Puisi sering menjadi ekspresi ungkapan kegundahan hati. Dia menjadi penyampai yang unik. Setiap kata dan larik menjadi simbol yang halus. Ya, kegundahan hati selalu dirasakan oleh setiap orang, mereka terkadang memiliki kegundahan yang sama, seperti kesendirian, kesepian, kerinduan, kemarahan, kebencian dan lain-lain. Puisi-Puisi Windhihati Mazhaya ini seolah tengah menggambarkan kegundahan-kegudahan itu sehingga larik-larik puisiya dapat dirasakan oleh setiap orang. (Redaksi).
[iklan]
Puisi-Puisi Windhihati Mazhaya
Suatu hari di Bulan Mei
Sisa hujan menetes dari ujung rambutmu
Dan angin diam-diam menjadi penyampai sebaris kata dari puisiku
Ketika engkau menjadi arahku memandang
Mengarungi kenangan, menjelajahi senyap
Menemukan hatimu yang menjadi dermaga
Tempat aku berpijar di antara bintang-bintang yang kau sisipkan
Langit nampak semakin luas
Aku di matamu
Kau di mataku
Lalu kita jatuh tenggelam
Mengayun mimpi dalam genggaman
:dahaga yang tuntas
2019
Sunyi, Hanya itu Yang Abadi
di belantara kata-kata,
kupetik sepi menjadi secarik puisi
kekosongan mencair kesenyapan mengalir
merayakan kerinduan merapal permohonan
menulis kisah tanpa tamat
mencari engkau pada selembar kertas
berharap pertemuan akan menyembuhkan sebuah retakan kecil di hati
cangkir yang kosong,
kerjap mata yang basah
dan waktu yang terus beranjak menggapai sendu
:aku masih tanpamu
2019
Aku Menunggumu 
Aku menunggu,
Di bangku kayu yang lembab
Di bawah pohon akasia yang basah
Seusai hujan menyisakan butir air di ujung-ujung ranting
Aku menunggu,
Di sudut taman ketika orang-orang berlalu memagut udara pagi setengah tergesa
Menuju kisah lain memulai perjalanan
Atau mungkin masih mengulang kenyataan
Aku menunggu,
Setelah secangkir teh yang pekat tandas kuteguk
Saat hati semakin gigil mendekam dalam dua jam empat puluh lima menit berlalu
Harapan itu begitu tipis
Aku semakin mencemaskan waktu
Aku menunggu,
Menatap sunyi mengulang doa
Hatiku semakin temaram
2019
Ketika Hujan
Ah,
hujan selalu saja menyertakan bulir-bulir  rindu di setiap tetesnya
mengantarkan getir angin di sela jemari yang kosong
dingin menjalar
beku menghuni
bila saja hujan juga dapat menghanyutkan lengang yang tak ingin kusambangi
tentulah hanya senyummu yang ingin kutemui
tak perlu lagi kutulis puisi dengan tinta dari tumpahan air mata
tentangmu,
kian menggenang di pelataran.
2019
Aku dan Daun-Daun Berwarna Lembayung
Langit begitu abu-abu,
gerimis di ujung mata menerbitkan muram.
Kulihat daun-daun berwarna lembayung mengikuti angin,
jatuh perlahan menyelimuti kesedihanku.
Aku duduk sendiri dengan hening di hati meski di tengah keriuhan orang-orang yang berlalu lalang,
sendiri merangkai kegetiran.
Bayanganmu berkelebat memecah ingatan
Seketika aku dicengkram rindu.
Daun-daun berwarna lembayung telah hadir mengirim isyarat
Tak perlu lagi ucapan selamat tinggal
Tak ada lagi masa bernama masa depan bersamamu.
2019

Lahir di bandung 1 Maret. Sarjana ekonomi ini telah menulis puisi dengan judul Kembang Ronce (2015), dan Istana Pasir (2016). Puisi-puisnya juga tergabung dalam buku antologi Dongeng Sebelum Tidur (2014) dan 1000 Haiku (2015).

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *