Kejutan Rumah Bordil
Kini aku telah berdiri di depan rumah bordil itu. Dari sini, bisa kulihat papan nama bertuliskan “Warung Paha Mariamin” yang digantungkan di atas pintu. Dengan mantap, kulangkahkan kaki memasukinya. Di dalam, seorang wanita separuh baya yang kutafsir sebagai penerima tamu datang menghampiriku, bertanya, “bapak mau pesan wanita yang mana?” aku menjawab bahwa aku ingin memesan wanita terbaik di sini yang konon kata orang wajahnya masih sepupuan dengan wajah Katrina Kaif. Wanita paruh baya itu menggeleng, mengatakan bahwa wanita itu telah dipesan jauh-jauh hari oleh seorang saudagar dari Cilegon. Aku tersenyum sinis, lalu kutunjukkan tas berisi uang berwarna merah muda berjumlah total 50 juta. Wanita paruh baya itu tersenyum. Diambilnya ta situ, kemudiaan ia mengajakku ke sebuah kamar.
Ketika aku memasuki kamar itu, ‘surprise’, tidak kutemukan wanita cantik itu, yang ada malah istriku sedang berbaring di ranjang. Ia nampak terkejut melihatku. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucap kami bersamaan. Baik aku maupun istriku, tidak ada yang menjawab pertanyaan masing-masing, hening. Kami sibuk oleh pikiran masing-masing. Kemudian, seperti disengat listrik, kami tersadar. Kini tahulah akua pa penyebab jarangnya dia berada di rumah pada malam hari, begitupun ia yang kini juga mengetahui tujuan kepergian suaminya setiap malam tiba.
Kami pun bertengkar hebat, saling menuduh dan melempar sumpah serapah. Di tengah pertengkaran, tidak sengaja kusenggol lampu canting di meja, membuatnya terjatuh. Api segera menjalar ke gorden di dekat meja, dan terus menjalar. Dalam sekejap, kamar dimana kami berada menjelma inferno*. Istriku panik.
Senyum Viko
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, Pak Risyad mengajar di sebuah SMP di pinggir kota. Di sana, ia mengajar pelajaran Bahasa Indonesia. Ditulisnya materi tentang puisi di papan, lalu ia jelaskan betapa puisi itu merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah penjelasannya, ia rasakan sepasang mata menusuknya. Ia edarkan pandangan pada murid-murid di kelas. Pandangannya terhenti pada Viko yang duduk di pojok belakang dekat jendela. Ia menghembuskan nafas. Ia ingat, seminggu lalu ia memukul anak itu karena mengolok-oloknya dengan sebutan “anjing” setelah sebelumnya anak itu ia bangunkan dari tidurnya.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, menampakkan dua orang polisi. Kedua polisi tersebut melangkah masuk, lalu tanpa aba-aba memegangi tangannya dan memborgolnya. Ia terkejut. ‘Ada apa ini?’ pikirnya. Lalu, dilihatnya sebuah senyuman terpancar dari wajah Viko.
Buku-Buku yang Terbuang
Fikri malas sekolah. Bersekolah baginya hanya formalitas belaka yang diusahakan para generasi muda untuk mendapatkan ijazah. Masa pandemi baginya adalah masa penuh berkah, karena ia tidak perlu repot-repot berangkat sekolah. Ia bisa berikhtiar bermain game mobile legends untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba game tingkat kecamatan.
Buku-buku di raknya jadi tak berguna. Ia berniat memuang buku-buku itu agar tidak menyakiti mata. Maka, ia memasukkan buku-buku itu ke dalam kardus, lalu ia bawa keluar untuk ia buang ke tempat sampah.
Selepas membuang buku-buku itu dan masuk ke rumah, dilihatnya seorang gadis pemulung datang ke tempat sampah di depan rumahnya. Gadis itu mengambil kardus berisi buku yang tadi ia buang dengan wajah cerah, kemudia gadis itu pergi dengan senyum merekah. Fikri yang melihatnya merasakan getaran aneh di dadanya, seperti sebuah palu godam baru saja memukul-mukul hatinya hingga remuk.
Fathurrozi Nuril Furqon, lahir di Sumenep pada tanggal 01 Agustus 2002. Alumni TMI Al-Amien Prenduan 2021, salah satu Pembina SSA (Sanggar Sastra Al-Amien). Saat ini sedang mengabdikan diri di almamaternya sembari melanjutkan kuliah di IDIA.