
Mungkin keluargamu yang jauh sedang memperbincangkanmu. Atau mungkin genk putih abu-abumu sedang bergosip, karena kau tak pernah datang saat reunian lebih dari lima tahun. Sejak kemarin kau selalu mengeluh, daun telingamu terasa panas. Beberapa kali kau telah membasuhnya dengan air es, bahkan butiran bunga es dari freezer sengaja kau ambil dan ditempelkan langsung ke telingamu.
Kau memiringkan kepalamu ke kanan dan ke kiri di depan cermin ukuran besar. Daun telingamu bagian kanan jauh lebih merah dan bengkak. Sebelum suamimu pulang, kau harus segera menghentikan kegiatan itu. Ia bisa saja mengomel bahkan marah besar karena kau tak beres bekerja di rumah. Ia tidak suka melihatmu bersantai.
Belum selesai dengan telingamu yang terasa panas, kau mulai mengeluh lagi. Kepalamu terasa berat, tenggorokan sulit menelan, tubuhmu panas dingin, dan hidung terasa berat bernapas.
Suamimu terbiasa pulang malam. Sedangkan kau hanya disuruh diam di rumah. Hari ini katanya suamimu akan pulang lebih cepat. Pesan itu yang kau terima via aplikasi hijau terang. Jam dinding berdentang lima kali. Mungkin menjelang senja suamimu baru sampai rumah. Kau masih merasa tidak baik-baik saja dengan tubuhmu. Kau tetap berupaya menyiapkan segalanya. Meski kau menahan rasa sakit. Kau tetap menghidangkan makanan kesukaannya.
Bunyi pagar besi didorong kuat dari luar. Perasaanmu benar. Suamimu yang datang dengan suara motor yang meraung-raung. Pintu rumah dibuka dengan kasar. Ransel dibanting ke atas pembaringan. Kau terdiam. Tak ada sepatah kata yang terucap dari mulutmu. Kau mematung di pintu kamar.
“Semua kesukaanmu telah aku siapkan.”
Suamimu tak menjawab. Ia gegas menuju meja makan. Sambal, pete bakar, goreng tahu crispy, dan oseng kangkung pedas masih panas. Kau gegas mengambilkan nasi yang masih mengepul, lalu menyodorkannya. Kau berupaya tampil maksimal di depannya.
“Teh panas!”
Kau beringsut menuju dapur menyiapkan permintaan suamimu. Teh panas. Isi tempurungmu berputar-putar. Kenapa suamimu tidak seperti biasanya. Mungkinkah ia sedang ada masalah di kantornya. Kau belum berani mempertanyakannya.
“Kupas mangga!”
Perintah berikutnya saat kau baru menyimpan teh panas di dekat piringnya. Padahal pantatmu belum benar-benar menyentuh kursi. Bak seorang raja yang harus dituruti semua perintahnya. Kau hanya bisa menerima takdir. Patuh.
Sesekali kau menatap teman seatapmu itu dari ujung matamu. Gurat kekesalan masih tampak jelas pada wajahnya. Entah ada apa. Kau masih belum berani untuk bersuara. Padahal kau telah hidup seatap hampir tujuh tahun dengannya. Meski belum dikaruniai buah hati. Kau tetap berusaha berikhtiar. Berkali-kali suamimu selalu menyalahkanmu. Tidak segan ia menuduhmu wanita tak subur dan mandul. Padahal dokter kandungan jelas menunjukkan bahwa rahimmu sehat.
“Pijiti kepalaku. Yang benar motong mangganya. Membuatku tak berselera memakannya.”
Kau berdiri menuju wastafel untuk membasuh kedua tanganmu. Kau sempat memasukkan seiris buah mangga ke mulutmu sebelum kedua tanganmu kau cuci. Tak terasa bulir bening menggelinding membelah kedua pipimu. Segera punggung tangan kananmu menyekanya sebelum ia mengetahui. Ia memang mudah menyalahkan. Jika kau bersalah, darahnya cepat naik tanpa mau memaafkan. Ia sudah berbaring di pinggir kasur saat kau mendekatinya.
Layaknya tukang pijat. Kau dituntut harus bisa segala hal. Katanya, ia ingin menjadikanmu sebagai istri sempurna. Hanya diam di rumah, dan kau yang harus melayani segalanya. Kau lagi-lagi menurut. Alasanmu sederhana. Surga seorang istri ada pada rida suaminya. Kau begitu takut durhaka. Tanganmu meremas-remas kepalanya. Sesekali kau bersin-bersin hingga membuat ia terganggu.
“Aku ingin ke dokter.”
Kau baru bersuara setelah menahan beberapa jam. Kau merasa sudah perlu untuk memeriksa kesehatanmu. Kau tidak mau, jika orang tuamu di kampung mendapati kabar tak sedap jika kau sakit di perantauan.
“Untuk apa?”
Kau menjelaskan semua yang kau rasa. Tapi ia hanya mengedikkan bahunya dan berbalik ke arahmu. Keningnya tampak mengerut seperti jerami yang telah mengering. Kedua matanya penuh tanya seakan memandangimu baik-baik saja. Kemudian menyentuh keningmu.
“Hanya hangat biasa. Mungkin masuk angin. Cukup pake irisan bawang merah. Nanti juga baikan. Jangan manja!”
Kau tak bisa berbuat apa-apa saat suamimu berkata demikian. Seolah sudah menjadi keputusan yang tidak dapat diganggu gugat. Ucapannya begitu menusuk ujung hatimu. Hanya sesak yang kau rasa. Kau selalu mengalah demi baktimu kepadanya. Bahkan untuk tubuhmu yang harusnya mendapat perhatian. Belum semenit dari ucapan terakhirnya. Suamimu sudah berbaring dengan suara ngorok yang mengganggu.
Kau hendak bangkit meninggalkannya. Namun belum genap tubuhmu berdiri, kau seakan melihat langit plafon yang berputar. Kedua matamu sempat kau kerjap-kerjapkan. Perlahan pandanganmu menjadi gelap memenuhi ruang netramu. Kau limbung dan ambruk.
***
“Aku tidur, harusnya kau jangan ikut-ikutan. Piring kotor, meja kotor. Cepat bereskan!”
Kau baru tersadar tubuhmu ada di ujung pintu kamar. Mungkin kau tak sadarkan diri beberapa jam. Kau meraba kening dan tubuhmu yang terasa panas. Akan tetapi, kau ingat dengan perintah suamimu. Kau setengah merangkak meraih meja makan. Benar saja semua masih berantakan. Kau menatap suamimu yang sudah rapi. Sepertinya akan berangkat.
Suara kodok mulai terdengar di got depan rumah. Senja telah berganti dengan bulan yang tergantung di langit pekat. Kau menyeret langkah membawa piring-piring kotor ke belakang. Hendak ke mana ia malam-malam, batinmu.
“Aku akan pergi. Baju yang tadi, besok harus sudah bersih dan rapi untuk rapat.”
Kau hanya menganggukkan kepala tanpa berkata apa pun. Punggung yang mengenakan jaket kulit warna hitam itu berlalu menutup pintu rumah. Ia tidak memberi serupiah pun sebelum pergi. Padahal, kau sangat mengharapkan, kau butuh untuk pergi berobat. Bagimu ia hanya bisa menuntut tapi tidak memberi dan memaafkan.
***
Mentari baru menetas, saat kau memijit kepalamu sendiri. Kau baru tersadar tidak ada suamimu di samping tempat tidurmu. Berarti semalam ia tidak kembali. Kau tetiba merasa mual yang menyeruak dari dalam perutmu. Kau berpikir keras untuk ke dokter. Tapi, tak ada selembar rupiah pun yang ditinggalkan suamimu.
Kau mendengar ketukan kencang dari balik pintu. Kau merangkak menuju ke sana. Kau perlahan meraih gorden warna perak yang belum sempat kau buka. Kau menariknya perlahan. Kau berhasil membuka kunci pintu bersamaan dengan kau tak ingat apa pun.
Lamat-lamat kau mendengar suara ibumu memanggil tiada henti. Suara itu semakin jelas memenuhi gendang telingamu. Kau perlahan memandangi langit kamar yang berbeda. Tangan kananmu telah ditusuk jarum infus. Kau menatap ibu dan bapakmu begitu dekat.
“Istrimu akan kami bawa pulang. Ia tengah berbadan dua dan harus diperhatikan.” Ucapan bapakmu begitu tegas sesaat setelah pintu rumah sakit dibuka suamimu.
Lia Laeli Muniroh, Penikmat sastra dan Pegiat Literasi. Tulisan cerpennya tersebar di media massa nasional seperti kompas.id, Radar Bromo, Radar Banyuwangi, Radar Kediri, IDESTRA, Suara Merdeka, dan Cendana.com. Telah menulis dua buku solo, satu duet, dan 37 buku Antologi berbagai genre.