Ketika Anugerah Dibayar Darah

Flm

Desa Muryo

Petang telah tiba. Mendung mulai menyapa penduduk bumi. Gelap dan disertai angin. Pohon bambu yang berada kurang lebih 100 meter di belakang rumah melambai penuh arti. Di depan pohon bambu terdapat pepohonan jati yang telah berusia 10 tahun. Sedang di sebelah kiri ada banyak pohon melinjo.Sebuah rumah yang masih berdinding bambu tetap tegak berdiri. Sang empunya sedang menyiapkan makan untuk sang suami yang kini sedang menuju ke rumah. Halaman depan dihiasi dengan mawar merah yang sedang mekar, cabe rawit, melati,bunga kertas, dan pohon rambutan.Seorang pria dengan tubuh sedang berotot telah tiba. Dari dalam terdengar suara tergopoh-gopoh untuk menyambut pria tersebut.

Assalamualaikum,” Pardi mengetuk pintu.
Waalaikumsalam.”

Sukma membuka pintu lalu mencium tangan suaminya dengan hati yang sumringah. Kelaparan melanda sejak beberapa jam yang lalu sehabis pulang dari tempat kerjanya sebagai kuli bangunan.

“Masak apa hari ini?”
Alhamdulillah Sukma masak banyak buat Abang. Ada sayur asem, sambal, ikan asin, dan kerupuk gendar kesukaan Abang.” jawab Sukma sambil terus tersenyum.
“Tumben sekali, memang ada acara apa?” tanya Pardi penasaran. Karena ia tahu tidak biasanya Sukma masak sebanyak itu.

Sukma menatap wajah dengan raut muka tegas seseorang yang telah menemaninya tiga tahun ini. Seorang pria yang dengan kesungguhan hati dan keluhuran budi datang untuk meminang ke desanya. Memang desa Sukma hanya berjarak satu kilometer dari desa Pardi. Sukma yang saat itu sudah berusia 27 tahun harus rela menerima pinangan dari seorang pria yang baru saja kenal sepintas. Meski begitu, Sukma begitu percaya. Hingga tak menyadari pepatah ada udang di balik batu. Kebengisan tidak akan tampak dibalik kata-kata yang manis mulanya. Ia lalu menikah dan harus rela pula berpisah dengan ibunya yang sudah renta untuk ikut bersama pria itu ke desanya.Harapan menjadi ibu telah ada ia inginkan setelah menikah. Dan akhirnya Allah mengabulkan.

[iklan]

“Sudah tiga tahun kita menanti anugerah dari Sang Maha Kuasa. Dan akhirnya terkabulkan. Sukma hamil bang.”

Petir menyambar dada lelaki yang dicintainya itu.

“Tidakkah lebih baik kau gugurkan saja kandungan itu. Tengok rumah kita yang berlantaikan tanah, berdinding bambu. Belum lagi kehidupan sehari-hari yang pas-pasan. Bukan aku tidak suka kau hamil. Hanya saja waktunya tidak tepat. Cari duit sekarang sedang begitu susah Sukma. Ditambah kau hamil pula. Mau kita kasih makan apa anak itu nanti.”

Sukma terdiam membisu. Ditatapnya lantai yang tak kunjung menjadi keramik, genting yang acapkali bocor tatkala hujan besar dan uang belanja yang tak seberapa. Ia sadar betul kehidupan susah ini. Namun anugerah tetaplah meski disyukuri. Ia merupakan hadiah yang diinginkan oleh setiap hawa yang ingin menjadi ibu. Sukma telah menasbihkan hidup dan matinya untuk kandungan nanti.

“Sebab apa Abang tega mengucapkan hal itu. Adakah taman bahagia di hati Abang tersebab mendengar Sukma hamil. Mengapa justru kalimat itu yang harus Sukma dengar. Sungguh Bang, sesulit apapun hidup kita saat ini, kemiskinan yang kian menerpa kita, hendaklah itu jangan menjadi halangan untuk melakukan dosa sebab menggugurkan bayi ini. Oleh karena itu, izinkanlah Sukma menjaga kandungan ini hingga sampai waktunya.”

“Tiga tahun sudah setidaknya cukup bagimu untuk mengerti sifat Abang. Jika Abang sudah memutuskan sesuatu, maka janganlah engkau salahkan Abang. Bahkan hingga maut pun tidak akan Abang tarik apa yang telah terlontar dari bibir ini.”

Pardi langsung keluar rumah meninggalkan Sukma.

**
Sejak suaminya tahu saat itu pula ia jarang sekali pulang. Duhai,, hati istri mana yang tak terkoyak ketika mengalami hal itu. Hingga satu bulan sudah Pardi tidak pulang. Sukma kian menjerit ditambah pula kandungan yang ada di dalam perut. Meski begitu ia mencoba untuk tetap tegar. Siang malam tak henti untuk meratap.

“Aduhai Sang Pemilik Hati, Sang Penggenggam Jiwa, kepada-Mu-lah kami kembali. Kutatap kepergiannya hingga kini tiada kabar. Hamba mencoba sabarkan hati untuk tetap setia menunggunya hingga mati. Salahkah hamba-Mu ini?. Wahai Sang kekasih hati, lekaslah engkau pulang. Tengoklah istrimu, tidakkah engkau rindu padaku?”

Tubuhnya kian ringkih, malam-malam begitu amat mencekam. Belum lagi jarak antara satu rumah dengan rumah lain yang cukup jauh. Sukma tidak sanggup lagi menahan beban hidupnya. Tak lelah pintunya terus ditatap. Berharap sang suami datang membawa bunga kebahagiaan.

Tiga bulan sudah Sukma dalam kesendirian. Hanya ratapan pilu yang terus ia persembahkan. Untuk sehari-haripun ia hanya mampu menghutang ke tetangga. Sebenarnya para tetangga mengetahui hal tersebut. Mereka juga berusaha ikut mencari. Namun, hanya nihil yang didapat. Dan Sukma pun akhirnya pasrah.

Pukul 03.00 Wib

Dua orang pria bertopeng masuk ke dalam rumah dengan mendobrak. Mereka berdua langsung menuju ke kamar tempat Sukma berbaring. Masing-masing membawa senjata tajam.

“Astagfirullah!” Sukma langsung tersadar dan menjerit ketika tubuhnya ditarik paksa oleh kedua orang itu. Sebuah parang langsung mengenai bagian punggungnya bersamaan dengan pisau yang menancap di perut dan mengoyak bagian rahim. Aksi dua orang itu terbilang cukup tepat dan cepat. Setelah membersihkan parang dan pisau, mereka berdua langsung menggotong tubuh Sukma yang penuh darah menuju sungai di belakang rumah yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Jalanan yang setapak dan sepi membuat aksi mereka begitu mulus. Setelah selesai membuang ke sungai, salah satu diantara mereka membuka topeng.

“Maafkan aku, Sukma.”

Pukul 11.00 Wib

Supri-seorang warga Desa Muryo yang hendak memancing, tiba-tiba dikejutkan oleh sesosok mayat perempuan tersangkut batu dengan baju yang terkoyak dan luka sayatan yang cukup mengerikan. Ia pun lantas pergi untuk memberitahu warga Desa Muryo lainnya. Semua warga berbondong-bondong penasaran siapakah mayat perempuan itu. Polisi yang ikut dengan warga langsung melakukan pengangkutan jenazah tersebut.

Setelah dibawa ke tepian, semua warga terpana. Siapa yang tega membunuh seorang perempuan dengan budi luhur yang sedang hamil itu. Sungai terusan Pageruci yang tenang menjadi saksi atas kekejian itu. Siapa akan menyangka takdir kematian seseorang. Mulut yang manis meninggalkan bekas yang tragis. Anugerah yang seharusnya menjadi berkah justru harus dibayar dengan darah.

Fita Aman Sari dengan nama pena Flm. Lahir pada tanggal 28 April 1995.Seorang guru tk yang kini beralih profesi menjadi pekerja biasa sebagai tukang packing makanan popcorn. Anggota Forum Lingkar Pena Cirebon dari tahun 2019-sampai sekarang. Memiliki empat buku antologi bersama saat mengikuti even Nubar Rumedia Jatim 2019. Mencintai dunia travelling,menulis, membaca, dan juga anak-anak. Mempunyai motto be the best of the best. Dan bertempat tinggal di Cirebon yang dekat dengan Gunung tertinggi se-jawa barat, Ciremai. Untuk lebih dekatnya silakan kunjungi fb: Fi MiĀ  instagram : Flm.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *