
Menulis puisi yang estetik, syarat makna, padat dan lugas tidak mudah diterapkan oleh penyair. Ya, seperti yang diketahui umum bahwa puisi biasanya terbentur dengan metafora, pemilihan kata dan lainnya. Sering kita mendengar suara-suara yang berkeluh-kesah dan berkilah bahwa keterbatasan itu menghambat kreativitas; membatasi ruang eksplorasi untuk menguak banyak hal. Tetapi, bagaimanapun, tentulah kita mesti menjawab sinyalemen itu: benarkah pembatasan itu menghambat ruang kreativitas; membatasi ruang eksplorasi? Jangan-jangan keluh-kesah itu hanyalah kamuflase dari ketidakmampuan mengembangkan kreativitas atau kegagalan menemukan cara penyiasatannya.
Tentu saja, setiap penyair memiliki proses kreatifnya sendiri ketika menulis sebuah naskah. Bisa saja, dimulai dengan munculnya ide. Dengan kata lain, ada semacam pusat tema dalam pikirannya yang mendasari lahirnya sebuah karya atau naskah. Kemudian, tema itu diurai menjadi bahan-bahan untuk menulis, bisa menjadi puisi dan karya sastra lainnya. Ada pula penyair yang terdorong menulis karena melihat keadaan sekitar, peristiwa-peristiwa yang berseliweran melintas di hadapannya. Bisa juga penyair menulis dari gejolak batinnya. Kegelisahan-kegelisahan yang berkecamuk dalam hati mereka, berupa; kerinduan, patah hati, cinta atau kegagalan-kegagalan.
Semua lahir, tentu tidak dengan tiba-tiba. Semua itu dituliskan dalam proses yang panjang, sebab sejatinya karya yang terlahir dari proses yang panjang akan hidup dalam lingkaran pembaca-pembacanya. Seiring dengan itu, penyair memiliki perjalanannya sendiri dalam kehidupan ini. Terekam, menjadi ingatan. Catatan-catatan dalam ingatan itu bisa saja berupa gambar peristiwa atau potret anatomi tubuh sendiri, atau catatan-catatan kecil berupa cerita.
Waktu pun berjalan, ingatan itu dapat diolah menjadi ide dan pemikiran, tinggal bagaimana penyair itu mengolahnya untuk disampaikan. Ya, satu di antara fungsi puisi adalah sebagai media penyampaianya. Seiring dengan penjelasan tersebut, jika saya cermati setiap karya sastra yang diciptakan oleh para penyair Indonesia tidak lepas dari perjalanan panjang penulisnya atau berupa kesaksian atas satu, serangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu. Misalnya (Sekadar merujuk satu nama) Pada puisi Chairil Anwar ‘Karawang Bekasi’. Itulah sebabnya, dari karya sastra kerap ditemukan berbagai hal; tersirat atau tersurat.
Lalu bagaimana dengan sejarah Indonesia? Apakah peristiwa-peristiwa di Indonesia ini sejak zaman kerajaan hingga sekarang tidak terekam, atau tersimpan dengan baik pada ingatan-ingatan penyair dan pembacanya? Inilah yang membangkitkan saya untuk menulis puisi-puisi berlatar belakang sejarah Indonesia. Tentu saja bukan hal yang mudah merangkum seluruh peristiwa sejarah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Pada proses mencari pusat tema yang kemungkinan besar bisa saya ubah ke dalam puisi, saya pun secara tidak sengaja melihat uang kertas. Di mana pada kedua sisinya bergambar para tokoh pahlawan nasional dan sisi lainnya bergambar kebudayaan dan keindahan alam Indonesia. Dua sisi uang Indonesia ini yang membawa saya menulis puisi tentang sejarah dan kultur Indonesia. Sesuai hakikat puisi yang saya anut sebagai media penyampai, puisi-puisi yang saya tulis lebih gamblang dan jernih agar dapat dinikmati oleh semua kalangan, sekaligus menjadi bahan pembelajaran, pengingat tentang tokoh-tokoh perjuangan yang mengorbankan dirinya untuk memerdekakan bangsa.
Sejalan dengan itu, fenomena baru-baru ini pada situasi politik dalam negeri sekaligus situasi pandemi yang masih belum jelas penanganannya membuat keadaan bangsa semakin tak menentu. Jika kita baca sejarah, W.R Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya. Pada tahun-tahun itu, menjadi buronan kolonial hanya karena membuat lagu perjuangan dan memutarkannya di radio-radio. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan sekarang, di mana semua orang bebas berekspresi, berpendapat, mengkritik dan lain sebagainya tanpa harus merasa takut ditembak atau dipenjara. Tidak hanya itu, jika kita saksikan alam Indonesia di seluruh pelosok negeri sungguh sangat mempesona dan kaya akan rempah-rempah, pesona alam dan bahan tambang. Itulah yang membuat bangsa ini selalu digoyahkan untuk direbut. Ini semestinya kita syukuri dan disadari bersama bahwa negeri Indonesia adalah tanah yang paling subur. Untuk itu, saya memilih judul puisi ‘Oeang’ sebagai judul utama. Sebab, judul itu bagi saya memiliki keterikatan makna yang erat dengan tema yang diusung.
Harapan terbesar saya sebagai penyair, puisi-puisi ini dapat menjadi suatu gerakan untuk menatap masa depan yang lebih gemilang bagi bangsa Indonesia. Sebab, sejarah memerdekakan bangsa ini sangat panjang, terlalu mengharukan untuk dikenang.
Juli 2021
Nana Sastrawan