Eny Sukreni adalah Penyair sekaligus alumni Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. Kali ini Sang Penyair menampilkan puisi-puisi yang memang terasa bernuansa kekayaan ungkap khas terkait erat dengan latar pendidikan formalnya. Betapa tidak, ada warna pendidikan, warna bahasa, dan warna seni, ditambah rasa bahasa keseharian yang tadinya terkesan rumit bisa diungkapkan dalam diksi yang gamblang dan apa adanya, tetapi tetap saja menyisakan tanya atas makna metafora yang diusung di dalam bait-bait puisinya. Kekayaan ungkap Penyair kelahiran Pemenang, Lombok Utara tahun 1987 ini dapat ditemui pada cara menyusun bait serasa seperti karya ilmiah, ada pendahuluan, metode, opini dan kesimpulan. Begitu juga aroma metafora cerdasnya pun ditonjolkan semisal /bumi di perutnya/sekuntum bulan/digantungnya purnama/.
Disamping itu kata-kata keseharian juga berhasil memperunik cara bertutur dalam puisinya, terbaca pada satu di antara baitnya /para perempuan merayakannya dengan tangis/.
Benar apa kata para kritikus bahwa Latar belakang penyair seringkali mewarnai ungkapan ungkapan unik, dan bahkan bisa melahirkan invensi baru dalam berpuisi. Selamat menikmati puisi-puisi Sang Penyair. Silakan. (redaksi)
Perempuan dan Gempa
sehabis getar itu
perempuan berbalut kain kuning menggerai rambut
lalu mandi dari tiga mata air
ia mengusap-usap bumi di perutnya
seperti tengah meratakan lubang-lubang tanah
dan air sungai menjadi deras di rambutnya
pandan dan kamboja melayang di tubuhnya
laksana bumi tengah mengalami musim bunga
lalu anak-anak terlahir begitu cantik
para perempuan merayakannya dengan tangis
Sekuntum Bulan
dipetiknya sekuntum bulan malam itu
dari bangku taman di tepi pantai
membiarkan percakapan merenggut lelap
menyusuri lampu-lampu yang padam satu per satu
seperti memapah seorang buta
yang dipenuhi tanya tentang apa
yang tak bisa dilihatnya
tinggal mimpi
menantinya di tempat tidur
meski sesaat lagi akan ramai kokok ayam
sekuntum bulan malam itu
menyeret cahaya ke balik pohon
menelusup ke celah-celah dinding
memperjelas gelas kaca di atas meja
memperjelas pagi
Menggantung Purnama
digantungnya purnama di atas tempat tidur
agar malam tak begitu gelap
dan siang tak begitu terang
bayang-bayang akan terpantul
oleh piasnya
purnama yang dipetik dari buah waktu
di mana tercatat dongeng-dongeng tua
yang kini merupa keping-keping di kepala
dan mesti dipungut kembali
juga pada lelap dan lupa
maka mimpi buruk yang terang
takkan tampak menakutkan
digantungnya purnama
pada setiap penjuru tubuhnya
agar ke mana pun ia mengarah
selalu dilihatnya terang
Dini Hari Pohon Manggis
sehabis memadamkan lampu jalan
ia ingin membasuh panas malam
dengan embun yang bersarang
di ujung daun-daun manggis
dengkur orang-orang masih jelas di balik tembok
salak anjing yang kedinginan menyusul di kejauhan
seperti rintik hujan
sesaat terlintas mata air di tengah hutan
dini hari begitu asing
bagi kota-kota yang terlambat tidur
di sanalah ia diam menyimak
pintu-pintu mulai bergerak
saat pagi telah panas
Eny Sukreni lahir di Pemenang, Lombok Utara, 24 Agustus 1987. Menyelesaikan studi pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni STKIP (kini Universitas) Hamzanwadi. Puisi-puisinya antara lain terbit di surat kabar Media Indonesia, Indo Pos, Riau Pos, Banjarmasin Pos, Sumut Pos dan Suara NTB, selain juga tersimpan dalam beberapa buku antologi bersama.