Babakan merupakan salah satu pedukuhan yang terletak di desa Jatimulya, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal. Babakan dikenal dengan pedukuhan pesantren karena memiliki banyak pondok pesantren yang bergerak dibidang pendidikan, baik pendidikan umum, maupun Islami. Dukuh Babakan memiliki tanah yang subur, mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai petani. Warga dukuh Babakan hidup dengan gemah ripah loh jinawi.
Dukuh Babakan memiliki cerita yang unik, berawal dari adanya sayembara akbar yang terkenal hinggal seluruh pelosok negeri. Dikisahkan zaman dahulu pada abad ke 17 atau sekitar tahun 1600, Ki Gede Sebayu yang merupakan bangsawan penyebar agama Islam di Kabupaten Tegal memiliki putri sangat cantik bak bidadari yang bernama Ni Ken Jayanti atau biasa dipanggil dengan nama Ni Ken Subaleksana. Kecantikan Ni Ken Jayanti sangat luar biasa, hingga dikenal sampai ke luar pulau Jawa. Begitu cantiknya Ni Ken Jayanti membuat putra bupati dan adipati terpesona, bahkan hingga putra dari Kerajaan Mataram berebut untuk menyatakan perasaannya.
Ni Ken Jayanti tak pernah membanggakan dan merasa dirinya cantik. Walaupun hidup sebagai putri seorang bangsawan, ia tidak sombong, ia tetap hidup sebagai wanita yang sederhana dan rendah hati. Selain dikenal karena kecantikannya, Ni Ken Jayanti merupakan seseorang yang sangat baik, santun, dan berbudi pekerti.
Ki Gede Sebayu merasa bingung karena banyak lelaki yang ingin meminang putrinya. Ia tidak ingin gegabah, ia harus memilih salah satu dari lelaki yang tepat untuk sang putri. Saat memilih calon suami untuk putrinya, Ki Gede Sebayu melakukan salat tahajud untuk meminta petunjuk dari Allah, melalui suara yang ia dengar, ia mendapat petunjuk tersebut.
“Ki Gede, mboten usah bingung milih tiyang sing bakal dados menantumu, sing bakal dados kuwi jaler sing saweg dados santri. Sederenge milih sinten sing dados mantu, luwih sae Ki Gede Sebayu ndamel sayembara. Sinten sing saged negor wit jati teng kidule wringin kembar, niku jodohe Ni Ken Jayanti.”
Dari petunjuk tersebut, Ki Gede Sebayu mendapatkan pertanda bahwa jodoh putrinya merupakan seorang santri yang sedang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Untuk mengetahui siapa lelaki tersebut, Ki Gede Sebayu mengadakan sayembara, ia meminta bantuan warga untuk menyebarkan sayembara tersebut. Ia berpesan apabila ada laki-laki yang dapat menebang pohon jati yang berada di antara beringin kembar akan dinikahkan dengan Ni Ken Jayanti.
Para warga telah menyebarkan informasi sayembara ke berbagai penjuru. Putra bupati dan adipati dari seluruh Nusantara datang ke Tegal untuk mengikuti sayembara. Mereka sementara tinggal di area tempat Ki Gede Sebayu di dusun Rejasa, yang sekarang menjadi desa Timbang Reja. Peserta sayembara membuat tenda-tenda untuk digunakan sebagai tempat penginapan.
Peserta sayembara yang mendaftar sangat banyak. Mereka diberikan nomer undi sesuai urutan mendaftar. Satu persatu lelaki mencoba menebang pohon jati sesuai dengan nomor undian yang disayembarakan. Namun, hingga malam hari belum ada yang berhasil. Apabila ada peserta yang melakukan kecurangan, Ki Gede Sebayu langsung menegur dan mencoret nama lelaki dari daftar sayembara. Hal tersebut dikarenakan Ki Gede Sebayu sangat menegakkan kejujuran.
Hingga keesokan harinya, seluruh peserta sudah kewalahan dan kehabisan tenaga. Mereka hanya bisa membabak kulit pohon tersebut tanpa merobohkannya. Semua peserta sayembara telah gagal menaklukkan pohon jati karena mereka hanya diberi waktu satu hari untuk bisa menebang pohon jati yang sangat besar tersebut.
Setelah sayembara usai, Ki Gede Sebayu mendapat bisikan bahwa jodoh dari putrinya akan datang untuk menebang pohon jati, pria beruntung tersebut bernama Ki Jadhug. Ki Jadhug tidak lain merupakan Pangeran Purbaya dari Kerajaan Mataram. Ia berasal dari dukuh Sigeblag, desa Slarang Kidul, Kecamatan Lebaksiu. Ki Jadhug datang untuk menebang pohon jati, ia berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah di bawah pohon jati.
“Sinten mawon sing saged nebang wit jati niki, kuwi yaiku jodoh putri kulo Ni Ken Jayanti, menawi Ki Jadhug saged, Ki Jadhug bakal tak dadosaken mantu kulo.”
Mendengar ucapan dari Ki Gedhe Sebayu, Ki Jadhug sangat bersemangat dan lebih khusyu untuk berdoa. Ia memiliki kekuatan sangat besar, ia memukul pohon jati tiga kali dan pohon tersebut langsung roboh hingga akar-akarnya lepas. Ki Jadhug membuktikan bahwa ia tidak hanya membabak kulit pohon jati namun bisa merobohkannya.
Pohon jati telah berhasil ditebang oleh Ki Jadhug dengan disertai angin kencang, membuat yang melihatnya terkejut, hampir semua orang yang berada di sekitar pohon tak melepas pandangannya. Kekuatan Ki Jadhug sangat luar biasa, hingga seluruh peserta sayembara dari berbagai penjuru dapat dikalahkannya.
Ki Gede Sebayu bahagia karena telah menemukan jodoh Ni Ken Jayanti. Ki Gede Sebayu tak pernah menyangka akan mendapatkan menantu dari Kerajaan Mataram. Akhirnya Ki Jadhug dengan Ni Ken Jayanti dinikahkan.
Ki Gede Sebayu berpesan kepada Ki Jadhug untuk menjadi imam yang baik bagi putrinya serta untuk selalu menjaga Ni Ken Jayanti dari berbagai marabahaya yang akan mendatangi. Ki Jadhug dan Ni Ken Jayanti hidup bahagia dan dikaruniai 6 orang anak.
Diketahui, setelah Ki Jadhug dapat menebang pohon jati tersebut, Ki Gede Sebayu mengambil pohon jati untuk dijadikan sebagai sakaguru di Masjid Agung Kalisoka. Ia ingin pohon jati tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik.
Cerita tersebut merupakan asal usul dari dukuh Babakan, disebut Babakan karena diambil dari kata “Membabak” yang apabila diartikan dalam bahasa Jawa artinya nyiseti kulite wit-witan. Hal tersebut dikarenakan dari sebelum Ki Jadhug datang, banyak peserta sayembara yang hanya bisa membabak pohon jati tersebut tanpa bisa menebangnya. Selain itu, serpihan-serpihan kulit kayu jati terbang terbawa angin kencang hingga berserakan di pedukuhan tersebut, sehingga dinamakan sebagai dukuh Babakan.
Kini dukuh Babakan menjadi salah satu pedukuhan yang melahirkan santri dan alim ulama. Selain mengutamakan ajaran Islam, masyarakat dukuh Babakan terus mengembangkan warganya untuk meningkatkan keterampilan dan tetap melestarikan budaya. Masih banyak kesenian yang dilestarikan di pedukuhan ini, seperti seni Kuntulan. Seni Kuntulan merupakan kesenian bela diri yang diiringi dengan alunan musik Islam menggunakan alat musik terbang, bedug, jidor, gong, dan kendang. Kemudian salah satu dari pemain membacakan kitab Al-Barzanji untuk digunakan sebagai syair utama. Seluruh pemain seni Kuntulan menggggunakan busana muslim, seluruh rangkaian kesenian ini syarat akan makna dan kandungan nilai-nilai Islam, sehingga seni ini sangat dijaga oleh masyarakat dukuh Babakan.
*) Cerita rakyat ini berasal dari Dukuh Babakan, Desa Jatimulya, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah.
Nadia Rahmatika, lahir di Tegal, 20 November 2000. Mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Berdomisili di Tegal.