Bab 1

Di Ambang Girang Santri Uthun

Kek Atek

Alhamdulillah

Pagi yang cerah, semburat pantulan sinar matahari menembus kristal butir-butir air sisa hujan, menggelayut di rimbunan daun bambu. Sesekali semilir dingin pun berhembus menembus pori-pori dinding pondok yang tersusun dari anyaman bambu. Bangunan sederhana itu memang dikepung pohon bambu. Jika diperhatikan, anyaman bambu sebagai tembok bangunan itu sudah berwarna cokelat, dan atap bangunan yang nyaris tak kokoh lagi. Kayu- kayu yang terpancang untuk menahan atap genteng sudah berumur puluhan tahun; dimakan rayap, terkena bocor air hujan, menjadi sarang walet, lebah atau burung pipit. Sehingga orang- orang sekitar situ menamainya Pondok Bale Rombeng. Tetapi, bagi santri-santri bangunan ini adalah istimewa, sederhana khas bangunan kampung pada umumnya.

Di sudut luar pondok terdapat pancuran air dari gentong tembikar berlubang yang sudah terlapisi lumut. Di bawah pancuran, terdapat batu-batu kali tersebar, tidak beraturan sampai ke halaman depan Pondok. Di depan pintu pondok tersusun batu pijak, setapak demi setapak sampai ke bawah pancuran gentong.

Meski musim hujan mulai mengguyur. Langit masih berwarna biru, matahari bersinar menghangatkan suasana dingin di lokasi pegunungan ini. Kabut-kabut mulai memudar terkena cahaya matahari, menjadi embun, lalu menetes di daun-daun, jatuh ke tanah. Suara-suara kicau burung kutilang kadang masih terdengar bersahutan seolah ikut bergembira, beriringan dengan gema salawat yang disenandungkan oleh para santri. Derit gesekan batang bambu kadang juga sesekali datang bersamaan dengan semilir angin, memagut-magut cabang dan rantingnya di sekitar pondok. Terasa begitu syahdu pagi ini.

Beberapa santri hanyut bersenandung salawat sambil menunggu ustad datang memasuki ruang pengajian. Ruangan yang tidak terlalu luas untuk jumlah santri sekitar dua puluhan orang. Mereka duduk bersila, mengenakan kopiah hitam dan bersarung. Lantunan salawat semakin lama semakin syahdu.

Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad
Wa’ala ali Sayyidina Muhammad.
Astaghfirullah robbal baroya.
Astaghfirullah minal khotoya.
Robbi zidni ‘ilman nafia
Robby zidni ‘amalan sholihah
Robbi zidni ‘ilman nafia
Wawafiqni ‘amalan maqbula
 
Di tempat yang lain, di serambi rumah samping pondok. Lelaki separuh baya berdiri, matanya seakan mengeja angin, menatap ke langit, hatinya hening, namun dalam pikirannya berkecamuk. Terlihat dari gerak tangannya yang sesekali menggaruk kepala yang tertutup kopiah hitam. Suatu tingkah laku yang tak biasa, entah apa yang sedang dipikirkan, sambil hilir mudik.

Kemudian ia melihat ke arah santri-santri yang bersalawat, memerhatikan santri-santri itu, dan matanya terhenti pada seorang santri.

“Ben, sini kamu!”

Suara paraunya membelah senandung puji-puji salawat. Seluruh santri menghentikan bacaannya, semua memandang ke arah Ben dengan penuh tanda tanya. Menyadari bahwa suara panggilannya pada situasi tidak tepat, lelaki itu langsung meminta maaf, kemudian mengarahkan santri-santri untuk melanjutkan. Sementara itu, Ben bangkit dari duduk silanya, dia berjalan menghampiri lelaki paruh baya itu. Dalam hatinya bertanya-tanya.

Ben adalah nama panggilan satu di antara santri remaja Pondok Bale Rombeng. Dia memiliki nama lengkap Benrene Sulaiman. Entah dari mana asal usulnya tidak banyak yang tahu persis. Mungkin orang tuanya campuran Arab dan Eropa, atau mereka sering membaca roman terjemaah, entah. Sampai saat ini nama itu masih misteri, bahkan untuk Ben sendiri. Tapi, ada yang bilang Ben berasal dari Jawa. Dia sudah menjadi anak yatim sejak tinggal di pesantren. Di luar jam pelajaran mengaji dia juga bersekolah di SMA Islam milik pesantren.

Sekolah ini boleh dibilang terkesan seadanya saja. Gurunya pun hampir tidak ada yang mengajar sesuai dengan bidang pendidikannya, yang penting sekolah harus tetap jalan. Jika musim ujian, Sekolah SMA ini masih belum boleh ujian sendiri, harus ikut bergabung pada sekolah yang telah memenuhi syarat mengadakan ujian sendiri.

Assalamualaikum… Romo Kiyai,” sapa Ben, lalu mencium tangan lelaki paruh baya yang dipanggil Romo Kiyai.
Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh…”

Ben bersila di hadapan Romo Kiyai, dengan kepala menunduk, tanpa berani menengadahkan pandangan. Romo Kiyai memandang Ben dengan tatapan yang tak biasa, penuh haru. Sepertinya akan terjadi dialog panjang antara santri dan gurunya.

“Begini Ben, tadi malam ada teman Romo kemari, pak Cecep Sudarmo. Beliau pesan, jika ada santri yang hapal 10 Juz, akan dibiayai ikut bimbingan tes masuk Perguruan tinggi. Dan akan dicarikan sponsor biaya kuliah jika sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri.”

Romo Kiyai menghela napas sambil memperhatikan sikap Ben. Sesekali pandangannya tertuju pada goyangan daun bambu yang sedari tadi hampir tak terlihat diam berhenti. Seolah semua yang mengganjal di hatinya telah lepas, Romo Kiyai terlihat berbinar, dia kembali menatap Ben.

Namun Ben tetap pada posisi bersila tanpa ekspresi. Entah apa saja perasaannya ketika mendengar berita dari gurunya. Dia tidak berani berkata lain kecuali mengangguk sambil sesekali berkata pelan.

“Iya Romo Kiyai.”

Bagi Ben bisa mengaji saja sudah bagus, apalagi bisa sambil sekolah, sudah rezeki dan berkah luar biasa. Kuliah baginya hanya angan-angan. Tentu saja, dalam hati Ben berbeda, dia sangat merasa terkejut sekaligus gembira, ingin dia melompat bahagia. Hanya saja, tak mungkin ekspresi kegembiraannya itu meluap ke luar di hadapan Romo Kiyai yang dihormatinya.

Sementara di atap serambi, sarang laba-laba yang ditinggalkan penghuninya menjadi saksi dialog mereka di pagi menjelang siang hari ini. Kini, pikiran Ben yang berkecamuk. Apakah benar ucapan Romo Kiyai ini? Tapi, dia tak mungkin bohong, selama ini Romo Kiyai selalu berkata benar. Obrolan pun berlanjut, Romo Kiyai memberikan beberapa nasihat, wejangan untuk terus berjuang, tidak terlena pada beasiswa. Seorang pembelajar mesti menjadi seorang pejuang, sebab ilmu adalah pelita di dunia sampai di akhirat, banyak yang mencarinya.

Hari berangkat siang, gemericik aliran air wudu dari gentong mulai terdengar. Satu, dua orang mengantri untuk mengambil air wudu. Persiapan menerima materi pelajaran sampai menjelang siang mendekati waktu duhur. Alunan salawat pun berganti dengan lagu-lagu syair pelajaran di pesantren, pertanda ustad pengajar sudah masuk ruang pengajian.

Para santri mulai menghapal sebagian isi kitab Aqidatul Awam, Kitab yang menjadi pedoman awal bagi santri dalam belajar ilmu tauhid, ilmu yang mempelajari kemaha-esaan Allah SWT. Kitab Aqidatul Awam dikarang oleh Syekh Ahmad al-Marzûqi yang lahir di Mesir pada tahun 1205 Hijriah dan belajar ilmu di Makkah, kemudian menjadi pengajar di Masjidil Haram dan diangkat menjadi Mufti dalam Mazhab Maliki. Kitab ini berisi pelajaran aqidah tingkat awam yang ditulis dalam lima puluh tujuh bait. Sebagai bab pendahuluannya adalah puji-pujian kepada Allah SWT, Rasululullah serta para sahabat dan keluarga Nabi. Kemudian dilanjutkan penjelasan tentang kewajiban bagi muslim untuk memahami 20 sifat wajib bagi Allah, sifat-sifat mustahil, dan sifat jaiz. Demikian juga disampaikan di kitab ini, tentang sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi para Rasul serta  nama-nama 25 Nabi dan sekaligus Rasul, termasuk sepuluh nama malaikat beserta sifat-sifatnya.

Siang hari ini satu di antara bait dilagukan oleh santri dan terdengar senandung bait-bait pelajaran Tauhid, sifat dua puluh bagi Allah.

Allah, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawaditsi,
Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat,
Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Qaadiran, Muriidan,
Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiiran, Mutakalliman.

Itulah alunan lagu tersebut melantun mengiringi obrolan Romo Kiyai dan Ben  yang berakhir. Dia kembali ke ruang pengajian bergabung bersama santri mempelajari kitab Aqidatul Awam.

Namun, Ben masih gelisah. Bukan apa-apa, situasi pandemi Covid-19 ini yang membuatnya khawatir, di saat orang-orang menjauhi kerumunan, menjauhi kota, menyepi dan mengurung diri di dalam rumah. Ben harus pergi dari pesantren, tempat yang sejuk dan jauh dari kerumunan. Tapi, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, dia tidak menyurutkan tekad untuk menjawab kesempatan dari Romo Kiyai, yang seolah bermetamorfosa menjadi tugas berat dan sangat menantang. Tentunya sambil tetap menjaga protokol kesehatan; jaga jarak, memakai masker, jaga kebersihan, sering mencuci tangan memakai sabun, dan menjaga stamina kesehatan badan serta pikiran.

“Aku harus bisa, harus!”

Suara hatinya memecah kesunyian pikir. Ben seolah sudah tak lagi bisa fokus mengikuti pelajaran pengajian hari ini. Pikiran dan perasaannya masih terngiang pesan-pesan Romo Kiyai.

“Aku tidak boleh mengecewakan Romo Kiyai. Tetapi berat, berat ini…”

Ben berbicara sendiri di dalam pikiran. Di antara ya, dan tidak. Ya, ini berita pembawa girang. Betapa tidak, berita ini menyenangkan memang, cukup dengan cara memenuhi syarat seperti yang disampaikan Romo Kiyai. Cita-cita Ben, Insya Allah bisa terwujud. Tidak ada jalan lain. Tidak, memang tidak mudah untuk memenuhi syarat tersebut. Sepuluh juz bukanlah hapalan yang mudah. Kebimbangan mulai menelusuri pikiran dan perasaan Ben. Daun-daun bambu pun bergesekan, batangnya berderit seolah menemani pikiran Ben yang semakin gelisah.

Cericit burung-burung pipit berseliweran menari-nari di ranting bambu, sambil sesekali terbang pindah ke pohon sawo yang rimbun. Burung-burung ini beterbangan dari sawah ketika musim padi mulai menguning. Padahal hari ini baru mulai musim hujan. Pohon sawo berada di pinggir depan halaman pesantren. Burung burung pipit ini menyusun sarang di rimbunan pohon itu.

Pandangan mata Ben pun justru ke luar ruang pengajian, tak lagi fokus pada lembar halaman kitab Aqidatul Awam yang berbahasa Arab dengan terjemahan tulisan Arab Jawi berbahasa daerah setempat, dilihatnya anak anak kampung di sekitar pesantren yang sedang lewat sambil bermain, memanjat pohon sawo itu, mengambil telor burung pipit atau pun anak burung untuk dipelihara. Padahal burung-burung itu oleh pesantren memang sengaja dibiarkan agar bersarang dan beranak-pinak menjadi banyak, bisa menjadi penjaga keseimbangan alam, menjaga rantai makanan secara alami. Demikian pesan Romo Kiyai pernah disampaikan suatu saat kepada beberapa santri. Tetapi, namanya anak-anak ya tetap anak-anak.

“Ah seandainya aku bisa bebas seperti mereka, bermain dan beraktivitas ke sana kemari dengan bergembira, bebas menentukan pilihan,” sergah Ben dalam pikiran, berandai-andai sendiri.

Pelajaran Kitab Aqidatul Awam, hampir usai. Pikiran Ben masih belum beranjak dari suasana girang dan gamang dalam menyikapi kesempatan yang diberikan oleh Romo Kiyai; Hapal Alquran 10 Juz, Kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, Lulus Tes, dan dapat Sponsor Beasiswa.

Bismillah … aku harus bisa!” pikirnya meyakinkan diri sendiri.

Hatta yang sedari tadi khusuk menyimak arahan dari Ustad Cep Umar, hanya bisa melirik ke arah Ben, dia melihat ada yang aneh pada sahabatnya itu.

“Sst… ada apa tadi sama Romo Kiyai?” bisik Hatta sambil mencolek pundak Ben.

Ben terkejut, lamunannya bunyar dia melirik ke Hatta lalu menggelengkan kepala. Dia tak berani menceritakan ke siapa pun, termasuk Hatta, teman sekamarnya di pesantren. Berita kesempatan ini dia simpan rapat-rapat, agar jika tidak bisa meraihnya, tidak ada yang mengetahui selain dirinya, Romo Kiyai, dan Allah SWT.

Alunan salawat seperti tadi pagi kembali ramai, bukan berasal dari ruang pengajian, tetapi makin merdu terdengar dari musala di lingkungan pondok. Waktu duhur sudah mendekat. Pelajaran pengajian pun selesai, santri-santri langsung mencium tangan ustad yang memberi pelajaran, sebagai tanda hormat dan terima kasih atas ilmu yang disampaikan oleh ustad tersebut. Kali ini giliran Ustad Cep Umar yang baru saja rampung memberi pelajaran pada santri.

Ben melangkah keluar ruang pengajian menuju Musala Pesantren. Ingin rasanya segera mengambil air wudu, dan secepatnya akan mengadukan kebimbangan antara ya dan tidak dalam mengambil kesempatan dan memenuhi syarat-syaratnya. Syarat yang berat dan kesempatan yang menantang. Ben ingin mengadukan semuanya kepada Allah SWT.

Di tengah jalan, tidak sengaja matanya tertuju pada beberapa semut merah yang merambat di sarungnya, entah dari mana dan sejak kapan semut-semut itu bergelantungan di sarungnya.

“Awas Ben, di sarungmu ada semut Rang-rang!” teriak Ustad Cep Umar yang mengikutinya dari belakang.

Semut Rang-rang adalah nama sebutan semut merah di perkampungan sekitar pesantren. Di pohon Sawo milik pesantren ada beberapa sarang semut merah. Sekilas tadi ketika santri sedang belajar, terlihat tukang pencari telur semut merah untuk makanan burung sedang menjulurkan galah ke sarang semut untuk mengambil telurnya.

Ben pun melihat dan memeriksa sarung.

“ Baik Ustad, terimakasih.” sahut Ben sambil mengibaskan sarungnya agar semut semut itu terlepas dari sarung.
“Tuh... di kopiahmu juga ada!” suara Hatta ke arah Ben sambil menimpali desau angin yang berhembus manja menerpa badan mereka di siang itu.
“ Sarung dan Kopiahmu laris ya …” kata Ustad Cep Umar sambil sedikit tersenyum ke arah Ben.
“Ya benar Pak Ustad, laris dikerubung Rang-rang. Ke mana-mana pakai Sarung dan Kopiah Ben ini. Dasar Santri Uthun, Santri sejati Ben!” kata Hatta teman sekamar yang sebenarnya baru saja dikenal.

Hatta adalah remaja kota yang baru saja datang ke pesantren untuk ikut mondok sambil mengisi waktu. Dia mahasiswa tingkat pertama yang leluasa tidak masuk kampus, karena sedang ada kuliah Online selama musim pandemi. Sebagian waktunya dipakai untuk belajar agama di pesantren bersama Ben. Memakai sarung dan kopiah setiap hari baginya adalah tradisi baru yang jarang di kenakan ketika berada di kehidupan kota. Tidak seperti Ben dan Ustad-Ustad di pesantren, sarung dan kopiah adalah identitas sebagai santri uthun, santri sejati menurut istilah Hatta teman Ben. Santri yang selalu hidup dalam kesederhanaan di segala lini kehidupan. Santri yang hampir tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk segala macam problematika masyarakat luas. Fokus pada jalan lurus seperti tercermin pada filosofi sarung dan kopiah hitam. Seperti yang pernah disampaikan oleh Ustad Cep Umar.

“Hanya sarung yang bisa dipakai untuk segala macam keperluan, dan bisa dikenakan segala postur. Orang gendut, kurus maupun orang sedang-sedang saja, tidak kurus dan tidak gendut, semua cocok!”

Mereka tertawa, hampir bareng dan menimpa alunan salawat dari arah musola.

“Jika tidak punya bungkus, sarung bisa berfungsi sebagai bungkus pakaian, bahkan bisa untuk satu sarung berdua, ya kan Hatta?” kata Ustad Cep Umar. Hatta hanya manggut-manggut, dan sesekali ikut tertawa bersama mereka.
“Kapan-kapan Insya Allah kita teruskan tentang filosofi Kopiah hitam.”
“Ayo segera ke musola, suara iqomat sudah berkumandang!” Ajak Ustad Cep Umar, kemudian mereka mempercepat jalan menuju ke arah musola. Semilir angin terasa sepoi menambah kesyahduan para jamaah di musola pesantren. Musola ini tidak terlalu besar, dan sedikit lebih tampak bagus dibandingkan dengan tampilan ruang pengajian Pondok Bale Rombeng. Semua dinding musola terbuat dari papan kayu cat hijau. Serambi musola juga tampak bersih terjaga dari kesan kumuh. Beberapa tikar pandan masih tergulung tergeletak di sudut serambi musola.

Setelah salat duhur, seperti biasa makanan digelar di atas pelepah daun pisang. Santri yang piket memasak menata semua makanan, tidak lupa sedikit sambal dan garam ditaruh di tepian daun pisang sebagai penyedap bagi yang suka pedas dan penambah rasa asin jika diperlukan.

Satu persatu Santri dan Ustad keluar dari dalam musola, merka berdatangan menuju tempat hidangan makanan. Tempat ini tidak lain adalah serambi musola pesantren. Santri dan Ustad duduk bersila sambil menikmati makan minum secukupnya: Makan ketika lapar, dan berhenti sebelum kenyang. Begitulah satu di antara adab makan-minum di Pesantren ini.

Mendung yang mulai tampak, menghalangi sinar matahari, sehingga cuaca sedikit gelap dengan udara serasa gerah. Ditambah makan dengan lauk sambal terasi, badan terasa panas, keringat pun sedikit mengucur, padahal tidak dalam kondisi sehabis bekerja keras. Setelah makan justru malah keluar keringat.

“Sehat…” kata Ben pada teman di sebelahnya yang terlihat merah padam sehabis makan-minum secukupnya. Sejenak, Ben melupakan kegalauannya.
“Ya, Alhamdulillah.…” timpal temannya sambil mengacungkan jempol.

Ben mempunyai teman sesama santri sekitar 20 orang. Teman yang paling akrab bernama Kian Kasep. Bocah ini berbadan gempal, anaknya ramah, bahkan cenderung lucu. Mereka berdua seolah tak pernah berpisah, kemana-mana selalu berdua, sejak pertama kali menjadi santri, sebagai penghuni pesantren, mereka saling mempunyai kecocokan satu sama lain.

Rumah orang tua Kian Kasep tidak terlalu jauh dari Pesantren. Pernah suatu ketika, setelah mendapat ijin dari Romo Kiyai, Ben menemani Kian Kasep pulang bersilaturahmi ke orang tua di kampung halaman. Untuk menuju rumah orang tua Kian Kasep, dari pesantren mereka harus naik turun perbukitan.

Sepanjang jalan berjajar rapi pohon pohon bambu. Bahkan ada saat saat perlu menembus rimbunan ranting bambu yang saling bertautan, seolah membentuk lorong dengan puluhan semburat sinar matahari masuk di celah-celah rimbun bambu. Apalagi jika cuaca cerah-ceria. Semburat sinar matahari menjadi semacam garis-garis sinar dari puluhan lampu senter.

“Ben … mana maskermu?”
“Oh iya lupa. Ini ada di saku.”
“Pakai dong, jangan sampai tergoda dengan Si Mbak!”
“Mbak siapa, tidak kenal aku.”
“Jelas tidak kenal, Si Mbaknya yang kenal kamu.”
“Ah, masa iya?”
“Iya, kamu kan orang terkenal, orang beken Ben.”
“Apa iya?”
“Iya betul, dikenal oleh Si Mbak Korona”
“Dasar!”

Tawa mereka pun pecah, sambil sedikit terengah, mengambil napas, karena perjalanan sedang menanjak. Mereka berdua berjalan kaki. Kadang perlu istirahat beberapa saat. Selama perjalanan hampir tidak pernah bertemu dengan orang lain. Kampung halaman Kian Kasep memang masih terasa di pedalaman.

Hanya jalan setapak tanah merah yang mereka telusuri sampai mencapai rumah orang tua Kian Kasep. Rumah sederhana dengan atap genteng, lantai tanah merah, dan berdinding separuh kayu papan, separuhnya lagi anyaman bambu tanpa pelapis warna. Saat itu orang tua Kian Kasep sedang berada di rumah dan suara Pak Kariman orang tua Kian Kasep menyambut mereka berdua.

Ben dan Kian Kasep pun bergegas masuk ke dalam rumah dan menyantap singkong rebus. Perut lapar, itu kuncinya agar segala macam makanan menjadi terasa lezat. Dan berhenti sebelum kenyang agar badan tetap terjaga stamina kesehatannya. Nasihat Romo Kiyai dan Ustadz Pesantren selalu menjadi pedoman sehari hari.

Begitulah pengalaman Ben ketika menemani Kian Kasep Pulang kampung. Saat ini, mereka berdua bersama Santri dan Ustad sedang santap siang di serambi musola yang tidak seberapa lebar, kira-kira hanya sepuluh kali tiga meter. Terisi sekitar dua puluh lima orang, menjadi terasa luas tersebab pancaran rasa syukur yang kuat dari masing masing pribadi yang hadir, sambil tetap jaga jarak dan jaga kesehatan. Protokol kesehatan untuk mencegah penularan lebih luas, tetap wajib dilakukan. Pandemi virus Korona masih merajalela di seluruh dunia, termasuk di sekitar daerah Pesantren. Manusia wajib berusaha, Allah jua yang menentukan hasilnya.

Langit semakin gelap. Burung-burung ramai berkicau melompat-lompat di antara ranting, kadang terbang kian kemari sambil matukkan paruh mereka. Seolah tidak mau ketinggalan kesempatan, sebab mungkin sebentar lagi akan hujan lebat. Demikian halnya dengan Ben, selesai makan dia bergegas menuju Gentong pancuran air wudu.

Dia mengisi gentong air dengan terlebih dahulu menimba air dari sumur gali di samping gentong, tidak ada saluran pipa dari tangki air yang berasal dari pompa air: Agar santri mempunyai otot tangan yang kuat, kata Ustad Cep Umar suatu ketika, saat ditanya kenapa tidak ada saluran pipa yang berasal dari pompa listrik ke gentong air untuk berwudu.

Selesai wudu, Ben langsung menuju musola, diam-diam dia mulai menghafal Al Quran di bawah bimbingan Ustad Hafidz Kataman. Dia adalah alumni penghafal Al Quran dari Pesantren Desa Sebelah, dia hafal 30 Juz. Subhanalloh.

Ayat demi ayat dilantunkan. Surat demi surat dihafalkan. Ben benar-benar hanyut dalam pelajaran menghafal Al Quran. Saat ini sekolah pun masih belum aktif belajar tatap muka. Semua murid dirumahkan. Semua belajar lewat jalur Online. Banyak kesempatan belajar di rumah, berarti bagi Ben adalah belajar di Pesantren.

Sejak di Pesantren dia tidak pernah pulang ke Jawa ke rumah ibu dan kakek-neneknya. Kadang sesekali ada berita baik dari keluarganya, ketika ada Ustad maupun Santri yang bertugas berdakwah di dekat rumah orang tuanya di Jawa. Pesantren beberapa kali dipanggil berdakwah oleh masyarakat di tanah Jawa.

Selain pengabaran seperti itu, tidak pernah ada kabar lagi yang diterima Ben. Lebih-lebih di musim pandemi Covid-19 seperti saat ini. Semua tampak berubah. Dimana-mana bertemu orang-orang yang memakai masker. Tiada lagi kerumunan yang biasa dilakukan oleh masyarakat selepas bekerja, sekadar melepas penat, minum kopi bersama tetangga atau pun kerabat dekat dan teman sebaya.

Tiba tiba semua orang seolah tidak saling mengenal, jabat tangan keakraban mendadak lenyap. Takut saling tular-menularkan virus Korona yang berbahaya. Kata berita di televisi sampai saat ini belum ada obatnya. Kematian ada di beberapa tempat, karena terjangkit virus. Cara menguburkan jenazah pun menggunakan tata cara khusus dan oleh petugas khusus dari rumah sakit khusus penanggulangan Virus Korona. Tidak ada yang berani mendekat, takut tertular. Berita-berita di medsos hilir mudik menginformasikan Korona.

Di kampung-kampung dijaga ketat, tamu yang keluar masuk kampung diperiksa suhu badannya. Bahkan yang baru datang dari kota, wajib karantina di rumah masing masing selama 14 hari. Jam buka warung pun dibatasi hanya sampai jam 16.00 sore. Dilarang buka sampai malam hari. Petugas keamanan desa bekerja sama dengan Polisi keluar masuk perkampungan, untuk menjaga keamanan sekaligus memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas.

Penyuluhan tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit menular tersebab Virus Korona. Semua diminta bekerja sama gotong-royong demi keselamatan dan menjaga kesehatan bersama. Bekerja dari rumah menjadi pilihan dari beberapa perkantoran.. Begitu juga masjid, setiap pintu masuk teras masjid, sudah dapat dipastikan terdapat kran air dan sabun pencuci tangan.

Di dalam masjid pun diberi tanda silang di lantainya, sebagai penanda posisi berjarak antara satu jamaah dengan jamaah yang lain, masing-masing berjarak sekitar satu meter sampai satu setengah meter. Ada fatwa ulama bahwa selama pandemi covid-19, umat muslim boleh tidak salat Jumat berjamaah di Masjid, diganti dengan salat duhur. Salat berjamaah sehari-hari pun ditiadakan.

Semua sudah mulai berubah karena pandemi Covid-19, kecuali tekad Ben yang tak pernah pudar, justru semakin membara untuk bisa memenuhi persyaratan atas kesempatan yang diberikan oleh Romo Kiyai. Ben, menundukan kepala, memejamkan mata, mulutnya komat-kamit menghapal ayat-ayat Al Quran.

Bismillah…

Bersambung klik di sini https://mbludus.com/ban-ben-bun-kisah-santri-uthun-meraih-impian-2/

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *