
Puisi hidup di dalam kehidupan sehari-hari. Dia berdampingan dengan penyairnya, itulah mengapa puisi selalu memberikan makna berbeda dengan tehnik kepenulisan yang berbeda pula. Namun, pencampaian penyair dalam menulis puisi tentu tidak serta merta mudah dilakukan, ada proses yang panjang sebelum puisi itu terjadi. Keresahan-keresahan batin yang terpengaruh dari peristiwa sekitar dan tekanan hidup si penyairnya. Dan, penyair yang baik tidak terburu-buru menuangkan kegelisahan, gagagasan atau peristiwa yang terjadi dalam puisi. (Redaksi)
[iklan]
Surat Tunggal Kepada Perempuan Tanah Garam
:Ibu
Bila dadamu kerontang
Deraslah mata airku mengalir ke hilir zikir jantungmu
Mengabadikan telaga rindu
Juga rentang nyalang kasih sayang yang kau piara
Seringkali, engkaulah perempuan
Yang meniup telinga dan ubun-ubunku dengan doa
Pasrah menghela napas panjang
Dari lengking sholawat yang kau baca
Sebagaimana menabur sekuntum bunga
Pada kekar lumbung dadaku yang kekal dalam sabar
Hingga, nazar serumpun jenawi
Membanat kelam teduh tawakal masa silam
Barangkali, tancap zalim kerap kutangkas di matamu
Merintihkan sendawa resah
Meratakan gempur dosa, menyambangi hentak sakral sepanjang hayal
Tetapi kali ini, renungku bangkit ke jantung langit
Kembali merundukkan tombak tobat di hamparan sajadah
Meluasi rival insaf tulang-tulang saraf
Sebab, sebagai anak aku sadar
Bahwa jannah di telapak kakimu
Masihlah harap dahagaku
Annuqayah, 2020
Testimoni Bola Mataku
Bola mataku liar
Menakar resah dari almanak-almanak masa lalu
Terbang lesat membubung tangga langit
Menyusuri lorong-lorong belantara di tubuh malam
Pasrah pada dengkur getir
Yang menyihir tabah mimpi-mimpi petani saban malam
Menanggulangi rumus lelah
Sebagaimana ketulusan bocah-bocah
Memainkan hujan di pelataran
Telah kutampung simbah keringat yang mengucur
Meski, kadangkala penat terlalu kecil untuk kukenal
Sebab, bilamana kompas darahku tumpah
Sempurnalah segenap kisah di tanah lahir yang merdeka
Barangkali, carok telah lama kukenal
Sebagai risalah dari riwayat kematian
Tetapi, aku tetap tak pernah takut
Karena kematian bagiku
Ialah nyawa dari pertarungan
Sejenak, aku berhayal di cekung sunyi
Memulangkan kekal tanya tanpa hitung
Hingga, jawaban yang semestinya kurangkul
Membawaku berbaring dilembar-lembar hidup yang terbaru
Annuqayah, 2020
Manuskrip Resah
Suara-suara menggema di langit
Ayat-ayat cemas beterbangan di tubuh awan
Lalu hujan datang begitu deras mengasah mata
Membasahi zikir keriki-kerikil di sepanjang jalan
Tanah-tanah menggerutu
Gubuk kecil retak yang memanjang di sawah
Hingga padi-jagung menangis
Menanggung nasib yang begitu dahsyat mencumbuinya
Daun-daun runtuh dari dahan
Pepohonan-pepohonan tumbang lepas akar
Tak hayal, jika kuterjemahkan hidup
Ialah hanya denyar mimpi yang semestinya berakhir
Begitupun aku baru paham dan sadar
Bahwa busung sinis di dadaku
Kembali kerontang dipupus musim
Annuqayah, 2020
Lora1
Nyalang matamu ialah kesucian sungai
Tempatku memeras keringat
Yang begitu deras mengucur
Hingga, serumpun kesaktian batu keluh
Sempurna membisu di belantara tubuh
Saban jejakmu, langkah tunggal takdzimku
Mengarungi laut tahajud dan istiqomah di curam sujud
Sebab, barangkali dari doamu jua
Risalah lelah, membaringkan sebongkah resah di lumbung dada
Sejenak, aku ingin melangitkan saksi
Bahwa engkaulah seorang
Putra Kiai yang kuhormati
Annuqayah, 2020
1 Putra Kiai
Firmansyah Evangelia. Nama pena dari Andre Yansyah, lahir di pulau giliyang, yang terkenal kadar Oksigennya setelah Yordania, 12 September 2002, menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa komunitas, di antaranya: PERSI (penyisir sastra iksabad), LSA (lesehan sastra annuqayah), Ngaji puisi, Mangsen puisi, Sanggar kotemang, poar ikstida.