Oleh: Ramli Q.Z.
Entah darimana Martolob mendapatkan ajian sesakti itu sehingga ia mampu menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Dia hanya cukup komat-kamitkan mulut, mengusap bagian leher jenazah sekaligus menepuk tiga kali secara perlahan-lahan kepalanya. Seketika mata jenazah langsung kembali melek menatap semesta, serta langsung duduk dan bergerak seperti biasa.
Ini sudah menjadi pekerjaan tetap bagi Martolob meskipun istrinya sangat menolak jika dia terus bekerja serupa Tuhan saja; mampu menghidupkan kembali orang mati. Padahal menurut istrinya, Suliya, mati dan hidup urusan Tuhan semua.
“Apakah saya harus hentikan pekerjaan ini, Suliya?” suara Martolob hampir nyaris tidak terdengar tatkala di luar rumah sudah terlalu sarat dengan pelanggan yang menunggu antrian. “Bukannya ini juga bermanfaat bagi sesama,” bela Martolob.
Namun, Suliya tetap abai, tak menghiraukan sama sekali perkataan Martolob. Martolob hanya bisa sabar dan tabah. Dan dia juga percaya suatu saat hati perempuan akan lunak.
***
Bagi Martolob hari-harinya selalu ramai akibat desakan-desakan para pelanggan yang ingin merubah nasib kematian menjadi kehidupan semula. Tak jarang Martolob sering ditamui oleh orang-orang besar seperti para punggawa, pemilik saham, dan pemilik perusahaan-perusahaan besar. Tentu mereka adalah orang kaya yang kesehariannya bergelimangan harta. Tidak lain tujuan mereka menemui Martolob ingin menghidupkan kembali sanak keluarganya yang telah mati, atau bahkan seorang yang masih haus akan kehidupan. Semua dijamu dengan baik oleh Martolob tanpa harus bertanya apa-apa. Rata-rata mereka yang memberi jawaban sendiri tanpa ditanya sekatapun.
“Mohon, Pak, jenazah ini hidupkan kembali karena dia baru kemarin kaya.”
“Oh, iya, Pak. Mohon bantu kami bangunkanlah jenazah lelaki ini karena dua hari lalu baru datang menunaikan haji.”
“Kedatangan kami ke sini ingin uluran tangan Bapak agar supaya jenazah perempuan ini hidup seperti semula karena baru kemarin dia menyelesaikan rumah besarnya yang berlantai lima.”
“Yang ini juga, Pak. Bangunkanlah dia dari kematian agar supaya dia mencicipi hasil uang arisan yang diperolehnya kemarin dengan jumlah 50 juta.”
Martolob tanpa menjawab hanya saja dia merespon dengan anggukan kepala saja. Biasanyadia langsung mempersilakan pelanggan memasukkan jenazah ke dalam suatu ruang yang memang tersedia untuk melakukan ritual membangunkan jenazah.
Ketika Martolob masuk kamar, dia sama sekali tidak pernah merasakan buluh kuduknya merinding di sekujur tubuh. Padahal dia juga sering menerima jenazah yang telah pecah batok kepalanya akibat tabrakan di jalan raya. Sedikitpun dia tak pernah takut walau di depannya sangat tampak pecahan kepala seperti semangka dibelah. Hanya saja sebelum membangunkan dia sering membiasakan diri sebentar menatap lekat-lekat wajah jenazah yang sudah terbujur kaku di hadapannya tanpa takut apa-apa. Jenazah-jenazah itu terkulai tegak disertai sepasang bibir terkatup senyum seperti orang ikhlas menerima takdir kematian. Begitulah Martolob selalu menjumpai jenazah-jenazah menyungging senyum manisnya.
Karena Martolob sudah mendapat tugas maka pantang dia untuk menolaknya. Dia akan menghidupkan sehingga tak perlu memikirkan atau bahkan sampai mempertanyakan. Ah, sudahlah! Begitu katabatin Martolob ketika berusaha membersihkan serabut pikirannya.
Namun pada suatu waktu di pagi cerah matahari terlihat jelita. Derak-derak angin seperti membawa kesejukan. Tiba-tiba Martolob kembali didatangi oleh dua orang lelaki berbadan tinggi sambil menggotong satu jenazah yang di sekujur tubuhnya sangat lembek sekali. Martolob mulai curiga dan mengaggap jenazah itu berbeda dengan lainnya. Semenjak sebelum kedatangannya, tadi malam Martolob sama sekali tidak melihat burung gagak bertengger di dahan cemara dekat rumah. Padahal tadi malamnya pula sinar purnama tersiram ke mana-mana sehingga sangat musykil jika ia tidak menjumpai burung gagak bertengger, terbangnya yang menukik tinggi, atau bahkan ceracau-ceracaunya pun kian hilang tidak menyambar gendang telinganya. Bagi Martolob gagak itu sebagai tanda turut duka cita gagak pada satu jenazah.
Mungkin saja sangkaan tadi malam menjadi salah. Martolob bertingkah biasa ketika dua lelaki itu semakin mendekat.
“Mohon, Pak, bantu kami. Jenazah ini adik kami. Baru dua hari lalu dia menikah namun istrinya menganggapnya sebagai setan dari neraka jahanam,” dua lelaki itu meminta bantuan yang serupa dengan pelanggan Martolob sebelumnya. Mereka berdua saling terenga-enga. Kemudian Martolob mempersilakan mereka duduk
Martolob sedikit terdiam. Sepasang bibirnya tersenyum rata. Di matanya terlihat sekali seperti orang terkejut disambar pecut. Langsung dia melesatkan pikiran pada istrinya yang memiliki watak serupa dengan istri jenazah. Ceritanya serupa, Martolob dan jenazah sama-sama ditolak. Martolob berusaha masih tampil biasa agar supaya para tamu yang datang tidak curiga dengan segala tingkah. Namun, Martolob tidak bisa, dia berdiri gamang memandangi jenazah, seolah-olah tangannya seperti ada sesuatu yang mengikat sehingga sulit untuk melakukan ritual usap leher dan tepuk kepala, rahang di mulutnya pun sangat sulit digerkakkan. Karena baru kali ini Martolob mendapati jenazah yang mati dengan membawa sebagian cerita serupa.
“Ayo, Pak, tunggu apalagi.” Tampak geram salah seorang lelaki sambil mengguncang tubuh Martolob.
“Tunggu…”
“Tunggu apalagi, Pak?” potong salah seorang di sampingnya. “Sebelum kematian orang ini, dia sempat berbisik kepada saya bahwa dia ingin sekali membujuk istrinya agar supaya dia cinta lagi kepadanya dan berhenti mencercanyasebagai setan dari neraka jahanam!”
Mendengar terakhir bentakan lelaki itu Martolob langsung berusaha menghilangkan segala isi yang ada di pikirannya ketika baru pertama berjumpa jenazah yang tersenyum layaknya orang mati gembira. Ditambah lagi Martolob menyangka senyum jenazah itu tidak ada unsur rekayasa. Tidak! Jenazah ini sungguh sangat menerima mati daripada mendengar cercaan istri.
“Eh, Pak, bukannya pekerjaan ini sangat mudah bagi Bapak?” kembali seorang lelaki bertanya dengan nada sedikit rendah.
“Sudah lama, kan, Pak. Masa masih kelihatan canggung saja cara ngatasinya,” sindir satunya dengan cibir senyum sinisnya.
“Memang, iya. Tapi…,” Martolob kembali terdiam dan terlihat seperti mengatur napas.
“Tapi apa, Pak?” sergah lelaki di depannya sambil memukul meja membuat Martolob terkaget
“Sepertinya lelaki ini sangat ingin sekali mengakrabi mati. Coba lihatlah bibirnya tersenyum, bukan?” jari Martolob menunjuk. Sementara dua lelaki itu tercengang seperti tidak merasakan apa yang dirasakan oleh Martolob.
Seketika kedua lelaki itu langsung saling menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua sangat tidak percaya bahwa jenazah bahagia. Setahunya, jenazah justru kematian telah merenggut kebahagiaannya. Dan mereka sempat berandai-andai kematian tidak datang sebelum jenazah adiknya menikmati bahagia bersama istri yang bisa mengundangnya tertawa.
“Ataukah benar sekali cerita-cerita orang yang pernah berkunjung ke sini bahwa kau juga dibenci istrinya akibat pekerjaan seperti ini.”
Martolob menelan ludah. Di raut wajahnya seolah menggelembung kecemasan. Tatkala degub jantung semakin kencang, di hulu hatinya seperti ada sesuatu yang menggedor tulang dada untuk mengeluarkan pertanyaan: Mengapa mereka tahu? Dari mana mereka tahu? Sungguh ini adalah masalah rahasiaku!
“Oh, tidak mari silakan saya akan membangunkannya dari kematian,” sengaja kalimat itukembali Martolob lontarkan kepada pelanggan aneh agar supaya ia tampak kelihatan biasa. Dan kedua lelaki itu akan kembali lupa bahwa Martolob pernah menyembulkan wajah cemas.
Kira-kira sekitar menelan waktu 5 menit, Martolob kembali ke luar menemui mereka berdua sambil ditangan kirinya menggandeng seorang yang sempat mati bersama hikayat sedih.
Tanpa tersadar Martolob masih belum merasa bahwa kedua lelaki di hadapannya memandang dia dengan tatapan runcing seolah masih terlihat jelas bias dalam diri Martolob. Martolob semakin takutkarenaseolah keadaanya sekarang menjadi lebih akut. Sengaja juga Martolob memandangnya dengan senyum semringah. Namun, mereka tetap saja berdiri dan tatapanya hanya sesekali terpejam. Martolob semakin diam. Ia berdiri gamang, takut pembicaraan semakin diulur panjang. Dia sangat mengaharap juga mereka tidak boleh tahu segala cerita-ceritanya.
“Bapak akan mati ketika Bapak telah genap 20 tahun bekerja sebagai pembangkit jenazah,” pungkas seorang lelaki sembari mengangkatkan kaki meninggalkan Martolob sendiri.
Sepintas lelaki itu pergi semakin menjauh dari pekarang asri Martolob yang berhias gontai goyangan kelopak melati.
Martolob gugup seolah ia memang tidak sanggup menerima perkataan mereka. Tubuhnya merasa menggigil. Di telinganya selalu terngiang ucapan-ucapan kematian.Dia takut di hari kematiannya masih belum bahagia. Dia takut sebelum kepergian rohnya masih belum mendengar gelak-tawa Suliya.
Terus apa guna hidup? Apa guna aku menjadi suami hanya mampu membagi kebahagiaan bersama orang lain tapi tidak dengan Suliya? Rutuk Martolob berletupan. Dia sangat menyesali diri. Ibarat seorang yang tengah sengaja masuk jeruji besi lalu mematahkan kunci.
***
Setelah dua hari peristiwa terjadi, Martolob benar-benar mati. Mungkin dia bekerja sebagai pembangkit jenazah telah genap menjadi 20 tahun. Jenazah Martolob terlentang keras di lantai tempat dia bekerja. Kulit dan badannya telah mengembung di sekujur tubuhnya seperti orang kaku. Sementara sarung yang sering diikatkan ke samping di bahu kananya itu menutupi perut hingga bawah lutut.
Di siang itu burung gagak bertengger banyak sekali sembari berbunyi seperti irama-irama sedih. Burung-burung itu seolah sangat ikut bersedih menyaksikan jenazah Martolob terbujur sendiri. Padahal di hari itu dia seharusnya menerima berbagai macam kematian jenazah.
“Jika seperti ini siapa salah?” tanya seseorang setelah menyaksikan kaparan jenazah Martolob
“Dialah yang salah karena tidak pernah menurunkan ilmunya.”
“Ah, dia lebih pantas mati karena sudah banyak menelan luka hati yang membuatnya sedih,” sambut satunya tak kalah heboh.
“Sembarangan! Dia ingin sekali bercumbu mesra dengan Suliya, istrinya.”
“Kalau sekarang siapa yang salah coba?” sengaja pertanyaan api disemburkan lagi.
“Dialah!” sambut satunya.
“Kita!” sergap lainnya
“Cukup! Cukup! Cukup!”
Orang-orang masih belum reda. Jenazah Martolob hanya bisa tersenyum. Badannya tetap saja terlentang hingga dia ditelan waktu yang akan usang dan mudah untuk dilupakan.
Annuqayah Latee, 29 Januari 2022
Ramli Q.Z. nama pena dari Ramli Qamarus Zaman. Ia lahir di kepulauan kecil sisi timur Sumenep. Mahasiswa Instik Annuqayah. Ia aktif di Aliansi Pemuda Pesisir (Anasir). Bisa di hubungi melalui FB/IG: Rom Kaesar Malatesta.