Mandalika
Nona Edelwise
Tidak ada patah hati lagi.
Tidak ada lagi yang bisa mematahkan hati Mandalika. Tidak ada isyarat burung hantu sebagai kabar pilu. Awan mendung sebagai sedih yang merundung. Bahkan, semisal badai menerjang, hati Mandalika tetap seperti sedia kala. Hancur. Kalau kalian pikir tidak patah berarti utuh, bagi Manda berbeda. Tidak ada patah karena tidak ada wujud utuh yang harus dipatahkan. Wujud utuh itu sudah hancur lebur. Manda kerap kali menatap dirinya sendiri di depan cermin. Dia membayangkan seandainya cermin itu bisa menembus pantulan organ-organ dalam tubuhnya. Manda benar-benar ingin melihat apakah dia masih punya hati? Dia akan dianggap gila jika harus ke dokter ahli penyakit dalam kemudian mengatakan bahwa dia merasa hatinya sudah hilang. Mana ada manusia tak berhati tapi masih hidup? Masih bisa melenggang pergi ke tempat kerja. Duduk di depan komputer. Sesekali berjalan keluar meliput berita, atau berdebat jika isi kepalanya tidak sejalan dengan Pak Dimas selaku Pemimpin Redaksi. Dokter ahli penyakit dalam pasti akan merujuknya langsung ke Psikiater. Syukur-syukur tidak langsung dimasukkan ke Sanatorium!
***
Manda masih bergelung dalam selimut yang satu bulan ini belum mandi. Belum terkena air dan sabun cuci. Manda mendekap Nadira erat-erat. Manda belum keluar sejak satu pekan ini. Pintu kamar kos sengaja ia kunci. Tidak menerima tamu kecuali antaran makanan yang dia pesan lewat aplikasi daring. Tidak ada aktifitas sebagaimana manusia normal. Mandi, berbenah kasur atau merapikan sekeliling kamar kosnya yang mulai berbau busuk karena sisa makanan yang tidak habis.
Manda tidak peduli. Dia dekap lagi buku Leila S. Chudori itu erat-erat. Manda merasa dia adalah perwujudan Nadira milik Leila. Pragmatis dan cerdas yang kemudian menjadi dungu karena jatuh cinta. Jika Nadira ditaklukan hatinya oleh pemuda parlente bernama Niko. Maka, hati Manda yang selama ini tertutup kabut skeptis, sudah mulai menerima lajur cahaya bernama Kala. Kalawangi
***
Manda tergopoh masuk ke Kedai Kopi yang sudah disulap menjadi tempat diskusi bagi perhelatan Hari Filsafat Dunia. Di pintu masuk kepalanya menjulur sampai batas maksimal hanya untuk menemukan sosok Gerald, fotografer dari timnya yang dikirim juga ke acara ini. Hampir semua meja terlihat penuh para pengunjung, hingga Gerald melambaikan tangannya dan agak memekik memanggil nama Manda. Satu kursi nampaknya sengaja Gerald blokade dari pengunjung lain demi sahabatnya itu. Segera saja Manda terabas beberapa orang yang memang memilih berdiri di tepian pintu.
“Duh. Miss telat!”
Gerald hanya pura-pura kesal. Tak lama kemudian seorang pramuniaga datang membawakan kopi atas pesanan Gerald. Dari aroma segarnya Manda langsung tahu Gerald memesankan Gayo Wine untuknya
“Biar mabuk.” Gerald cekikikan. Dasar sinting! Siapa bilang, mentang-mentang namanya kopi wine terus jadi memabukkan?
Di depan ada sebuah panggung yang sengaja ditata rendah. Alasnya ditutupi karpet warna merah. Tampak laki-laki paruh baya yang didapuk sebagai narasumber, sedang menjelaskan sesuatu kepada para peserta yang bertanya. Sedangkan di sisinya seorang perempuan tampak mengatur jalannya tanya-jawab.
Berkat Gerald, Manda jadi tahu. Si narasumber ini orang dari intitusi kajian Islam yang pusatnya ada di Jakarta Selatan. Katanya, si narasumber ini juga filsuf yang menganut aliran Eksistensialis dan Nihilis. Manda hanya mengangguk pura-pura mafhum. Percuma mengorek lebih lanjut tentang laki-laki paruh baya dari Gerald. Jika mau dia bisa menanyakannya sendiri. Toh, nanti di akhir acara, Manda akan menggunakan wewenangnya sebagai jurnalis daring untuk wawancara.
Diskusi masih berlanjut. Santai dan hangat. Sebaris nama-nama para filsuf dunia mulai mengudara. Bahkan menurut pendapat hiperbolik dari Gerald, dia yakin Nietszsche dan Ibnu Sina sudah bangkit dari kuburnya, sedang duduk di ruangan ini. Satu meja. Sambil menyesap aroma kopi. Ngawur!
Sesosok laki-laki terlihat sibuk berdiri dekat dengan panggung. Tangan kirinya sibuk memegang kamera dan mengatur ulir lensa. Sedang tangan kanannya bersiap memencet tombol Shutter. Perawakannya lumayan tinggi. Lebih tinggi dari Gerald yang hanya selisih tujuh centi dengan Manda. Tubuhnya tidak terlalu besar, namun terlihat cekatan. Jika mata Manda bisa menerawang, mungkin sebenarnya tubuh laki-laki itu membentuk otot-otot yang liat.
Saat sedang asik-asiknya menerka, si laki-laki lumayan tinggi ini sudah duduk manis di depan Manda. Pupil matanya melebar sebentar saking kaget. Lalu, sebisa mungkin gadis itu mencoba tenang. Ternyata masih ada satu bangku kosong di depannya. Milik laki-laki lumayan tinggi itu.
“Saya Kalawangi. Dari majalah Y.”
Sial! Sepertinya dia tahu dari tadi Manda memperhatikannya. Kalawangi tidak mengulurkan tangannya. Dia hanya melempar senyum manis, kemudian kembali sibuk dengan kameranya. Gerald cekikikan melihat tingkah Manda yang pasti mirip orang dungu.
“Saya tahu, kamu Mandalika, kan? Gerald yang memberitahuku,” sambungnya.
“Oh.”
Oh? Tanggapan macam apa itu yang keluar dari mulutnya? Manda dungu dan gagu seketika. Tapi syukurlah. Kala orang yang mudah cair. Dia dan Gerald sudah lama saling kenal karena sama-sama menggeluti bidang fotografi. Sedang Kala dan Manda, yang meskipun baru saja kenal beberapa menit lalu, juga sudah menampakkan Manda akan menyukai orang ini. Ah, apa ini? Kenapa Manda tiba-tiba menyukai berbicara dengannya? Mana mungkin dia sedetik lalu kenal, detik ini suka?
Sementara diskusi di antara para filsuf muda ini masih terlihat santai dan hangat seperti tadi, tanpa sadar Manda dan Kala sudah berbincang ngalor-ngidul.
Kala asli orang Solo . Mereka jadi bertukar cerita karena Manda juga sangat menyukai kota yang terkenal ramah Difabel itu. Baginya, Solo seperti tempat ketika ingin sendiri. Di sana Manda memiliki seorang teman di Semanggi, Solo Baru. Dulu, hampir setiap tahun, Manda sempatkan mengunjungi kota itu. Entah punya daya magnit apa sebenarnya Solo. Yang jelas, Mandalika sangat mengidolakan nasi liwet yang dijual di perempatan Semanggi. Opor ayamnya sangat gurih dan cabuk rambaknya enak. Sego Liwet Semanggi itu tak pernah sepi pelanggan. Dan, sebagai warga asli Solo, Kala juga turut mengimani pendapatnya.
Lalu, obrolan mereka akan sampai pada betapa seringnya Balai Soedjatmoko menggelar acara diskusi literasi. Bahkan hampir setiap akhir pekan ada. Manda setuju, sebab, di sekitar tahun 2014, dia juga pernah menghadiri diskusi di sana. Waktu itu, Triyanto Triwikromo sedang menggelar launching buku barunya, Surga Sungsang.
Dari perbincangan kecil itu, Manda tahu, dia terpikat oleh Kalawangi. Laki-laki lumayan tinggi ini seperti punya stok badai serotonin yang siap kapan saja disemburkan ke tubuhnya. Manda merasa bahagia saja tanpa harus banyak bicara, asal ada Kalawangi. Ini hal baru.
***
Singkat dan tak terduga. Manda mengakuinya. Manda mengalah pada kebekuan hatinya. Kala membuat isi kepalanya kembali normal. Kala seperti sinar hangat matahari yang mengintip dari bilik awan musim kacau.
Tidak butuh waktu lama untuk bisa dekat dengan Kala. Laki laki lumayan tinggi asal Solo. Manda selalu senang mencium aroma tubuhnya yang matahari. Hal paling menarik dari Kala adalah matanya. Bukan. Bukan karena matanya jernih dan bulat bola Ping Pong. Tapi, mata Kala yang sering dijerang matahari itu kurang bersih, agak merah karena debu. Tapi, alisnya yang tebal ulat bulu dan bentuk mata yang agak menjorok ke dalam, memberi kesan garang namun seksi.
Kala bukan laki-laki yang sering tertawa. Awalnya, Manda mengira dia hanya ingin menjaga tampilan. Tapi, bukan seperti itu. Sudah setahun Manda menjadi kekasihnya, Kala memang orang yang tak mudah diundang tawa. Tapi, dia selalu menyimpulkan senyum manis ketika bersama Manda.
[iklan]
Manda mulai menghitung berapa kali Kala tertawa selama dengannya. Pertama, dia tertawa saat mereka jalan berdua dan tiba-tiba hujan. Kala dan Manda berteduh di serambi rumah dan toko yang kebetulan tutup. Kala menyodorkan jas hujan sekali pakai yang dia beli dadakan di warung waralaba terdekat. Saat Manda memakainya terbalik, Kala terpingkal. Hal yang menurut Manda tidak lucu, justru membuat laki-laki itu menampakkan gigi serinya. Atau, Kala tertawa saat Manda kesal karena menunggunya agak lama. Katanya, Manda terlihat berbeda saat sedang ngambek.
Yang paling tidak biasa bagi Kala. Kala membuat lelucon agar Manda tertawa. Membuat tingkah konyol yang tidak Manda sangka akan keluar dari diri seorang Kala.
Perasaan nyaman. Tidak canggung. Perasaan yang membuat Manda betah dan setuju tentang hubungan pacaran. Lagi-lagi, tubuh Kala mengandung badai Serotonin yang membuat Manda bahagia asal ada Kalawangi.
***
Nadira menatapnya pilu. Mungkin sebenarnya, dia murung karena kebodohan Manda mengurung diri. Jika sudah terlalu sebal dengan tatapan Nadira, Manda akan melemparnya ke sembarang tampat. Lalu, tanpa sungkan dia akan dengan senang hati menyimak Matt Haig yang berbicara tentang gangguan cemas yang melandanya dalam Reasons to Stay Alive. Menyimak betapa menderitanya Matt saat bertarung dengan isi kepalanya sendiri. Menyimak, betapa Matt sekuat tenaga menghindari terjun dari tebing.
Manda hampir tertawa hingga terjungkal. Menertawakan betapa kasihannya hidup Matt. Kenapa dia justru menertawakan kesedihan? Apa benar kesedihan hadir untuk ditertawakan? Lalu, bagaimana dengan Kalawangi? Jika kepergian Kalawangi yang hingga kini tak ada kabar itu adalah kesedihannya dan harus ditertawakan, kenapa Manda tidak lantas tertawa hingga engsel-engsel di bibirnya lepas dan rusak.
Hening.
Bahkan jam di dinding kamar berhenti berbunyi. Gawai miliknya tetap dibiarkan mati. Langit di luar tak menampakkan sinar matahari seharian. Televisi yang menempel di dinding hanya menyuguhkan tayangan hitam. Mati. Gerald sudah berkali-kali mencoba mengetuk pintu dan memaksa masuk. Percuma. Manda cuma butuh kabar Kalawangi yang seminggu lalu ijin pemotretan di Anyer.
Suara langkah Gerald menjauh. Dia sudah pergi. Dia tahu temannya itu kepala batu. Lagian Manda tidak akan peduli kalau dirinya dipecat. Dia yakin, itu tidak akan terjadi. Mengingat bahwa Manda karyawan teladan yang rajin setor berita. Bahkan punya stok berita terbanyak di antara karyawan lain.
Gerald selalu meninggalkan sesuatu sebelum pergi. Kadang, dia meninggalkan secangkir kopi dari kedai favorit mereka. Kemarin dia meninggalkan Dimsum kesukaan Kala yang berakhir dimakan kucing karena Manda tak kunjung keluar.
Akhirnya Manda beringsut dari kasur. Menyeret langkahnya yang mirip seperti ada rantai besi melilit di mata kaki.
Sebuah kotak tergeletak. Satu eksemplar koran yang terbit hari ini tergeletak sia-sia di sampingnya. Manda tidak menyentuh keduanya. Tidak mau tepatnya. Tidak penting. Masa bodoh dengan ukuran huruf besar-besar yang menjadi judul depan koran itu. Tidak ada yang dia percayai. Juga secarik kertas putih yang diletakkan di atas kotak. Tulisan Gerald yang sengaja ditulis kapital semua. Baju dan kamera Kala yang masih bisa diselamatkan. Katanya. Mandalika masuk lagi. Dikuncinya rapat-rapat semua yang memiliki lubang kunci. Dia menutup semua yang menawarkan kehidupan di luar kamar. Jendela, ventilasi, penyedot debu di dinding.
Satu pekan setelah kepergian Kala ke Anyer. Satu pekan setelah Tsunami selat Sunda melahap daratan kabupaten Banten dan Lampung. Satu pekan Manda tidak kemana-mana. Manda tidak peduli baju atau kamera. Manda ingin badai serotonin miliknya pulang. Manda tidak butuh baju dan yang bau lumpur yang berbau amis itu ada di depan kamarnya. Manda tidak butuh kamera Kala. Manda butuh sinar hangat yang melebur kebekuan hatinya. Mandalika kembali tidur.