Oleh Wawan Susetya

SALAH SATU kesenian tradisional yang paling digemari oleh masyarakat di sekitarku, yakni di daerah Tulungagung Jawa Timur, yaitu kesenian wayang kulit. Tak heran kiranya jika ada pagelaran atau pementasan wayang kulit, para penontonnya selalu membludak. Banyak sekali. Hal itu mengisyaratkan bahwa kesenian wayang kulit terus eksis di era digital seperti sekarang ini. Wajar kiranya jika kesenian wayang kulit telah diakui oleh UNESCO PBB sebagai warisan dunia atau sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi serta warisan budaya yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada tanggal 7 November 2003.

Barangkali, karena itulah kesenian wayang kulit merupakan sumber inspirasi bagi masyarakat Jawa (Sri Moeljono: 1977). Seperti diketahui bahwa kesenian wayang kulit pernah dipentaskan pada zaman pemerintahan Kasultanan Demak Bintara oleh Sunan Kalijaga dengan lakon Bima Suci. Meski wayang telah ada sebelumnya, tetapi bagaimana pun para Wali Sanga terutama Sunan Kalijaga memiliki peran yang sangat besar dalam tumbuh-kembangnya kesenian wayang kulit sebagai sarana syi’ar dakwah Islamiyah pada masa itu.

Yang paling digemari oleh masyarakat Jawa dalam pagelaran wayang kulit yaitu lakon Dewa Ruci (Bima Suci) dan Arjuna Wiwaha yang keduanya mengisyaratkan merupakan perjalanan spiritual untuk menggapai makrifat (mengenal kepada Tuhan). Dan lakon pewayangan tersebut hasil gubahan Sunan Kalijaga yang terdapat kandungan falsafah dan nilai-nilai adiluhung.

Pertama, dalam lakon Bima Suci (Dewa Ruci) mencerminkan proses lelaku seseorang menggapai cita-citanya, yakni mendapatkan wejangan ‘ngelmu kasampurnan’ atau ‘sangkan-paraning dumadi’ yang diilustrasikan ‘kayu gung susuhing angin’ dan ‘banyu perwita suci’ (tirta perwita sari).

Kedua, lakon Arjuna Wiwaha mengisyaratkan proses pergulatan jiwa—terutama sebagai tauladan bagi para pemuda—dalam menggapai cita-citanya dengan menjadi Begawan Ciptaning atau Begawan Mintaraga yang bertapa di Gua Indrakila.  Setelah itu, Bathara Guru serta para Dewa di Kahyangan Jonggring Saloka merasa kewalahan menghadapi musuhnya Prabu Niwatakawaca dari Negeri Ima-Imantaka, lalu minta sraya (minta bantuan) kepada Arjuna.

*

Dalam lakon Bima Suci (Dewa Ruci) digambarkan oleh S. Haryanto (1995) ada tiga fase (episode) sebagai berikut;

Pertama, Bratasena memasuki Gua Durangga berbentuk sumur dan dapat membunuh ular naga jelmaan bidadari Dewi Maheswari, putri Sang Hyang Dewaheswara. Dari kisah ini dapat dikiaskan bahwa Sumur Durangga melambangkan kegelapan atau kepalsuan, sedangkan ular naga melambangkan kejahatan atau kepalsuan yang menipu. Maknanya Bratasena melakukan mawas diri;

Kedua, Bratasena ketika mencari ‘kayu gung susuhing angin’ di Gunung Chandradimuka bertemu dengan dua orang raksasa; Rukmuka dan Rukmakala (penjelmaan Bathara Endra dan Bathara Bayu). Ini melambangkang keluhuran watak, kejujuran, dan susila. Sementara, dua raksasa melambangkan nafsu insani, kehodohan, atau kepalsuan. Maknanya, Bima berhasil ‘menundukkan’ nafsu kebinatangan atau kerendahan.

Ketiga, Bima diperintah oleh Pandhita Durna mencari ‘banyu bening; perwita suci’ yang letaknya di telenging samudra (dasar samudera). Telenging samudra merupakan lambang bentuk-bentuk pikiran, pencampur-bauran kesadaran duniawi (fana) dengan kesadaran Ilahi (baka); pikiran yang berdasarkan kepercayaan insani dengan pikiran yang berdasarkan pengertian rohani. Sedang ular naga adalah lambang pikiran sesat, pikiran yang bersifat menipu dan kepercayaan palsu. Dalam pada itu, Bima kemudian bertemu dengan Dewa Ruci atau Bathara Ruci yang notabene sebagai guru pribadi-nya atau guru sejati-nya yang memberikan wejangan mengenai Ngelmu Kasampurnan.

Kisah Bratasena dalam lakon Bima Suci tersebut, disimpulkan oleh S. Haryanto (1995) sebagai seorang yang telah memahami hakikat Gusti (sebagai Pencipta) dan kawula (ciptaan-Nya). Dengan kata lain, Bima telah memahami falsafah ‘Jumbuhing kawula-Gusti’, sehingga mampu menemukan jati dirinya dalam bentuk yang masih kecil (bayi) dan masih murni atau suci (fitrah) yang disimbolkan Bathara Ruci.

Sementara itu dalam lakon Arjuna Wiwaha (Begawan Mintaraga, Begawan Ciptaning) merupakan pergulatan jiwa bagi seorang pemuda yang hendak menggapai cita-citanya yang mulia. Kata Mintaraga mengisyaratkan bahwa seseorang sedang mempersiapkan jasadnya untuk diganti jasad yang baru dari pertapaannya. Minta artinya meminta, sedang raga berarti raga atau jasad. Lakon Arjuna Wiwaha disebut pula dengan Ciptaning; Cipta identik dengan pikiran (akal), sedangkan kata Ning adalah konsentrasi, dzikir, eling (musyahadah; senantiasa mengingat Allah Swt). Dengan demikian, Begawan Ciptaning mengisyaratkan gambaran orang yang sedang mengheningkan cipta atau samadi (dzikir).

Maka, dalam lakon Begawan Mintaraga diilustrasikan dengan kedatangan Bathara Endra ke Gua di Gunung Indrakila yang menyamar sebagai Resi Padya untuk menguji kewaskitaan Arjuna. Karena sudah memasuki konsentrasi tingkat tinggi (heneng, hening, henung), Arjuna pun bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Resi Padya yang tak lain jelmaan Bathara Endra. Bahkan, Arjuna pun mengetahui bahwa Bathara Endra-lah yang telah menjelma sebagai Resi Padya.

Dalam pada itu, Bathara Guru kemudian memberikan hadiah kepada Arjuna dengan senjata Kiai Pasopati. Setelah itu Arjuna dengan nama Begawan Mintaraga atau Begawan Ciptaning mendapat tugas membunuh Prabu Niwatakawaca dari Negeri Ima-imantaka yang mengamuk di Kahyangan Jonggring Saloka karena lamarannya kepada Dewi Supraba ditolak oleh Bathara Guru.

Ketika berperang melawan Prabu Niwatakawaca, Arjuna lebih menggunakan akalnya, bukan kesaktiannya semata. Ia menempuh langkah seperti itu, karena Arjuna telah mengetahui kesaktian Prabu Niwatakawaca yang tak bisa dikalahkan oleh para Dewa sekalipun. Langkah pertama yang diambilnya yaitu meminta Dewi Supraba supaya berpura-pura mau dijadikan isteri Prabu Niwatakawaca. Dan, Begawan Mintaraga membisikkan sesuatu ke telinga Dewi Supraba.

Betapa girang hati Prabu Niwatakawaca begitu mendengar kesediaan Dewi Supraba sanggup menjadi isterinya. Dengan mabuk kepayang, raksasa tadi ingin segera menikmati keindahan tubuh Supraba. Tetapi Supraba meminta penjelasan tentang kelemahan calon suaminya itu, sehingga dia bisa menjaganya kalau misalnya ada musuh. Karena lengah, Niwatakawaca pun menceritakan sebenarnya kepada Supraba bahwa letak kelemahannya di lidahnya. Padahal pembicaraan mereka itu didengarkan oleh Arjuna Wiwaha. Maka Arjuna segera mendobrak pintu ruangan sehingga terkejutlah Prabu Niwatakawaca. Pada saat itulah, Arjuna segera melepaskan panah saktinya Pasopati ke arah lidah Prabu Niwatakawaca. Matilah Niwatakawaca karena lidah yang menjadi kelemahannya terkena panah.

Arjuna Wiwaha dan Dewi Supraba lalu menghadap Bathara Guru dan Bathara Endra. Sebagai ucapan rasa terima kasihnya kepada Arjuna, Bathara Guru pun menghadiahi Dewi Supraba sebagai isteri Arjuna. Bukan itu saja, wanita-wanita cantik yang menggoda dalam semadi-nya dulu juga dikawinkan semuanya dengan Arjuna. Bahkan, untuk sementara waktu Arjuna dinobatkan menjadi Raja di Kahyangan Waru Kandha Binangun bergelar Prabu Kariti (Karitri).

Biasanya, lakon Arjuna Wiwaha atau Begawan Mintaraga ini sangat disukai oleh masyarakat Jawa, karena bersifat menggambarkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang hendak melangsungkan perkawinan. Setelah mengalami berbagai macam ujian dan melewatinya dengan baik, maka berhasillah pernikahan tadi dengan selamat.

Dalam lakon Mintaraga atau Arjuna Wiwaha atau Begawan Ciptaning di atas, memang memberikan pelajaran tentang perjuangan, khususnya bagi pemuda.

Menurut Dr. Seno Sastroamidjojo (1964), dalam lakon Arjuna Wiwaha (Begawan Ciptaning, Begawan Mintaraga) tersebut terdapat perjuangan yang dilukiskan rintangan terakhir yang menghalang-halangi tercapainya kesempurnaan hidup yang dilambangkan dengan Prabu Niwatakawaca, seorang raja raksasa yang bertahta di Negara Ima-Imantaka. Tokoh ini merupakan suatu perwujudan sifat angkara murka dalam arti seluas-luasnya. Makanya, membinasakan raja jahat seperti itu berarti menanggalkan segala keangkara-murkaan yang ada pada diri Arjuna sendiri. Artinya, seorang pribadi yang insan kamil, ia senantiasa berperang menundukkan dan mengalahkan hawa nafsu dirinya sendiri.

Dengan kemenangan dapat mengalahkan Prabu Niwatakawaca—dalam konteks mengalahkan diri sendiri—akhirnya Raden Arjuna mendapatkan ‘hadiah’ atau penghargaan mengawini Dewi Supraba. Bukan itu saja, Raden Arjuna juga dinobatkan sebagai Raja Kariti yang bertahta di Suralaya (Kahyangan Karang Kahendran).

Itulah puncak dari pertapaan Arjuna Wiwaha atau Begawan Mintaraga akhirnya mendapatkan Dewi Supraba; maknanya adalah “mahkota” dari para Dewa. Jika dikontekstualkan ke dalam cakrawala religius-spiritual, “mahkota” yang didapatkan Arjuna tersebut merupakan lambang pencapaian tertinggi dalam olah spiritual, karena ditempatkan di bagian kepala.

Lebih jauh Seno Sastroamidjojo menjelaskan, tanda bahwa Arjuna adalah seorang yang insan kamil, digambarkan dalam cerita pewayangan tersebut, yakni Arjuna tetap bersahaja dan tidak lupa daratan. Meski ia telah dinobatkan menjadi seorang Raja—bergelar Prabu Kariti—di Kahyangan, namun ia tetap tidak melupakan tugas kewajibannya sebagai manusia manusia; seorang ksatria. Ia tidak hanya termenung dengan menikmati kenikmatan di surgawi saja, tetapi ia juga turun lagi ke madyapada guna melaksanakan semua kewajibannya. Demikianlah, bagi masyarakat Jawa bahwa dalam pewayangan (pedhalangan) sangat kental dengan nilai-nilai religius-spiritual.

Sementara itu Paul Stange (1988) menyatakan bahwa wayang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan leluhur Jawa, kendati masyarakat Jawa mengakui bahwa kerangka dasar cerita wayang berasal dari wiracarita India klasik, terutama Mababharata. Simbolisme tersebut merujuk adanya keterkaitan antara jagad cilik dan jagad gedhe, struktur alam batin dan dunia fisik yang ada di dalamnya. Aspek-aspek teknis sebagaimana wayang dibuat dan dipertunjukkan mencerahkan jiwa dengan muatan mistis yang dikandung dalam drama pertunjukan tersebut.

Bahkan, wayang juga mempunyai aspek-aspek simbolis yang seharusnya dikupas maknanya agar diketahui oleh masyarakat umum. Terutama ‘manusia Jawa’ yang telah khasanah budaya mengenal wayang, tentu, mereka akan tertarik untuk menggali lebih mendalam dari wacana simbolis dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari wayang, maka seseorang akan memperoleh ‘tambahan pelajaran’ baru, terutama dalam apresiasi intuitif ke penghargaan yang dalam terhadap pesan-pesan filosofis yang disampaikan. Dan dalam kenyataannya, hampir setiap orang yang mempelajari wayang mengakui bahwa simbolismenya bersifat mistis.

Daftar Kepustakaan

  1. Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa, Penerbit LkiS Yogyakarta, 1988.
  2. Sri Mulyono, Wayang Dan Karakter Manusia, Penerbit Yayasan Nawangi 7 PT Inaltu Jakarta, 1977.
  3. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung (Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam Wayang), Penerbit Dahara Price Semarang, 1995.
  4. Seno Sastroamidjojo, Dr, Renungan tentang Pertunjukan Wayang Kulit, Penerbit PT Kinta Jakarta, 1964.

Wawan Susetya adalah sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jatim

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *