya sudah berpesan untuk sering-sering berkabar. Maklum, Yulia anak perempuan satu-satunya dari empat bersaudara.
“Yul, kamu baik-baik saja kan? Ibu kepikiran kamu terus pagi ini,” tanya ibunya.
“Yulia sehat-sehat kok di sini. Maaf, Yulia sampai lupa menghubungi Ibu.”
“Ya sudah kalau begitu, jangan diulangi nggak kirim kabar seperti ini. Bapak dan adik-adikmu di rumah baik-baik semua. Kamu jaga diri ya.”
Yulia menutup panggilan ibunya. Ia teringat mayat itu lagi. Sebenarnya Yulia ingin menceritakan kejadian yang ia alami pagi ini. Namun, hal itu urung ia lakukan karena pasti ibunya khawatir dan memintanya kembali ke desa. “Kamu ini perempuan, di rumah saja tunggu lelaki datang meminang.” Ibunya pasti akan berkata begitu disertai ceramah panjang.
Yulia ingin hidup di kota. Sejak kecil ia membayangkan betapa senangnya bisa melihat gedung-gedung yang tinggi menjulang. Karena itu, setelah lulus SMA, Yulia meminta izin merantau. Untungnya, ia langsung diterima bekerja di pusat perbelanjaan, tepatnya di sebuah toko baju milik seorang keturunan Cina.
Yulia menyalakan televisi agar suasana di rumah sewanya tak terlalu sepi. Ia mendengarkan siaran berita pagi sembari membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Segelas teh hangat dan nasi telur dadar akan cukup untuk mengganjal perutnya sampai waktu makan siang. Saat membuka mulut untuk suapan pertama, tiba-tiba Yulia dibuat mual oleh berita yang ditayangkan di televisi.
“Ditemukan jenazah seorang membusuk di rumah kosnya. Perempuan tersebut diduga bunuh diri dan saat ini polisi masih menyelidiki motifnya,” kata sang penyiar.
Yulia langsung kehilangan selera makan. Perutnya seperti diaduk dan ia teringat lagi dengan mayat yang dilihatnya saat bangun tidur. Untunglah, teh hangat yang dibuatnya sedikit mengurangi rasa mual. Ia kemudian bergegas bersiap berangkat bekerja.
Yulia biasa naik bus menuju tempat kerjanya. Pagi itu suasana di halte cukup ramai. Sembari menunggu bus datang, Yulia memainkan game di ponselnya. Saat sedang asyik, tiba-tiba terdengar suara jeritan warga. Orang-orang di halte itu, termasuk Yulia, langsung berlari ke arah suara.
Ternyata ada tabrakan antara dua pengendara motor. Dua-duanya wanita dan tewas di tempat karena kepala korban yang tanpa pengaman menghantam aspal. Yulia kembali merasa mual melihat darah yang berceceran. Ia buru-buru kembali ke halte dan tak lama bus yang ditunggunya tiba. Untungnya, ia masih mendapat kursi di dalam bus yang hampir penuh dengan penumpang.
Ponselnya berdenting pertanda sebuah pesan masuk. “Yul, kamu tidak apa-apa, kan?” Yulia membaca pesan singkat dari ibunya. “Mungkinkah ibu tahu aku mengalami hal aneh pagi ini?” gumamnya.
“Yulia baik, Bu. Ini sedang dalam perjalanan ke tempat kerja.” Yulia segera membalas pesan itu dan lega karena ibunya tak lagi bertanya. Namun, ia tak mengerti dengan rentetan peristiwa yang ia lihat pagi ini. Mengapa ia melihat peristiwa berkaitan dengan orang mati? Mayat di tempat tidur, siaran berita perempuan bunuh diri, dan terakhir dua pengendara motor yang tewas seketika. Semua itu membuat kepalanya pusing. Ditambah lagi, pagi ini sudah dua kali ibunya menghubungi sekadar untuk bertanya kabar.
“Ada apa dengan semua ini? Apa aku bisa melihat pertanda kematian?” gumamnya lagi.
Yulia berusaha mengaitkan mayat yang dilihatnya di tempat tidur dengan mayat wanita bunuh diri yang disiarkan televisi. Keduanya tak memiliki kemiripan. Kata penyiar, perempuan yang bunuh diri adalah remaja berusia 18 tahun. Sementara yang Yulia ingat, mayat di tempat tidurnya tidak seperti seorang remaja. Ia mengaitkan lagi mayat di tempat tidur dengan dua pengendara motor yang tewas usai tabrakan. Namun, kedua pengendara wanita bertubuh besar, jauh berbeda dengan mayat di tempat tidur Yulia.
***
Cuaca di luar sedang panas-panasnya. Namun, hal itu tentu tak dirasakan Yulia dan orang-orang di dalam pusat perbelanjaan. Toko pakaian yang dijaga Yulia sedang ramai pengunjung. Ia dengan sabar melayani para pembeli, tersenyum dan bersikap ramah pada siapa pun yang datang meski tak sedikit di antara orang-orang itu sekadar melihat-lihat baju yang dipajang.
Yulia masih melayani pembeli saat tiba-tiba semua orang dari lantai lima berebut turun dari eskalator dengan jerit histeris. “Tempat ini akan roboh,” teriak salah seorang dari mereka. Yulia yang berada di lantai empat turut berlari dan berusaha mencari jalan menyelamatkan diri.
Orang-orang terus menjerit dan berdesakan, semuanya ingin segera keluar dari pusat perbelanjaan itu. Yulia mendengar ponselnya terus berdering. Namun, keadaan sedang tak memungkinkan untuk melihat siapa yang berusaha menghubunginya. Ia masih terus berlari. Tiba-tiba suasana berubah gelap sesaat setelah Yulia membatin, ”Ibu … telepon itu pasti dari ibu yang sedang mengkhawatirkanku”.
Yulia bangun dan mengucek kedua matanya. Ia merasa seperti terbangun dari tidurnya tadi pagi. Sesosok mayat terbujur di sampingnya penuh luka. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hanya ada puing-puing bangunan dan ratusan mayat lain. Tak ada lagi toko baju dan pusat perbelanjaan tempat Yulia bekerja.
Ponsel Yulia masih utuh di genggaman. Ada pangggilan tak terjawab belasan kali. Ia mencoba membuka pesan. Ia memandangi mayat di sampingnya dan menemukan jawaban siapa mayat itu sebenarnya. “Yul, yang tabah. Ibu tiada karena kecelakaan.” Pesan itu membuat tubuhnya lumpuh. Suasana kembali gelap.
Johara Masruroh, seorang guru. Kini tinggal di Majasem, Kendal. Ngawi.
Trus py mbak.?