Pengajaran Membaca Melalui Kesusastraan di Era Digital:
Literasi Lokal Berkualitas Global
Nana Sastrawan

 
Selama ini, ilmu dengan pendekatan behavioristik, termasuk pengajaran baca tulis, didominasi oleh Psikologi Behavioristik yang dikemukakan, di antaranya oleh B.F Skinner. Aliran ini menegaskan bahwa pembelajar berperilaku pasif, sangat tergantung ada tidaknya arahan dan kemampuan bahasa diperoleh melalui tiruan dan contoh melalui pembelajaran linear mulai dari bagian ke keseluruhan.

Menurut Beck (1993) Pada teori ini sering kali membaca dimaknai sebagai proses yang berurutan, yaitu dimulai dengan mengidentifikasi kata-kata dan merangkainya menjadi bagian yang bermakna seperti frasa, klausa, kalimat dan sebagainya. Sehingga kegiatan membaca hanya befokus pada teks, dan menulis dianggap sebagai perilaku yang terpisah dari membaca. Karena dimaknainya seperti itu maka hubungan membaca dan menulis itu tidak terjadi. Membaca biasanya didisain tanpa ada kaitannya dengan menulis, dalam pengajaran membaca jarang ada kegiatan menulis, begitu juga selama pengajaran menulis, kegiatan membaca tidak terjadi.

[iklan]

Akan tetapi menurut Rosenblatt (1988) menegaskan bahwa membaca bukan proses satu arah tapi transaksi dua arah antara apa yang terjadi dalam pikiran pembaca dan bahasa teks karena makna tidak muncul begitu saja. Makna muncul karena terjadi interaksi antara isi teks dan struktur pesan penulis, pengalaman dan pengetahuan latar pembaca. Begitu juga menulis merupakan sebuah transaksi yang sering dikenal dengan transactional theory.

Selain itu, Kognitif Model (cognitive model) dalam Weaver (1988) mengsumsikan bahwa pengetahuan dibangun secara personal (personally constructed). Model membaca sebagai konstruksi personal ditopang prinsip-prinsip psikologi kognitif, yang beranggapan bahwa pembelajarlah yang menentukan apa yang dipelajari dari lingkungannya. Dalam model ini, semua kegiatan kebahasan (literacy acts) dipandang sebagai dikendalikan aturan (rule governed). Bahasa dipelajari dengan cara menyadap aturan dan membuat prediksi-prediksi senyampang pembelajar itu menggunakan bahasa untuk pelaksanaan kegiatan kehidupan. Proses membaca dipahami sebagai serangkaian proses mental termasuk persepsi linguistik dan operasi konseptual yang dikoordinasikan secara komplek dan berkesinambungan untuk membangun pemahaman wacana secara keseluruhan, termasuk memperhatikan struktur teks seperti narasi dan eksposisi.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia ini? Apakah pendekatan membaca tidak menjadi suatu kebiasaan di instansi pendidikan? Apakah metode pengajaran tak tersampaikan kepada guru-guru dari kementerian pendidikan? Atau, memang human error, ada semacam pembiaran dari para pengajar bagi peserta didiknya?

Sutardji Calzoum Bachri dalam buku Siasat (2007) mengatakan bahwa setiap koran dan majalah selalu memberikan ruang tetap untuk anak-anak di mana sastra mendapatkan porsi yang besar dalam ruangan itu. Karya anak-anak berupa puisi atau prosa diberi kesempatan untuk dimuat di ruangan tersebut. Sering pula dimuat komentar, kritik, atau resensi terhadap karya anak-anak yang dimuat di situ. Kadang-kadang komentar berupa itu berupa bimbingan dari pengasuh ruangan yang membicarakan kelemahan-kelemahan atau kelebihan-kelebihan karya anak-anak.

Namun, pada kenyataannya sekarang ini banyak media cetak yang gulung tikar sekadar contoh Sinar Harapan, tergerus dengan media-media dalam jaringan (daring). Media dalam jaringan memang angin segar bagi dunia demokrasi sehingga ruang ekspresi bagi masyarakat umum terbuka luas. Akan tetapi, segalanya tidak terbendung. Ini semua dibutuhkan kecerdasan literasi untuk menyaring agar tidak mudah terjebak pada hal-hal yang bersifat negatif.

Dari mana seharusnya kita mulai upaya memahami secara umum teori-teori literasi dan secara khusus teori membaca yang terus-menerus mengalami perubahan? Apa yang seharusnya kita cermati agar dapat melihat rangkaian perubahan berlapis dalam penelitian dan pengajaran literasi?

Harste dkk (1984) mengungkapkan pandangan yang relevan bahwa apa yang dipercayai peneliti tentang bahasa dan pembelajaran bahasa sekaligus merupakan hambatan dan potensi untuk pembelajaran literasi. Di sini, saya sepakat dengan keyakinan tersebut, dengan kata lain, teori dan metodologi tidak hanya menciptakan struktur untuk penelitian dan pengajaran, tapi juga membuat struktur untuk kerangka kerja sendiri. Saya yakin bahwa peneliti dan guru harus berangkat dari beberapa teori dan teori tersebut harus diyakini tunduk terus menerus pada refleksi dan perubahan.

Pada umumnya, pengajaran bahasa melalui karya sastra hanya pada hapalan, mengingat siapa penyair dan penulis Indonesia, apa saja karyanya lalu bagaimana mengapresiasikannya. Ada yang lebih maju setelah itu, dengan membuat resensi  karya-karya sastra dari penulis atau penyair Indonesia, kemudian mencari data-data perkembangan dunia sastra di Indonesia melalui koran atau majalah dan internet.

Bachrudin Musthafa, Phd (2008) mengatakan bahwa kesusastraan merupakan entitas yang dirasakan dan direspons pembaca. Mereka juga mengemukakan bahwa sastra merupakan segala sesuatu yang menggugah respon pembaca, pendengar, dan/atau penonton. Karena itu, sastra mencakup beragam media teks tulisan (cerita pendek, novel, puisi, drama dsb), representasi pictorial-graphical (karikatur, gambar, kaligrafi, dsb), audio-visual (yang ditayangkan dalam TV dan video, dan yang dikemas dalam tata suara). Respons dari pembaca juga bervariabel dan beraneka bentuk (multi-formal): verbal tulisan dan lisan, misalnya respon lisan, pembacaan drama, respon tulisan, dan sebagainya. Non verbal misalnya pantomim, ilustrasi gambar dsb. Pernyataan ini sejalan dengan Purves dkk yang mendefinisikan sastra sebagai karya seni: seeks to please the person who made it and the person who attends to it. (1990. Hlm 11).

Jika informasi yang semakin terbuka dan mudah diakses oleh siapa saja, termasuk peserta didik yang masih remaja maka pengajar dan pendidik mesti mendukung pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memberdayakan. Yakni, dapat membekali pembelajar untuk secara berkesinambungan, strategis dan penuh inisiatif mengembangkan dirinya. Maka, upaya pembelajaran semestinya diarahkan untuk menumbuhkan ‘perbekalan’ tersebut atau peserta didik disiapkan menghadapi serangan literasi digital yang tak tersaring dan terbendung.

Ada dua pendekatan yang paling strategis untuk mewujudkan masyarakan lokal berkualitas global di era digital. Pertama adalah kesiapan pendidik/pengajar mengetahui dan memahami perkembangan literasi digital, dan kedua adalah menjadikan pembelajar sebagai pembelajar aktif.

Mengikuti definisi yang diajukan Richards & Rogers (1986), pendekatannya merujuk kepada teori baca-tulis (literacy) dan bagaimana kemampuan baca-tulis diperoleh dan dipelajari. Seperti diisyaratkan oleh social-constructivist model, perilaku baca-tulis bersumber pada kegiatan sosial, dimana kita membaca dan menulis untuk keperluan-keperluan komunikatif. Sebagai anggota budaya yang melingkupinya, pembelajar mengembangkan kemampuan, keterampilan dan sikapnya sehubungan dengan penggunaan dan kegunaan berbagai genre wacana secara simultan ketika mereka mengamati dan berpartisipasi dalam berbagai peristiwa baca-tulis (literacy events) dalam kehidupan sosialnya.

Di sini, peserta didik ditempatkan sebagai peserta aktif yang mampu menggunakan bahasa dalam totalitas fungsi sosial-pragmatisnya. Namun, dalam kedudukannya sebagai pengguna bahasa yang piawai seperti ini dibutuhkan pendampingan dari pendidik atau pembelajar yang aktif pula. Sehingga peristiwa diskusi yang dua arah terjadi, ada semacam cek dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Mengapa pendekatan kesusastraan ini diperlukan oleh pembelajar? Dari ketiga model di atas yang telah dijabarkan bahwa baca-tulis sebagai transmisi (behavioral model), baca-tulis sebagai kontruksi personal (cognitive model) dan baca-tulis sebagai transaksi (social constructivist model) dapat meningkatkan kualitas pembelajar menjadi individu yang cakap, mandiri dan bertanggung jawab. Lalu, bagaimana caranya ketiga model itu dapat tersampaikan dengan baik oleh pengajar? Selama ini, media sosial dijadikan ajang ekspresi oleh pembelajar, dan jarang sekali digunakan oleh pengajar atau pendidik sebagai alat atau media untuk menumbuhkan rasa percaya diri kepada peserta didik. Misalnya, menjadikan media sosial atau media digital lainnya sebagai wadah memuat hasil karya-karya peserta didik dalam pembelajaran (sekadar contoh membuat tulisan, rekaman pembacaan puisi, film-film pendek hasil pembelajaran) sehingga mereka semakin percaya diri.

Karakteristik yang sangat menonjol dalam cara belajar anak-anak dan remaja adalah rentang perhatian yang pendek (short attention span) dan orientasi perilakunya pada ‘sini dan kini (here dan now). Dua karakteristik adalah dasar mencapai pembelajar yang berkualitas. Seorang pengajar seharusnya menjadikan peserta didik adalah sumber ilmu dalam proses pengajaran.

Dalam pengajaran membaca melalui kesusastraan memiliki dampak yang positif bagi pembelajar sehingga dapat menimbulkan efek kedewasaan, perasaan yang saling menghargai, menghormati, arif dan bijaksana. Sikap dan sifat seperti ini dapat menekan kecenderungan perpecahan dan berita bohong yang semakin semarak.

Probst (1990) menegaskan dalam buku Dari Literasi Dini Ke Literasi Teknologi yang ditulis oleh Bachrudin Musthafa bahwa pengalaman kesastraan berdampak positif kepada pembaca dalam lima jenis pengetahuan kesastraan: pengetahuan tentang diri sendiri, orang lain, teks, konteks dan proses.

Pengalaman tentang diri sendiri biasanya didorong oleh tujuan yang bermanfaat bagi diri sendiri. Dengan kata lain, secara umum orang membaca kesusastraan untuk kepentingannya sendiri. Ketika pembaca menemukan gagasan atau visi atau pengalaman yang disajikan atau yang diangkat dalam karya sastra, mereka memikirkan dan menyandingkannya dengan persepsi, praduga, sikap dan nilai yang dimiliki.

Pengetahuan tentang orang lain memiliki interaksi dan mempunyai harapan pembaca dapat belajar bagaimana orang lain, termasuk kawan bacanya beraksi terhadap situasi atau peran tertentu yang direpresentasikan dalam tokoh, alur cerita yang terkandung dalam karya sastra.

Pengetahuan tentang teks yang tentu saja tersaji dalam karya sastra yang menyiratkan nilai dan kepercayaan: bagaimana teks memaksa pembaca secara implisit atau eksplisit untuk menerima asumsi dan gagasan penulis. Dari sini, peserta didik akan belajar bagaimana menarik kesimpulan tentang nilai dan asumsi yang melekat pada karya sastra.

Pengetahuan tentang konteks. Dengan membicarakan respons pribadi mereka (perasaan, pengalaman hidup di luar teks, hubungan intertekstual dsb) terhadap karya sastra yang mereka baca. Peserta didik akan menemukan perbedaan di antara mereka sendiri. Tentu saja, ini akan menggugah kesadaran peserta didik akan peranan konteks baik dalam hubungan personal-internal atau dalam hubungan yang bersifat umum dalam proses membaca karya sastra. Pengetahuan ini akan membantu perluasan wawasan peserta didik dan membuat mereka toleran terhadap kemungkinan perbedaan dalam interprestasi sastra.

Pengetahuan tentang proses ini dapat memberikan pengalaman kesastraan yang mengayakan pengalaman dan wawasan peserta didik. Pengajar yang berwawasan akan membuka peluang kemungkinan beragamnya respon sastra misalnya audio dan audio visual dan kemungkinan peserta didik bereksplorasi secara pribadi.

Keempat pengetahuan itu dalam membaca karya sastra dapat berfokus kepada afeksi (emosi, perasaan), pengalaman hidup dan pengalaman intertekstual dan pikiran yang tergugah akibat pembacaan. Menyadarkan mereka pada wilayah perbedaan sehingga menjadikan mereka sebagai pembaca yang lebih baik dan cerdas atau sebagai pelaku (penulis) yang lebih bijaksana.

Pada prosesnya seorang guru atau pendidik/pengajar memiliki tantangan-tatangan yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan baik di antaranya:

Akuntabilitas Akademik dan Administratif. Dalam hal ini seorang guru harus mempertanggung jawabkan apa yang telah diajarkannya melalui evaluasi pembelajaran. Tidak hanya itu, seorang guru juga seharusnya memiliki kemampuan literasi yang lebih luas lagi dalam perkembangannya.

Manajemen Kelas. Pada konteks ini, seorang guru harus meninggalkan kebiasaan lama yang hanya mengandalkan bahan pengajaran dan panduan yang sudah dipaketkan dan dipersiapkan. Guru harus membidik minat  dan perhatian siswa pada perkembangan literasi mereka sehingga guru menjadi mitra atau pendamping pada proses bacaan mereka.

Pengadaan Literasi atau sering dikenal dengan pengadaan bahan bacaan. Pemerintah telah dan sedang mengadakan bahan bacaan dalam program gerakan literasi nasional. Seorang guru dapat menjadikan fasilitas itu untuk proses belajar mengajar atau bisa saja menggandeng komunitas-komunitas sastra baik itu penulis maupun komunitas baca untuk dijadikan sebagai tempat membaca karya-karya sastra.

Dukungan Profesional, ini pun sudah digiatkan dalam program pemerintah seperti sastrawan masuk sekolah. Hanya diperlukan koordinasi aktif antara guru dan para penulis atau sastrawan setempat, agar peserta didik dapat lebih mengenal karya sastra dan perkembangannya.

Bachrudin Musthafa, Phd (2008) menjelaskan bahwa pengajaran membaca yang hanya mengandalkan bahan yang sudah dipersiapkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi teoritis yang tidak benar melalui produksi massal oleh orang yang tidak mengenal pembelajaran memiliki kelemahan serius: anti-teoritis dan kontra-produktif. Pengajaran tersebut akan menimbulkan asumsi yang tidak akurat.

Sementara itu, Maman S Mahayana mengatakan bahwa sesungguhnya menulis, seperti juga membaca, adalah kegiatan intelektual. Pada saat seseorang berada dalam proses penulisan, pada saat itulah pikiran dan inteleknya bekerja keras. Ia harus memilih dan memilah-milah, kata-kata apa yang patut dan paling tepat diungkapkan; bagaimana ia disampaikan dalam rangkaian kalimat, dan bagaimana pula gagasannya itu diurutkan secara logis (2015. Hlm 141).

Dari dua pendapat itu bisa kita tarik garis simpulan bahwa seorang pengajar tidak akan berhasil dalam pengajaran bahasa jika dia sendiri tidak membaca, memahami dan mengetahui perkembangan karya sastra, sekaligus kegiatan pasif pengajar dalam membaca juga tidak akan menghasilkan kerja intelektual dalam tulisan. Jika pengajarnya sendiri buta literasi, bagaimana mereka dapat membimbing peserta didik menuju masyarakat lokal yang berkualitas global dalam dunia lterasi, khususnya dunia literasi digital yang semakin semarak.

Agar semangat pedagogis dapat diwujudkan dalam praktik pengajaran, ada beberapa saran yang dapat didiskusikan lalu direalisasikan di lingkungan pendidikan.

Pertama, memberikan ruang yang lebih luas terhadap peserta didik dalam membaca karya sastra dan menerima responnya sebagai pengalaman sastra. Ajaklah mereka berbagi perasaan dengan menceritakan kembali (mendongeng), membuat drama, membacakan dan mengaktualisasikan dalam bentuk lain seperti musik dan gerakan (tari) atau visual (film).

Kedua, fasilitasi peserta didik dengan karya sastra. Bisa dengan cara melengkapi buku-buku di perpustakaan kemudian mendampingi mereka membaca di perpustakaan, atau bisa mengajak ke kantong-kantong sastra di daerah setempat untuk bertemu pelaku-pelaku sastra.

Ketiga, Ciptakan kelas yang aktif dan produktif. Tidak hanya melulu peserta dibebankan pada menjawab soal, mengerjakan pekerjaan rumah atau hanya mendengarkan ceramah. Ajak peserta didik untuk ikut terlibat aktif dalam berdiskusi memecahkan masalah dari bahan ajar yang diberikan.

Keempat, berikan pemahaman tentang dunia literasi digital dan ajak mereka ikut berpartisipasi mengisi konten-konten menarik dan cerdas bisa berupa tulisan, video pembelajaran, film pendek atau apa saja yang menghidupan kreativitas mereka sehingga mereka terbangkitkan kesadarannya.

Pengajaran Membaca melalui kesusastraan yang berbasis karya-karya lokal atau karya dalam negeri dapat menciptakan generasi yang percaya diri pada kekayaan intelektual bangsanya sehingga mereka tidak mudah diinfiltrasi budaya dari luar dan menempatkan pengetahuan sebagai sumber kekayaan yang tidak akan habis seumur hidup. Rasa kepercayaan diri terhadap bangsanya sendiri dapat melahirkan sikap cinta tanah air, mandiri, dewasa, cerdas, menghargai perbedaan dan tidak mudah hanyut dalam provokasi.

Daftar Pustaka

 
Beck, I.L (1993). On Reading: A Survey of recent research and proposals for the future. Dalam A.P. Sweet & J.L Anderson (Eds). Reading research into the year 2000 (Bab 4, hal. 65-87). Hillsdate, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Chase, N.D and Hynd, C.R (1987). Reader-response: An alternative way to teach students to think about texts. Journal of Reading, 530-560.

Sutardji Calzoum Bachri (2007). Isyarat: Kumpulan Esai (Hlm, 300). Indonesiatera, Jogja.

Harste, J. Woodward, V & Burk, C (1984). Language stories and literacy lessons. Portsmouth, NH: Heinemann.

Bachrudin Musthafa (2008). Dari Literasi Dini Ke Literasi Teknologi (Hlm. 129). Yayasan Crest dan New Concept Education Centre, Jakarta.

Bachrudin Musthafa (2008). Dari Literasi Dini Ke Literasi Teknologi (Hlm. 135). Yayasan Crest dan New Concept Education Centre, Jakarta.

Maman S Mahayana (2015). Bahasa Indonesia Kreatif, Edisi Revisi (Hlm. 141). Penaku, Jakarta.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *