Cintaku di Samping Toilet

Dea Malyda Atmitha Akbar

Suara pintu diketuk.
Tok… Tok… Tok…
Lalu,
Byur… Byur… Byur…

Ketukanku pada pintu itu dibalas dengan bunyi air yang dihempaskan berkali-kali. Aku kesal, sudah hampIr setengah jam menunggu orang di kamar mandi ini, dia belum juga nongol.

“Gawat, nih! Sudah nggak tahan.”

Satu menit, bunyi air tersebut belum juga berhenti. Lima menit, kuhentakkan kakiku ke lantai dengan tempo 4/4 yang konstan. Tubuhku bergetar akibat hentakan kakiku. Sepuluh menit, hentakan kakiku semakin cepat. Tubuhku bergetar hebat. Lima belas menit, mulai tampak titik keringat dingin muncul dari pori-pori kulit wajahku. Aku pun mulai berjalan mondar-mandir di depan pintu. Tak sabar, aku ketuk lagi pintu itu.

Tok… Tok…Tok…

“Masih lama, ya?” tanyaku pada entah siapa di balik pintu.

Byur… Byur… Pluk.

Dan bunyi air yang dihempaskan itu berhenti. Kukira bunyi yang terakhir itu adalah bunyi gayung plastik yang ditaruh.

“Asik… Bentar lagi keluar nih!”

Crsss…

Bunyi keran air dibuka

Byur… Byur… Byur…

Bunyi air yang dihempaskan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan cepat, seperti disengaja. Aseeemm… Bener-bener deh ini orang! Belum pernah disambit sandal jepit rupanya.

[iklan]

Astagfirullah.
Tiba-tiba aku teringat, sekarang aku sedang berada di masjid di tengah perjalananku menuju Yogyakarta, kampung halamanku. Toilet masjid berada di ujung tempat wudhu. Sengaja aku mampir ke masjid ini karena panggilan alam yang tidak bisa ditolak. Tentu tetap saja aku harus menjaga kebersihan diri dan hati. Tidak sepatutnya aku menggerutu di dalam masjid.

“Nunggu toilet ya, mbak?” Suara dari belakang punggungku membuyarkan lamunanku.

“Eh… Oh… Iya,” jawabku sembari memutar tubuh ke hadapan orang yang menegur.

Seorang perempuan berhijab yang terlihat santun rupanya. Dia menggulung lengan bajunya sampai sikut.

“Bakal lama, mbak. Orang yang di dalam nggak akan keluar-keluar. Lebih baik mbak ke toilet umum di ujung pertokoan itu. Memang sih agak kotor. Tapi daripada nunggu di sini. Percuma, mbak!” kata perempuan berhijab itu sambal menggulung ujung celana panjangnya hingga betis.

“Lho? Kok gitu? Memang kenapa, Bu?” tanyaku penasaran.

“Iya… memang biasa seperti itu dia. Setiap hari masuk ke toilet masjid, entah mandi entah apa. Kalaupun nanti keluar, nggak lama lagi juga masuk lagi. Apalagi kalau dia tau ada yang nunggu mau masuk toilet, makin dilamain, nggak keluar-keluar,” jelasnya.

“Memang yang di dalam siapa sih, Bu?”

“Orang sini juga sih, mbak. Anaknya pak Salim. Sejak dulu memang seperti itu dia. Agak aneh orangnya. Ya begitulah kelakuannya. Tapi, dia itu mahasiswa di Jakarta. Kata orang kena guna-guna di sana,” jawab si perempuan berhijab sambil mengarahkan wajahnya ke arah pintu toilet. Kemudian ia membuka hijabnya dan memutar keran air.

Bismillah…” Perempuan berhijab komat-kamit membaca doa, lalu berwudhu.

Pernyataan perempuan berhijab itu membuatku bertanya-tanya. Siapakah orang yang ada di dalam toilet itu? Kenapa dia senang sekali berlama-lama dan bolak-balik ke toilet? Apakah dia sakit? Agak stress mungkin? Seperti apa rupanya, laki-laki atau perempuan? Meskipun ini toilet khusus perempuan tapi bisa saja karena stress tidak menutup kemungkinan laki-laki yang ada di dalamnya.

“Mbak, kalau memang kebelet banget lebih baik ke toilet di ujung sana saja! Nuwun sewu ya, mbak…,” kata perempuan itu sembari membetulkan hijabnya.

Matur nuwun, Bu,” kataku pada perempuan berhijab yang berlalu ke dalam masjid.

Aduh! Panggilan alam yang tadi sempat terlupa karena pikiranku teralihkan pada seseorang di dalam toilet itu kembali menuntutku untuk segera menuntaskan hajat kecil. Aku tidak suka menuntaskan hajat di toilet umum yang jorok. Aku masih berharap orang di dalam toilet itu segera keluar, apalagi suara air tak lagi terdengar.

Dug! Dug! Dug!

“Halo? Masih ada orang? Masih lama nggak? Halo…?” tak sabar aku menggedor pintu toilet.

Aku menunggu jawaban, tapi tak ada suara dari dalam toilet itu.

Dug! Dug! Dug!

“Hei! Bisa gantian, nggak? Kebelet banget nih!” Dengan frustasi aku menggedor pintu toilet lebih keras.

Hening. Tak ada suara atau pun tanda-tanda keberadaan orang di dalam toilet itu. Naik pitam dan putus asa, aku memutuskan untuk segera ke toilet umum.

“Ah, rese lu!” bentakku.

Aku memang dikenal tomboy di kampus, jadi  wajar kalau kelakuanku seenaknya sendiri. Apalagi sudah dalam keadaan darurat seperti ini, apa mau dikata keluar deh sifat jantanku.

Baru saja aku mau meninggalkan tempat wudhu, tiba-tiba terdengar bunyi kunci pintu dibuka.

Klek.

Aku menoleh. Pintu toilet terbuka perlahan.

Krieet…

Bunyi engsel pintu yang berkarat membuatku terhenyak. Nampaklah sesosok manusia berambut hitam panjang yang nampak basah dengan handuk terjuntai menutupi wajah dan kepalanya. Tubuhnya tinggi dan kurus. Kaus kaki yang ia kenakan nampak gombrong kebesaran. Celana jeans hitamnya yang ketat menegaskan tubuhnya yang kurus. Kulit kakinya pucat, kukunya biru dan kulit jari-jarinya berkerut.

Napasku tertahan. Dia berjalan ke arahku. Kakiku gemetar. Tubuhku kaku. Sosok itu berhenti tepat di depanku. Ia menggosok-gosokkan handuk di kepalanya untuk mengeringkan rambut hitamnya yang basah menutupi wajahnya. Lalu ia tarik handuk dan rambutnya ke belakang punggungnya hingga terlihatlah wajahnya. Paras  wajahnya mungil berkulit pucat dengan hidung yang kecil namun mancung dan bibir yang merah natural.

Kusadari sepasang bola matanya yang hitam menatapku tajam. Hatiku ciut. Kulihat dia menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman kecil yang manis. Spontan aku pun tersenyum kaku, membalas senyumannya. Dia lalu menutup mulutnya dengan tangan yang pucat berkerut. Terdengar suara kikikan halus. Rupanya ia geli menahan tawa.

“Jan?”

Aku kaget setengah mati, kenapa cowok yang menyebalkan di kampus itu bisa berada di sini? Di dalam perjalanku ke Yogyakarta untuk mengisi liburan akhir semester.

“Kaget, ya?” Dia malah menjawab dengan enteng.

“Nga… nga… ngapain ada di sini?”

“Ngikutin kamu!”

Nggak mungkin! Ini nggak mungkin! Kata ibu-ibu tadi, dia orang sini yang agak gila. Tapi menurutku dia gila beneran.

“Sudah kubilang kita ini jodoh. Kemana pun kamu pergi pasti akan ketemu aku. Itulah takdir Tuhan, Naya…”

Suara Jan menyadarkanku. Lalu terasa celanaku basah. Ah, sialan! Aku ngompol gara-gara kaget melihat Jan. Langsung saja aku masuk toilet dan menguncinya.

Satu, dua, tiga…

Peess… nikmat!

Dalam pikiranku, omongan Jan terngiang-ngiang. Dia memang selalu mengejar-ngejar aku. Tak pernah menyerah, selalu memberikan kejutan, dan selalu mencoba mencuri perhatianku di kampus. Aku tidak pernah sadar jika Jan memang benar-benar mencintaiku. Lalu apakah ini yang dinamakan pengorbanan dalam cinta? Atau jodoh tak akan lari ke mana? Tapi… masak aku harus sama Jan? Dia itu culun, aku keren!

Eh, jangan-jangan aku jatuh cinta juga sama dia?

Tidaaaakk….

Beberapa menit kemudian aku baru tahu kalau Jan memang tinggal di situ. Dan akhirnya aku mampir ke rumahnya, tak terduga kalau di rumah Jan aku menjadi tamu kehormatan. Apa benar dia itu jodohku? Cinta memang tidak harus sesuai dengan apa yang kita inginkan. Cinta memiliki cara sendiri untuk memiliki kita seutuhnya.

***

2015


Dea Malyda Atmitha Akbar
, perempuan tomboy yang mantan pegawai Bank Swasta dan sekarang meniti karir sebagai Pramugari ini, suka sekali traveling, main musik, dan baca buku. Dia juga suka main teater, punya setumpuk keahlian, terutama di bidang seni musik. Komunitas 4WeekEnd adalah komunitas musik yang pernah dibentuknya sebelum aktif keliling nusantara sebagai pramugari di sebuah Maskapai Penerbangan Nasional.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *