Di Jagat Wayang dikenal lima satria sakti mandraguna yang disebut Pandawa Lima. Kelima satria Pandawa tersebut adalah: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Di antara lima bersaudara dalam Pandawa Lima itu Arjuna adalah anak ketiga, karena itu ia dikenal juga sebagai Penengah Pandawa. Selain sakti mandraguna, Arjuna adalah satria ganteng gagah rupawan yang ahli memanah. Arjuna gemar bertapa untuk mendapatkan ilmu kesaktian dari para dewata di kayangan.
Pada suatu ketika Arjuna ingin pergi bertapa untuk menambah kesaktiannya. Ia pergi mengembara keluar masuk hutan, naik turun gunung sampai akhirnya ia menemukan tempat yang nyaman di sebuah lereng gunung di sebelah utara kota Batu, Malang. Berbulan-bulan lamanya ia bersemedi dalam sebuah goa. Siang malam ia bersemedi sehingga tubuhnya memancarkan sinar yang mengandung kekuatan dahsyat. Dan akibatnya sangat mengejutkan. Puncak gunung tempat ia bertapa itu sedikit demi sedikit terangat naik hingga hampir menyentuh langit. Hal ini membuat Khayangan tempat para Dewa berguncang. Batara Narada kebingungan. Segera ia turun ke bumi untuk menyelidiki apa kira-kira yang jadi penyebab bergoyangnya Kayangan.
Sesampainya di bumi, Batara Narada mengelilingi sebuah gunung dan akhirnya ia menukan Arjuna yang sedang bertapa di sebuah goa. Ia lalu mendekati Arjuna dan berkata, “Bangunlah Arjuna, sudahi tapamu. Semua manusia dan para Dewa akan mendapat bencana bila engkau tak menghentikan tapamu.”
Arjuna pura-pura tak mendengar. Sifat sombongnya muncul. Ia tak mau mengakhiri semedinya. Dalam hati ia berpikir, “kalau aku tak mau bangun, para Dewa pasti kebingungan. Mereka pasti akan menghadiahi aku senjata sakti dan ilmu kesaktian yang aku inginkan.”
Batara Narada kebingungan. Dengan segala cara dan bujuk rayu ia berusaha membangunkan Arjuna, akan tetapi Arjuna tak bergeming. Dia semakin diam dan asyik dalam semedi. Karena putus asa Batara Narada segera kembali ke Kayangan dan segera melapor pada Batara Guru.
“Oh, adik Guru segeralah bertindak. Kayangan bergoyang ini karena ulah Arjuna. Cepatlah ambil tindakan, Adi Guru. Kalau tidak, Arjuna akan mendatangkan bencana bagi kita semua.” Begitu lapor Batara Narada.
“Hmm… Jadi ini semua gara-gara Penangah Pandawa itu. Benar dugaanku kalau begitu. Mau apa sebenarnya anak itu?” gerutu Batara Guru. Segera ia memanggil beberapa bidadari yang paling canting dan memerintahkan kepada mereka untuk turun ke bumi. “Kalian kuberi tugas untuk menggoda Arjuna sampai dia mau mengakhiri tapanya.”
“Baik, Batara Guru,” sahut para Bidadari. Lalu mereka segera terbang, turun ke bumi menuju goa tempat Arjuna bersemedi, dan lalu menggodanya dengan segala macam rayuan untuk memikat hati Arjuna agar semedinya berhenti. Tapi Arjuna tak sedikitpun tergoda oleh rayuan mereka.
Para bidadari yang cantik jelita putus asa dan penasaran karena rayuan mereka tak mampu membuat goyah hati sang Arjuna. Dengan hati kecewa mereka lalu kembali ke kayangan, melaporkan kegagalan mereka untuk menggoda Arjuna dalam semedinya.
“Ampun, Batara Guru. Kami tak berhasil menggoda Arjuna,” lapor salah seorang Bidadari.
Batara Guru menarik nafas panjang, kecewa. “Hmm… kalau begitu panggil para dedemit . Perintahkan kepada mereka untuk menganggu Arjuna,” perintah Batara Guru.
Serombongan dedemit segera dikirim ke gunung tempat Arjuna bertapa. Tetapi para dedemit yang menakutkan itu juga mengalami kegagalan. Batara Guru semakin gundah hatinya dan nyaris putus asa. Ia berjalan mondar mandir untuk mengurangi kegelisahannya. Tiba-tiba ia teringat pada Batara Ismaya yang tak lain adalah Semar yang sekarang ini ada di bumi. Dan Semar beserta anak-anaknya adalah menjadi punakawannya Arjuna. Batara Guru segera menemui Batara Narada di kediamannya.
“Kakang Batara Narada, mohon kiranya kakang bersedia untuk turun ke bumi menemui kakang Semar. Perintahkan ia untuk membujuk Arjuna agar menghentikan tapanya.”
“Baik, adi Guru,” sahut Batara Narada, Dewa yang bertubuh gendut itu. Ia segera melesat turun ke bumi. Sesampainya di kediaman Semar, Batara Narada segera menceritakan masalah yang telah membuat Batara Guru resah gelisah.
“Weleh-weleh… Mengapa Arjuna bisa begitu, ya. Dia itu sebenarnya orang baik-baik… tapi… ah, pasti ada maunya dia…” gumam Semar sembari manggut-manggut. Lalu ia berjanji kepada Batara Narada, “Baiklah kalau begitu, katakan kepada Batara Guru agar- tenang-tenang saja. Aku akan segera menemui anak asuhku itu dan menyadarkannya.”
“Terima kasih, Batara Ismaya. Semoga kau berhasil,”kata Batara Narada yang lalu segera mohon ijin untuk kembali ke Kayangan.
Sekembalinya Batara Narada pulang ke Kayangan, Semar merenung sendirian. Mencari akal untuk membangunkan Arjuna dari tapanya. Dalam renungannya itu ia teringat akan Togog, adiknya. “Aku akan minta bantuan Togog,” gumamnya. Ia lalu pergi mendatangi kediaman Togog.
“O,o… nJanur gunung, kadingaren. Tumben, kakang Semar datang ke tempatku. Ada perlu apakah?” sambut Togog dengan gembira.
“Aku butuh bantuanmu, Togog,”sahut Semar. Lalu ia ceritakan soal tugas dari Batara Guru yang diberikan kepadanya.
“Apa yang harus kita lakukan, kakang Semar?” tanya Togog.
“Kita harus memotong puncak gunung tempat di mana Arjuna bertapa,”jawab Semar.
“O,o… begitu. Siap, kakak.”
“Ayo kita berangkat sekarang!”
Semar dan Togog segera berangkat. Sesampainya di gunung tempat Arjuna bertapa, mereka berpencar. Masing-masing menempati sisi gunung sebelah utara dan selatan. Lalu mereka bersemedi. Berkat kesaktian mereka sejenak kemudian berubahlah tubuh mereka menjadi tinggi besar. Tingginya melampui tinggi gunung. Lalu mereka mengeruk puncak gunung itu, dan melemparkannya ke sebelah tenggara kota Batu. Terdengarlah suara bergedum ketika potongan puncak gunung itu jatuh ke bumi. Arjuna terbangun dari tapanya, segera membuka matanya. Ia terkejut ketika melihat Semar dan Togog berdiri di hadapannya.
“Apa yang terjadi, Uwa Semar?” tanya Arjuna setengah bingung.
Semar tersenyum. “He… he… kami baru saja memotong puncak gunung dan melemparkannya, Raden,” katanya tenang.
“Mengapa kau lakukan itu, Uwa Semar? Dewa pasti akan mengurungkan niatnya untuk memberiku banyak senjata dan ilmu kesaktian,” gerutu Arjuna.
“Weleh, weleh… jadi itu, to, keinginanmu. Memangnya masih belum cukup kesaktian yang raden miliki sekarang ini?”
Arjuna terdiam dengan hati kesal. Semar lalu menasehatinya. “Sadarlah, Raden. Sadarlah Cah Bagus Penengah Pandawa. Kamu ini adalah seorang kesatria sakti mandraguna tanpa tanding. Disegani oleh lawan. Jangan sombong. Raden harus rendah hati. Kesombongan Raden bisa menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan orang lain.”
Setelah meresapi ucapan Uwa Semar, Arjuna jadi malu hati. Buru-buru ia minta maaf. “Maafkan saya, Uwa Semar. Saya khilaf. Terima kasih atas bantuan Uwa Semar dan paman Togog.”
Uwa Semar tersenyum lalu mengajak Raden Arjuna pulang. “Baiklah Uwa Semar,” sahut Arjuna, “Aku juga sudah rindu pada kakang Petruk, Gareng, dn Bagong.” Mereka lalu segera meninggalkan tempat itu, pulang menuju tempat kediaman Uwa Semar di Tumaritis. Dan sejak itulah, gunung tempat Arjuna bertapa disebut Gunung Arjuna. Adapun puncak gunung yang dilemparkan oleh Semar dan Togog dinamai Gunung Wukir. (AY)
Diceritakan kembali oleh: Abah Yoyok
Dapoer Sastra Tjisaoek, Februari, 2023